Tasawuf Perlu, Tarekat Tidak
Pria kelahiran Lamongan itu melanjutkan, konsep bahwa wali adalah orang yang memiliki karamah pertama kali dikembangkan Alhakim at Tirmidzi sekitar 300 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad. Konsep itu ditulis dalam manuskrip Khatamul Auliya’ yang menjelaskan bahwa wali adalah orang-orang yang dekat dengan Allah dan mendapatkan karamah. Yang dimaksud karamah adalah anugerah luar biasa dari Allah yang membuat dia bisa melakukan sesuatu yang orang biasa tak bisa melakukan.
“Alhakim at Tirmidzi itu wafat pada 930 Masehi (M). Artinya ini perlu 300 tahun setelah masa Nabi, baru berkembang konsep wali itu orang yang memiliki kesaktian. Setelah itu diperbanyak lagi pembicaraan siapa yang disebut wali dan tidak, dengan karamah-karamahnya oleh seorang penulis yang bernama Abu Nu’aim Isfahani dalam kitabnya hilyatul auliya’. Dan beliau meninggal pada 1073 M. Kemudian di era yang sama dalam sebuah risalah yang dikenal dengan ar Risalah al Qusairiyah itu juga dibahas mengenai wali dan karamah,” ujarnya.
Selanjutnya, 200 tahun pasca wafatnya Nabi, muncul seorang figur yang bernama Syekh Abdul Qadir Jailani (wafat 1166 M) yang di kemudian hari digambarkan sebagai sosok wali yang berkaramah. Padahal, beberapa kitab sejarah yang ditulis tidak jauh dari masanya, menggambarkan Syekh Abdul Qadir Jailani sebagai sosok manusia biasa yang alim dan berakhlaqul karimah.
Ada beberapa buku tentang biografi Syekh Abdul Qadir Jailani. Misalnya Ibn al Jauzi (wafat 1201 M) yang menulis buku sejarah Al-Muntadham. Ada pula Sibt Ibnu al Jauzi (wafat 1256 M) menulis Mir’at al Zaman. Ibnu Rajab (wafat 1393 M) menulis Kitab Ad Dzail ‘Ala Tabaqat Al HaNabilah. Ibn katsir (wafat 1372 M) menulis buku Al Bidayah Wa An Nihayah. Ibnu Al Imad (wafat 1679 M) menulis buku Syadzarat Ad Dzahab.
“Dalam buku-buku itu diketahui bahwa Abdul Qadir Jailani itu adalah orang biasa yang alim yang mengajarkan akhlak, spritualitas, dan dakwah amar makruf nahi mungkar. Dia memiliki murid yang banyak di dalam sebuah madrasah. Kalau dlihat dari buku-buku sejarah itu, dia adalah orang yang baik, ceramahnya menyentuh hati, anti bid’ah, khurafat, dan syirik,” urainya.
Tapi 200 tahun pasca-Syekh Abdul Qadir Jailani meninggal, lahir kitab-kitab manaqib (hagiografi) yang menggambarkannya secara berbeda dan berlebihan. Kitab manaqib memang ditulis bertujuan untuk mengagungkan atau ekstrimnya mengkultuskan. “Beberapa kitab itu diterjemahkan dalam Bahasa Jawa. Ditambah-tambahi. Dan itulah yang kemudian menjadi bacaan masyarakat,” ungkap dia.
Tarekat dan Tasawuf Urban
Setelah itu sufisme terus mengalami perkembangan, bahkan beberapa di antaranya kemudian menjadi terorganisasi atau disebut juga dengan istilah tarekat. Sebagai kelompok tasawuf yang terorganisasi, tarekat memiliki sejumlah unsur. Yakni sanad, mursyid, murid, dan wirid. Selain tarekat, berkembang pula tasawuf urban (urban sufism).
“Tasawuf urban umumnya ada di perkotaan. Tidak pakai tarekat. Acaraacaranya serba spiritual. Menyangkut hati. Ini sudah banyak diteliti. Mungkin karena kesemrawutan hidup, mereka lalu terjun di dunia tasawuf. Contohnya adalah kelompok pengajian Ustadz Arifin Ilham,” katanya.
Sementara itu, Muhammadiyah menilai ajaran tasawuf yang lurus, yakni yang mengagungkan keadilan Tuhan, inheren dengan al-Quran dan Sunnah. Ajaran tersebut mengandung nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran, amanah, suka menolong, dan berbuat yang terbaik dalam ibadah. Itulah amalan-amalan yang juga dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
“Secara substansi, Tasawuf diterima Muhammadiyah. Tasawuf yang benar-benar dicontohkan Nabi dan sesuai dengan ajaran al-Quran. Itulah tasawuf Muhammadiyah. Perkara kita belum mengukuhkan dalam dokumen organinasi itu tidak masalah. Tapi dalam naskah Islam berkemajuan itu ada kata-kata tasawuf. Yaitu tasawuf yang inheren dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan tuntunan akhlaqul karimah.
Sedangkan tarekat tidak diperlukan oleh Muhammadiyah, karena harus ada sanad, wirid, mursyid, dan murid. Itu bisa menghilangkan ajaran Islam yang seimbang. Karena kita tidak menjunjung tinggi taklid (mengekor). Tarekat mengandung kultus, jadi Muhammadiyah tidak merekomendasikan,” ujarnya. (*)
Pandangan Muhammadiyah tentang Tasawuf; Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel ini pernah dimuat majalah Matan