Membangun Pelajar Berkultur Pesantren oleh Ali Efendi, kontributor Paciran Lamongan. Tulisan ini Juara Harapan III Lomba Menulis Opini Milad ke 6 PWMU.CO.
PWMU.CO– Reformasi pendidikan dengan slogan Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, menjadi bahan diskursus yang menarik bagi guru, dosen, praktisi pendidikan.
Program Merdeka Belajar terbagi menjadi tujuh belas episode. Masing-masing episode dijabarkan berdasarkan tahapan sesuai dengan tujuan dan target yang ingin dicapai berdasarkan rencara strategis pendidikan hingga tahun 2024.
Pada episode yang ketujuh program yang digagas oleh Mas Menteri dalam Merdeka Belajar adalah Sekolah Penggerak.
Program Sekolah Penggerak sebagai katalis untuk mewujudkan pendidikan Indonesia diawali dengan sumber daya manusia (SDM) kepala sekolah dan guru yang fokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik, sehingga terwujud Profil Pelajar Pacasila. Jadi program Sekolah Penggerak merupakan manifestasi visi dan reformasi pendidikan yang berkemajuan.
Pelajar Pancasila
Secara khusus program Sekolah Penggerak yang menitikberatkan pada hasil belajar dengan capaian yang konkret terwujud sebagai Pelajar Pancasila.
Pelajar Pancasila sebagai perwujudan pelajar Indonesia memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dengan enam ciri utama: beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME), berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
Program Pelajar Pancasila dalam Sekolah Penggerak sama halnya dengan membentuk karakter atau watak. Watak terbentuk bukan seperti mantra sulap sim salabim, abracadabra tetapi melalui proses panjang yang memerlukan waktu dan pendampingan secara intensif.
Keterlibatan seluruh warga sekolah, orangtua/wali siswa, dan masyarakat menjadi bagian yang sangat urgen, semua pihak terlibat sesuai dengan status dan peran masing-masing.
Dalam proses pembentukan karakter dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, tetangga, dan teman pergaulan sehari-hari, serta dipengaruhi juga oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Karakter Pelajar Pancasila merupakan watak yang ada dalam diri pelajar dan tercermin dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Karakter secara umum terbagi menjadi dua bagian, pertama karakter positif yang mengarah kepada perbuatan yang baik dan kedua karakter negatif yang mengarah kepada perbuatan jahat dan munkar.
Kedua bentuk karakter tersebut ada pada diri seseorang, hanya saja mana yang lebih dominan di antara keduanya? Maka membentuk karakter Pelajar Pancasila dengan enam ciri khas di atas membutuhkan waktu yang panjang melalui pendidikan dan pembiasaan yang positif dalam lingkungannya.
Lingkungan keluarga merupakan institusi yang pertama dalam membentuk karakter pelajar. Keluarga yang harmonis menjadi modal utama dalam membentuk karakter yang baik dan tangguh.
Selanjutnya lembaga pendidikan memiliki peranan dalam mengawal dan mendampingi pembentukan karakter. Sekolah sebagai norma pendidikan yang berfungsi untuk mendidik pelajar sesuai dengan amanat undang-undang mencerdaskan anak bangsa.
Tradisi Pesantren
Selain sekolah ada pesantren telah membuktikan sebagai lembaga pendidikan yang berhasil mengantarkan pelajar (santri) memiliki karakter kuat dan religius, serta memiliki sifat peduli sesama dan lingkungan alam sekitar.
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren, memberikan definisi pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari (1994: 18).
Sedangkan dalam buku Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren yang dikarang oleh Mastuhu, pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari (1994: 55).
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang eksis dan survive sepanjang zaman. Perjalanan dan kemandirian pesantren benar-benar telah teruji, pesantren lahir sejak zaman proses awal Islamisasi di nusantara sampai sekarang.
Metode dan sistem yang diterapkan di pesantren merupakan proses pembentukan karakter dalam kehidupan, bisa juga disebut dengan pendidikan kecakapan hidup (life skills education) atau pendidikan kehidupan (life education).
Karena di pesantren teori yang diajarkan langsung bisa dipraktikan atau yang belum diajarkan secara teori tetapi sudah praktikan lebih dahulu. Pesantren merupakan tempat yang tepat untuk membangun karakter Pelajar Pancasila.
Pesantren telah terbukti berabad-abad melahirkan jutaan santri yang teruji secara moralitas dan mengamalkan ilmu yang diperoleh di tengah kehidupan bermasyarakat.
Pesantren mengajarkan dasar-dasar karakter secara langsung yang tidak disadari oleh santri, kemudian menjadi kultur yang baik dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut ini merupakan nilai-nilai kepesantrenan yang menjadi ciri khas perilaku santri (pelajar); kepatuhan (thaat), kesederhanaan (zuhud), ketulusan (ikhlas), kesalehan (shaleh), ketabahan (shabar), rendah hati (tawadhu), kedisiplinan (intidham), kemandirian (itamadu alan-nafsi), konsisten (istiqamah), keteladanan (uswatun hasanah), toleransi (tasaamuh), kesetiakawanan (taawun), dan kemasyarakatan (mujtamaiyah).
Tiga belas kultur di atas yang diajarkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di pesantren dapat diintegrasikan dengan enam konsep profil Pelajar Pancasila yang dikembangkan dalam program Sekolah Penggerak.
Setidaknya kultur kepesantrenan tersebut dapat dijadikan modal dalam membangun Pelajar Pancasila karena pesantren saat ini telah mampu beradaptasi dalam perubahan pendidikan modern.
Pesantren menjadi salah satu alternatif masyarakat dalam bidang pendidikan, selain menyelenggarakan pendidikan nonformal juga pendidikan formal. (*)
Editor Sugeng Purwanto