Sukses Berkarier, Ibu Muda Ini Akhirnya Mundur dari Perusahaan; Oleh Anisah Machmudah, dokter gigi dan tinggal di Gresik
PWMU.CO – Tulisan apapun, terlebih jika dibukukan, potensial menggerakkan orang dalam makna positif. Coretan seorang dokter gigi yang gemar menulis ini, sekadar sebuah bukti. Selamat membaca. Redaksi.
***
Saya seorang dokter gigi yang gemar menulis. Alhamdulillah, meski sederhana, saya sudah punya karya dua buku yaitu Coretan Bunda I dan Coretan Bunda II.
Kedua buku itu, kumpulan tulisan berupa refleksi atas berbagai hal di keseharian yang saya maksudkan untuk nasihat terutama bagi anak-anak saya sendiri. Buku saya cetak sendiri dalam jumlah terbatas dan saya bagikan kepada keluarga, kerabat, dan sahabat.
***
Di sebuah hari. Seorang ibu muda masuk ke klinik saya. Dia cantik, modis dalam balutan busana syar’i. Tampak, dalam senyumnya, dia menahan sakit gigi.
“Dokter, gigi saya. Dua hari saya tak bisa tidur. Sudah saya minum obat penghilang sakit, tapi sebentar saja reda,” kata dia.
Dengan cepat dia lalu duduk di dental chair. Saya arahkan lampu sorot, saya beri air kumur berbetadin, saya teteskan hand sanitizer di tangannya.
Rupanya, ini masalahnya. Gigi geraham kiri atasnya, sembunyi di pipi, ada lubang. Ini yang membuatnya mengerang, pulpitis. Pasti sakit.
“Oke-lah Dik. Saya rawat dulu, ya. Minumlah obat, kemudian kembalilah dalam dua hari, ya,” kata saya.
***
Dita, panggil saja begitu nama wanita itu. Saya kenal saat dia datang meminta membuat podcast setahun yang lalu, pada 2021. Dia bekerja di perusahaan swasta dengan produk untuk kesehatan wanita. Perusahaannya berkembang pesat.
Dia luwes dan pintar. Dia datang bersama beberapa temannya. Mereka, anak-anak muda itu, membawa alat-alat untuk podcast. Ada, misalnya, lampu sorot yang besar, alat perekam, dan payung-payung.
Hem, ternyata Dita dan tim-nya, tertarik me-YouTube-kan saya karena mereka tertarik pada sebuah fakta. Bahwa saya yang dokter gigi masih punya kesempatan menulis dan lalu dibukukan. Bahwa, buku Coretan Bunda bisa menginspirasi pembacanya.
Itulah sejumput kisah perkenalan saya dengan Dita. Itulah perkenalan yang berawal dari penghargaan kepada sebuah karya tulis dan berujung kepada terbinanya persahabatan yang mengesankan.
***
Dua hari setelah saya rawat, Dita kembali ke klinik saya. Tampak sudah cerah wajahnya
“Masih adakah keluhan,” sapa dan tanya saya.
“Alhamdulillah, aman Dokter,” sahut Dita lembut.
Setelah saya periksa lagi, Dita lalu bercerita. Berkabar tentang perkembangan diri dan keluarganya. Berkisah laksana dua orang yang bersahabat dekat.
“Dokter, saya sudah tidak di perusahaan itu lagi. Saya mengundurkan diri,” Dita memulai kisahnya.
“Lho, kenapa,” respon saya.
“Sudah enam bulan ini saya di rumah, mendampingi anak-anak, si Mungil dan si Sulung. Tentang ini, sudah saya pikir lama: tetapkah saya di perusahaan itu atau ‘pulang’ ke suami dan anak-anak,” tutur Dita.
“Ini suatu perjuangan yang berat. Saat itu saya sedang di puncak karir dengan target perusahaan Rp 10 miliar sebulan. Berangkat ke kantor dan pulang dari kantor selalu terlayani. Pengemudi kantor senantiasa siap mengantar. Gaji keren. Namun, terasa ada yang hilang, yaitu waktu bersama orang-orang tercinta,” lanjut Dita dengan nada tertahan.
Setelah menghela nafas, Dita melanjutkan. Masih dengan menahan haru, karena rupanya dia sambil membayangkan keseharian anak-anaknya. Bahwa, sering secara diam-diam Dita pandangi anak-anaknya.
“Mama akan pergi lagi ya,” selidik si Mungil suatu ketika.
“Sudah malam, kok masih pegang HP sih? Rasanya saya tak punya mama,” protessi Mungil di saat yang berbeda.
Terkaget-kaget saya mendengar ucapan si Mungil. Ada perasaan bersalah.
Si Sulung bahkan pernah bilang, bahwa adanya mama seperti tak ada. Bertambah-tambah perasaan bersalah saya.
“Rasanya, saya tak punya teman. Tak ada waktu Mama untuk saya. Ya, saya oleh Mama dianggap seperti tak ada saja,” keluh Si Sulung tak terbendung.
Saya lihat, si Sulung tertunduk. Dia berusaha menahan airmatanya yang hendak tumpah.
Saya serasa tertampar, pening. Tapi, hal itu membuat saya kian merenung dalam.
“Apa yang telah saya lakukan selama ini,” jerit hati saya.
Lalu berkelebatlah aktivitas rutin saya selama ini. Pergi dan bermalam di luar kota. Lalu pindah ke kota lain. Itu biasa terjadi karena perintah bos.
“Dita, atur pertemuan dengan relasi ya. Besok bisa lanjut ke Jakarta ya,” demikian sebagian arahan Pak Bos.
Dita kemudian melanjutkan, bahwa raga dan pikiran dia mampu. Target dan pendapatan perusahaan bisa dia kelola dengan baik. Tapi, tatapan anak-anaknya sering muncul di pelupuk matanya.
“Apa jadinya mereka saat tumbuh remaja, tanpa ibu di sampingnya. Apa peran ibunya, yang mestinya padat mengisi hari-hari bersama sang buah hati? Bukankah sebagai ibu harus senantiasa mendampingi sambil-misalnya-bercerita, mengukir akhlak untuk perjalanan mereka yang kian berat? Bukankah sebagai ibu saya harus lebih sabar menyiapkan sebuah generasi yang di sekitarnya penuh tantangan berat semisal isi medsos yang merusak,” demikian Dita berintrospeksi.
“Sungguh, salah mendidik anak akan sulit diperbaiki. Tak akan bisa ditukar uang bila itu terjadi. Saya sadar, yang harus dikuati di diri anak-anak adalah iman dan takwanya. Dengan itu, ada jaminan mereka akan teguh menjalankan syariat Allah. Untuk itu, yang awal harus menguati iman dan takwanya harus saya, sang ibu. Harus saya yang mendampingi mereka, tumbuh dan bergerak,” Dita terus berintrospeksi.
***
“Bayangan dua anak yang lucu dan cerdas, lalu berganti. Kini, tampak tatapan Mas Bram, sebut saja begitu nama suami saya. Tatapan itu, sebenarnya, sering menghantui saya,” aku Dita.
“Bisakah kamu cuti beberapa hari? Rasanya, tak pernah lepas kamu dengan perusahaan. Saat izin tak bekerja, pun masih ada telepon masuk. Lalu, mengetik dan mengetik lagi,” demikian protes Mas Bram.
Setelah mengungkapkan uneg-unegnya itu, saya lihat Mas Bram tertidur. Saya merasakan, suami tidur dengan menahan marah.
***
Bayangan kini beralih, ke sang ibu. Permintaan ibu, tak kalah dalam hal membangunkan kesadaran seorang Dita.
“Dita, engkau seorang ibu bagi si Mungil dan si Sulung. Ada hak mereka. Juga saya ibumu, ada hak atas kamu sebagai anak. Tak adakah waktu yang bisa kamu luangkan untuk saya,” kata ibu penuh daya gugah.
***
“Dokter, saya betul-betul takut dengan hari di depan nanti. Saya tak ingin membuat kesalahan fatal terhadap anak-anak, suami, dan ibu. Sungguh, saya takut berbuat salah meski misalnya itu ditukar dengan iming-iming tambahan gaji bulanan yang berlipat,” kata Dita.
Memang, Dita lalu melanjutkan, “Sempat tawaran perusahaan atas gaji berlipat melenakan saya. Namun tatapan mereka yaitu anak-anak, suami, dan ibu membuat saya tegar mengambil keputusan. Mereka-lah yang utama dan saya harus membuat keputusan yang tak salah.”
***
Setelah Dita selesai berkisah, baru saya paham. Bahwa, buku Coretan Bunda yang saya berikan kepadanya membuat diri Dita lepas bercerita. Saya yang merawat giginya, dipercaya sebagai sahabat atau kakak, yang bisa dicurhatinya.
Masyaallah! Dita, itu keputusan yang mulia. Jangan lemah, keputusanmu tepat. Anakmu butuh dirimu, suamimu pasti merindukanmu, dan ibumu sangat berharap kepadamu. Genggam erat itu.
Dita, suamimu ladang amal menuju surgamu. Bersama suami, bangunlah jiwa anak-anakmu, kukuhkan akidah mereka. Dita, jadilah “pakaian” bagi pasanganmu sebagaimana dia juga berfungsi sebagai pakaian untuk kamu.
Dita, lihatlah mereka yang mengelilingimu. Tampak bahagia, karena kamu selalu ada untuk mereka.
Dita, pegang erat keputusanmu. Itu langkah yang tak keliru. Yakinlah, ada Allah tempat semua harap dan pinta tertuju. Sungguh, ladang rezeki selalu ada. Percayalah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni