PWMU.CO – Meneladani Ulama Karismatik Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, pengajar di Masjidil Haram. Ini dibahas dalam kajian bertema “Perjuangan Melawan Kolonialisme: Kontribusi Cendekiawan Muslim di Asia Tenggara”.
Webinar seri pertama ini digelar International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia bersama East and Southeast Asia, Sabtu (6/11/2021). Sebelumnya, selama 49 hari pada September 2021 lalu, IIIT juga menyelenggarakan program online serupa dengan tema yang berbeda.
Dalam sambutannya, Perwakilan IIIT Indonesia Dr H Muhammad Habib Chirzin menyampaikan, pihaknya kembali menggelar kajian berseri. Tapi kali ini bertema ketokohan ulama dan ketokohan bidang pendidikan. “Bahkan lebih luas lagi, dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan serantau Melayu,” ujarnya.
Habib Chirzin menerangkan, menurut pihaknya, kawasan Melayu sangat luas, bersejarah, dan memiliki peran dalam pengembangan umat Islam dan telah melahirkan banyak tokoh. Pada kajian pertama itu, dimulai dari tokoh legendaris Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
“Peran beliau meliputi wilayah Melayu jauh sebelum kemerdekaan. Bahkan, bukan hanya menjadi gurunya orang-orang Indonesia dan Melayu, tapi juga negara lain di rantau Melayu, Arab, Asia Selatan,” ungkapnya.
Selain itu, dalam kesempatan itu juga diterangkan ketokohan Syekh Syed Tahir Jalaludin. Dia ulama kharismatik Nusantara, ahli astronomi modern, dan pelopor pers Islam modern di wilayah Asia Tenggara seperti majalah al-Imam yang terbit di Singapura.
Ulama Karismatik
Habib Chirzin menjelaskan, Syekh Ahmad Khatib seorang ulama karismatik nusantara, pengajar di Masjid al-Haram, dan guru dari berbagai ulama besar di Asia Tenggara. “Semangat beliau telah menurun kepada putra-putra di Melayu Raya ini,” ujarnya.
Dia menegaskan, Syaikh Ahmad Khatib tokoh perjuangan. “Karena sejak di Makkah, ajaran-ajarannya memberikan tarjiyah dari ajaran-ajaran yang selama ini diajarkan di Saudi Arabia. Bahkan ada banyak murid dari semua mazhab, Maliki, Hambali, Syafi’i, semua menjadi murid dan makmum,” terangnya.
Berdasarkan buku karya Mat Rofa Ismail berjudul ‘Biografi Agung Syekh Ahmad Khatib’, Habib Chirzin menerangkan, Syekh Ahmad Khatib meletakkan dasar-dasar perjuangan antikolonialisme ketika mengajarkan agama di Masjidil Haram.
“Beliau juga dianggap kadang beda pendapat dengan ulama-ulama yang datang dari Betawi yang mendapat sokongan dari Belanda,” terangnya.
Syekh Ahmad Khatib, kata Habib Chirzin, bukan sekadar tokoh ulama tradisional. Dia menulis beberapa buku dengan kajian mantik yang mendalam. “Beliau ahli astronomi, ahli ilmu falak, ini menarik sekali karena dunia Melayu punya kedalaman mantik maupun sains,” ujarnya.
Jalin Sinergi dengan Keluarga Besar
Dalam pertemuan itu, hadir Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah. Dia berharap, dengan mengkaji tokoh yang mewarnai kehidupan tanah Melayu di Asia Tenggara ini, bisa mendapat pelajaran-pelajaran dari pengalaman beliau.
“Bagaimana semangat yang beliau miliki dan bagaimana sinergi yang beliau lakukan,” terangnya.
Pihaknya juga telah berupaya menjalin komunikasi dengan keluarga Syaikh Ahmad Khatib, sehingga sinergi dengan keluarga besar ulama itu bisa terbangun dengan baik. “Alhamdulillah kita bertemu dengan keluarga besar beliau, seorang dosen di Makkah dan seorang dosen di Madinah,” urainya.
Gubernur Mahyeldi juga berharap, “Mudah-mudahan, semangat beliau nantinya menjadi spirit kita membangun sinergi di Asia Tenggara!”
Kehadiran beliau mendapat sambutan hangat dari para narasumber. Salah satu narasumber, Assoc Prof Dr Hafiz Zakariya, dari Universiti Malaysia Terengganu merasa senang bertemu dengan Mahyeldi meski secara virtual. “Silaturahmi saya dengan orang-orang Minangkabau begitu rapat,” ujarnya.
Dia menambahkan, “Sebenarnya saya bukan Minang, tapi jiwa saya bagian dari umat Islam yang banyak mendapat manfaat dari alam Minangkabau.”
Mengenal Keluarga
Prof Dr Eka Putra Wirman, dosen Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang pun mengajak peserta mengenal, meneladani, dan mensyukuri ketokohan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Prof Wirman mengatakan, dari namanya, kita mengenal etnis Minangkabau, bahasa Minang, dan daerah di provinsi Sumatera Barat.
Dia kemudian memaparkan biodata Syekh Ahmad Khatib. Ayahnya Abdul Latif dari Koto Gadang, sedangkan ibunya Aminah dari Koto Tuo. Ibunya adalah putri pemimpin Koto Tuo Abdul Ghani.
Syaikh Ahmad Khatib lahir di Koto Tuo pada Senin, 26 Mei 1860. Beliau wafat pada Senin, 13 Maret 1916. Dia punya seorang saudara laki-laki bernama Mahmud dan 3 saudara perempuan: Aisyah, Hafshah, dan Shafiyyah.
Kakeknya Abdullah, pedagang Arab yang dakwah mengelilingi Sumatera. Abdullah seorang imam dan bergelar khatib nagari—ayahnya juga bergelar sama—di masjid Koto Gadang. Khatib dibelakang namanya, kata Prof Wirman, sebenarnya gelar yang dia ambil sebagaimana tersemat pada gelar ayah dan kakeknya.
Belajar ke Beberapa Guru di Mekkah
Pada tahun 1871, ketika Ahmad berusia 11 tahun, dia berhaji bersama kakek dan ayahnya. “Sesampainya di Mekkah, Ahmad Khatib menetap di sana dan belajar agama ke beberapa guru,” terang Prof Wirman.
Pertama, Syekh Abdul Hadi. Beliau seorang mualaf dari Inggris di mana Ahmad Khatib belajar tahfidz Quran. Kedua, Syekh Umat Syata yang mengajarkan nahwu. Ketiga, Syekh Usman Syata yang mengajarkan ilmu Arab dan khat. Juga Syekh Bakri Syata yang mengajarkan tauhid.
Setelah 4 tahun belajar di sana, Ahmad Khatib kembali ke tanah kelahirannya di Minangkabau. Dia lanjut belajar ke ulama-ualma di sana, terutama kepada Tuanku Mudo Syekh al-Fata. Ahmad Khatib pun belajar kitab Tafsir Jalalain dan Manhaj al-Thalibin.
Kembali ke Mekkah, Dramatis
Dua tahun kemudian, lanjut Prof Wirman, Ahmad Khatib kembali ke Mekkah dengan melalui proses dramatis. “Beliau merindukan kembali ke Mekkah, selalu terbawa dalam mimpinya beliau sedang di Mekkah,” ujarnya.
Untuk meredam kegalauannya, dia rihlah keliling Padang menaiki dokar. Hingga tahun 1294 H keajaiban terjadi. Gurunya Syekh Usman Syata berkunjung ke Jakarta, Indonesia. Dalam perjalanan kembali ke Mekkah, kapalnya merapat di pelabuhan di Padang, Sumatera Barat.
Kesempatan itu dimanfaatkan Syekh Usman Syata mencari Ahmad Khatib. “Luar biasa! Seorang guru berletih-letih mencari muridnya,” terangnya.
Mereka akhirnya bertemu di Padang. Ayahnya sebenarnya tidak ingin dia kembali ke Mekkah. Syaikh Ahmad Khatib pun meminta sang guru untuk memohon izin ke keluarganya.
Akhirnya, dia mendapat izin keluarga untuk kembali ke Mekkah. “Untuk menuntut ilmu di Mekkah, kemudian mengajarkannya ke umat Islam,” ujar Prof Wirman.
Dengan kesungguhan Ahmad Khatib, pada usia 38 tahun, dia mendapat izin mengajarkan fikih Syafi’i di Masjidil Haram. Pada pagi hari, beliau mengajar di depan pintu Nabi. Sorenya, di aula Bab Al-Ziyadah. Beliau mengajar dalam Bahasa Arab dan Melayu.
Kepribadian
Syekh Ahmad Khatib memiliki akhlak yang baik. Dari kesaksian putra Syekh Ahmad Khatib, Prof Wirman mendapat keterangan dia lembut dalam pergaulan, terbuka, tulus dalam berucap, tidak sombong, tidak suka bercanda, dan tidak peduli politik. Beliau mencela orang yang membuang waktunya percuma.
Selain itu, dia mencintai orang-orang shaleh, suka bergaul dengan fakir miskin, menjenguk orang yang sakit dan tidak pelit, tidak menerima tugas negara, dan tidak bergaul dengan hakim. “Ini bentuk wara’,” terangnya.
Gudang rumahnya penuh titipan para pelajar Indonesia yang dia tidak menerima kiriman uang. “Syekh Ahmad Khatib melayani dan mengasihi pelajar dari Asia Tenggara,” ungkapnya.
Beliau senantiasa mengirim hadiah kepada keluarga dan muridnya di Indonesia. Salah satu muridnya, KH Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah. Selain itu, ada pendiri Nahdhatul Ulama KH Hasyim Asyari, Buya Hamka dan ayahnya H Abdul Karim Amrullah, dan mufti kerajaan Nusantara.
Jalan Ilmu, Jalan Beruntung
Beliau mengembuskan semangat kepada anaknya agar senantiasa gigih mencari ilmu. “Ambillah jalan ilmu karena jalan beruntung, selain itu jalan kebodohan!” pesannya.
Beliau sangat kecewa dengan anak-anaknya yang tidak mengambil jalan ilmu, menjadi politisi, wartawan, pegawai negara, diplomat, dan pengusaha. Dia ingin anak-anaknya menjadi ulama, seperti dirinya yang dimuliakan karena ilmu.
Dia sendiri menghabiskan waktunya untuk mendalami berbagai ilmu. Dia menguasai ilmu syariat (al-Quran, hadits, fikih, akidah, dan muamalah) dan beberapa ilmu yang dia pelajari secara otodidak. Seperti ilmu alam, arsitektur, permesinan, dan astronomi.
Kepada muridnya, dia juga selalu menasihati, “Senantiasa berdakwah fokus menyebarkan ilmu!” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni