Dr Sunardi dibunuh Tanpa Proses Peradilan oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PWMU.CO– Kasus penembakan dr Sunardi di Sukoharjo atas tuduhan terlibat terorisme harus didukung pembuktian. Oleh karenanya pengusutan tuntas mesti dilakukan. Tidak cukup dengan pernyataan bahwa dr Sunardi menjadi penasihat Jamaah Islamiyah (JI) atau pendiri Hilal Ahmar Society.
Terlalu sumier untuk harga nyawa seorang warga negara. Ditembak punggung atas dan pinggul kanan hingga tewas.
Kepolisian dalam hal ini Densus 88 harus bertanggung jawab atas agenda pembuntutan dan penangkapan dr Sunardi yang sedang mengendarai mobilnya seorang diri.
Dia masih berstatus terduga sebagaimana berita awal. Keluarga sama sekali tidak menerima surat apapun. Kecuali surat penyerahan jenazah dari Rumah Sakit Kepolisian.
Modus operandi yang hampir sama dengan pembunuhan 6 anggota Laskar FPI oleh aparat pada 7 Desember 2020. Ada pembuntutan, pengejaran, dan penembakan.
Mobil rusak dan dengan alasan melawan. Korbanpun tewas, karenanya tidak mampu memberi keterangan atas peristiwa yang sebenarnya. Sebaliknya aparat bebas untuk bercerita.
Sesuatu yang dikaitkan terorisme membuat banyak cerita bukan fakta. Pembuktian lebih bersifat sepihak dan bisa dibuat-buat. Publik tidak memiliki imbangan bukti.
Di sinilah pelanggaran HAM menjadi mudah untuk terjadi. Oleh karenanya sangat setuju jika Komnas HAM terjun melakukan pengusutan atas penembakan dr Sunardi tersebut.
Sebagai negara hukum sudah selayaknya seseorang itu dieksekusi atas perintah hukum melalui proses peradilan. Banyak kasus teroris yang terduganya tewas, sehingga tidak dapat menguak motif dan jaringan sebenarnya.
Semua dibuat gelap. Katanya ingin menumpas habis kejahatan terorisme, tetapi faktor penguak justru dihabisi.
Haruskah ada adagium bahwa terorisme adalah keanehan hukum dari suatu misteri politik? Teroris yang tewas oleh aparat menjadi korban dari kepentingan atau permainan politik.
Tampaknya mesti ada evaluasi sekaligus perubahan paradigma penanganan ke arah yang lebih manusiawi. Batas waktu tahanan juga sangat lama hingga bisa tujuh bulan untuk sampai pada proses pengadilan. Ini menyangkut HAM yang terabaikan.
Densus 88 bukan badan super body yang dapat berbuat bebas atas nama hukum. Memberantas terorisme dengan cara teror bukan solusi. Tidak sesuai dengan amanat undang-undang.
Belum lagi target selalu saja komunitas muslim. Aktivis bahkan pendakwah. Baik terorisme maupun radikalisme sepertinya memiliki fokus sasaran yang sama yaitu umat Islam. Atribut keagamaan senantiasa dilekatkan.
Kini diumumkan oleh kepolisian bahwa dr Sunardi berstatus tersangka, semestinya dijelaskan kapan yang bersangkutan dipanggil, diperiksa, dan digelar perkara hingga berstatus tersangka.
Mengapa tidak ditahan pasca pemeriksaan. Penangkapan dilakukan karena mangkir memenuhi panggilan? Mengapa ada kejar mengejar sehingga terjadi tabrakan? Zig-zag kendaraan itu perlawanan atau kepanikan? Darimana dr Sunardi ditembak, oleh siapa dan atas perintah siapa? Bukankah dr Sunardi memiliki rumah dan tempat praktik, mengapa tidak ditangkap di sana? Semua itu harus terjelaskan.
Masalah ini tidak boleh hilang begitu saja, harus diusut tuntas. Meskipun tuduhan pada dr Sunardi adalah teroris. Publik harus diberi bukti dan keyakinan. Jika tidak jujur dan transparan maka apa beda rezim ini dengan rezim zionis Israel yang sewenang-wenang membunuh dan membantai warga Palestina atau rezim komunis Cina yang membunuh dan membantai muslim Uyghur?
Indonesia negara Pancasila, bukan Zionis atau komunis. Buat cara penanganan hukum lebih sehat dan beradab. (*)
Bandung, 14 Maret 2022