Fikih Puasa Syawal
Alumnus Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah itu lanjut membahas persoalan fikih puasa enam hari selama Syawal. “Dimulai tanggal 2 sampai 29/30 Syawal,” ujarnya.
Ini jelas sesuai hadits riwayat Imam Muslim: “Barangsiapa sudah melaksanakan puasa Ramadhan kemudian menambahkan dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka seolah-olah ia telah melaksanakan puasa sepanjang masa.”
Terkait bagaimana perhitungannya puasa 30 hari ditambah enam hari bisa jadi seolah puasa satu tahun, Ain menerangkan haditsnya. “Barangsiapa berpuasa Ramadhan, maka satu bulan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh bulan. Dan puasa enam hari setelah Idul Fitri, itu menyempurnakan puasa satu tahun,” ungkapnya.
Jadi, enam hari dikali sepuluh menjadi 60 hari. Maka jika dijumlahkan menjadi 360 hari atau satu tahun. Perhitungannya, melakukan 1 amal shalih dibalas 10 kalinya. “Karena keutamaan tersebut banyak orang sangat berusaha melaksanakan, tapi hukumnya Sunnah,” tegasnya.
Bagaimana niat mengqadha puasa Syawal sekaligus membayar utang? Ain menegaskan tidak boleh dicampur niat antara puasa itu. “Karena puasa Syawal itu puasa sunnah tersendiri. Ada amal yang harus disendirikan, tidak boleh dicampur dengan yang lain,” tuturnya.
Seperti puasa Ramadhan yang jatuh pada hari Senin, tidak bisa mendapat amalan puasa Senin-Kamis. Tapi boleh kalau puasa sunnah dengan puasa sunnah. Misal puasa Syawal pada hari Senin dan Kamis, maka juga dapat pahalanya.
Ada pula ibadah wajib yang juga boleh diniatkan ibadah sunnah. Seperti mandi jenabat yang wajib pelaksanaannya usai haid, kebetulan di hari Jumat ketika mau shalat Jumat disunnahkan mandi besar, itu boleh mendapat pahala mandi wajib sebagai amalan wajib dan amalan yang menjadi syarat sebelum shalat Jumat.
Apakah puasa Syawal harus berturut-turut? Ain menegaskan tidak. Karena tidak ada dalil seperti di puasa kafarat yang wajib dilaksanakan dua bulan berturut-turut.
Kalau punya utang puasa, mana yang didahulukan? “Memang ada yang menyahur dulu, ada yang puasa Syawal dulu, ini menjadi perselisihan para ulama. Tidak ada kesepakatan yang saklek,” ungkapnya.
Sepahamannya, sebagian besar ulama condong mendahulukan menyahur utang dulu sebagai kewajiban. Tapi ada juga ulama yang membolehkan, mempertimbangkan bulan Syawal waktunya terbatas. “Insyaallah puasa Syawalnya sah. Itu hanya etika saja,” sambungnya.
Namun, kata Ain, ada juga ulama yang berpendapat boleh puasa Syawal karena sempitnya waktu Syawal. Sedangkan tidak ada dasar yang melarang membayar utang puasa di bulan-bulan yang lain sampai sebelum Ramadhan berikutnya.
Qadha Puasa Harus di Bulan Syawal?
Ain menerangkan, ini ada dua pendapat. Pertama, pada dasarnya, kalau ada perintah Allah itu tidak mengharuskan segera melakukan. Misal, perintah haji yang wajib, tapi tidak harus segera jika belum punya dana.
Juga seperti shalat Dhuhur, tidak harus dilaksanakan 11.30. “Sebagian ulama menyatakan masih sah kalau kita shalat Dhuhur jam 2 karena suatu urusan,” paparnya.
Kedua, pada dasarnya kalau ada perintah Allah, maka blakukan dengan segera. “Ini sesuai semnagat al-Ashr, kita harus sangat menghargai waktu. Semangat ibadah seharusnya kita utamakan,” tambahnya.
Dia lantas mengajak menjadi umat wasathan. Yakni tidak menjadi umat yang terlalu keras terhadap diri sendiri, juga tidak menjadi umat yang menyepelekan ibadah.
“Ada yang namanya ibadah sunnah dan wajib, itu untuk memberi kita kelonggaran. Kalau memang kita bisa melakukan dengan semangat dan sesuai kemampuan kita. Maka kita lakukan,” ajaknya.
Karena untuk melakukan amal kebaikan, lanjutnya, tidak mungkin semua orang bisa melakukan seluruhnya. Tidak ada yang bisa menyamai amal ibadah Nabi Muhammad SAW mulai bangun tidur sampai tidur lagi. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni