Merawat Kehangatan Bermuhammadiyah oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar. Kota Batu.
PWMU.CO– Kita boleh bangga dengan banyaknya amal usaha tapi kita tidak sekaya NU dalam urusan media ngumpul.
Pasca haram rokok, disusul musik, perayaan maulid Nabi pun disasar habis, meski Majelis Tarjih berfatwa mubah. Tapi tak cukup efektif membuat jamaah kemudian leluasa merayakan maulid dan melantunkan musik. Sebab batasan-batasan dalam realitasnya sangat ketat dan tidak bisa sembarangan diamalkan. Mungkin menunggu petunjuk teknis untuk menemukan model perayaan maulid dan musik yang tidak melawan manhaj salaf.
Dulu sekali.. saya ada pengajian pimpinan dari rumah ke rumah. Sekadar ikhtiar mengenal dari dekat sesama aktivis Muhammadiyah di kampung. Dengan begitu kami bisa saling mengenal lebih dekat keluarga. Meski tidak seefektif yang dibayangkan tapi ini sudah mencukupi di tengah birokrasi ber-Muhammadiyah yang makin kuat.
Makin ke sini, suasana formal dan birokratis makin kental. Rindu suasana ketika Prof Malik Fadjar, Pak Sukiyanto, Kiai Abdullah Hasyim, Kiai Yasin Suhaimi main catur ditemani kretek dan ketela goreng di ruang rektorat 25 tahun silam.
Mungkin kita gagal memahami untuk bisa membedakan antara yang mahdhah dan ghairu mahdhah. Atau semacam euforia kembali kepada al-Quran dan as-Sunah yang dipahami letterlijk, sehingga apapun yang tidak ada dalil dan tuntunan dari Nabi saw disasar bid’ah.
Atau ini hanya soal cita rasa dalam beragama. Mungkin pula ini yang dimaksud moderasi beragama di Muhammadiyah? Agar tidak terlalu ekstrem menolak tradisi dan adat, agar tak berlebihan dalam bersunah sehingga apapun dianggap bid’ah. Supaya tak berlebih-lebihan menagih dalil sehingga apapun yang tidak ada dalil dianggap sesat masuk neraka.
Betapa kemudian beragama menjadi kering karena banyak kehilangan, suasana kehangatan dan kekeluargaan makin menipis. Maunya egaliter dan menghapus kelas dalam beragama, tapi malah sebaliknja melahirkan kelas baru.
Kelas ulama dan umat menghilang berganti kelas birokrat dan umat. Atau struktural yang ada di amal usaha dan jamaah yang di luar struktur.
Di kampung di mana saya menjadi aktivis persyarikatan, ada pengajian ’Pendhak Seloso’ yang digagas Kiai Bedjo Dermoleksono, pendiri UMM. Pengajian sudah berlangsung kurang lebih 50 tahun silam. Keliling dari ranting ke ranting di seluruh cabang. Hanya ini yang kami punya dan tersisa, sebagai sarana ngumpul seluruh cabang untuk melepas kangen. Ikhtiar merawat kehangatan Bermuhammadiyah
Semoga tidak ada yang bertanya apakah ada dalil tentang pengajian yang dilakukan rutin pada hari dan jam tertentu pada pendhak seloso. Sebagaimana tetanggaku yang rutin baca tahlil dan surah yasin keliling dari rumah ke rumah setiap malem jemuwah. Dan tak perlu baper apakah ada tuntunan berjabat tangan bakda shalat, sebagaimana nyate dan ngopi bakda ngaji.
Agar agama tidak kehilangan kemanusian atau humanitas, karena mengira Nabi saw hanya duduk di atas sajadah, memutar tasbih dan tidak meninggalkan masjid.
Mungkin ada yang bilang: media kumpul kami adalah amal usaha. Seperti rumah sakit, perguruan tinggi, sekolah atau lainnya. Ya mungkin sampeyan yang terdidik. Lha Muhammadiyah pinggiran semacam Kang Pardi, Kang Sabar, Yu Supinah, Yu Rustianik, media kumpulnya apa? Mosok webinar atau membangun universitas. (*)
Editor Sugeng Purwanto