30 Perbedaan Fikih
Secara khusus buku ini menunjukkan titik perbedaan salafi dan Muhammadiyah secara fikih. Kekuatan buku ini terletak pada objektivitas secara akademik. Meskipun ditulis oleh kader Muhammadiyah namun tetap menghadirkan sumber-sumber otentik dan narasi seimbang baik salafi maupun Muhammadiyah.
Ada 30 masalah fikih yang dibahas dalam dua jilid buku ini. Pembahasan pada setiap persoalan dimulai dengan pendahuluan atau muqaddimah yang menceritakan bagaimana fenomena ikhtilaf pada persoalan yang dikaji. Dilanjutkan dengan bagaimana pendapat fuqaha, kemudian memaparkan bagaimana pemahaman kedua kelompok, melakukan analisis kenapa keduanya berbeda pemahaman, kemudian diambil kesimpulan.
Sumber rujukan primer dalam buku ini ada dua, yaitu kitab Fatawa ‘Ulama al Balad al Haramkarya Khalid bin Abdurrahman al Jurayisy dan dari Muhammadiyah bersumber dari keputusan-keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah atau dari para ulamanya.
Pada resensi ini saya tidak akan membahas 30 perbedaan fikih Muhammadiyah-Salfi secara utuh, karena persoalan hukum harus dibahas secara tuntas. Kepentingan tulisan ini hanya menunjukkan bahwa Muhammadiyah dan salafi itu berbeda, harus saling menghormati, tidak perlu saling mengganggu, dan tentu saja agar pembaca terpicu untuk membaca tuntas buku ini.
Namun akan saya sampaikan secara singkat pokok-pokok perbedaan yang ada pada buku ini. Pada jilid pertama memuat 14 persoalan, di antaranya masalah hisab dan rukyat. Salafi hanya meyakini penentuan awal bulan dengan melakukan rukyah karena itu yang dilalukan Nabi, sementara Muhammadiyah melihat bahwa penentuan waktu adalah masalah ta’aquliatau ijtihadi. Intinya bagaimana ada kepastian maka kriteria wujudul hilal dalam hisab diterima.
Setahu saya salafi tidak pernah melakukan rukyah, dan pada masa Nabi tidak memakai imkanu rukyah. Mestinya kalau mau konsisten dengan rukyah maka imkanu rukyah ya bid’ah. Bahkan dulu salafi selalu mengikuti Arab Saudi sebagai matlak global, sekarang ada kecenderungan menerima matlak wilayatul hukmi secara lokal.
Musik: Haram Versus Mubah
Mayoritas ulama salafi mengharamkan musik, sementara Muhammadiyah membolehkan atau mengharamkan sesuai dengan tujuannya: apakah mendatangkan manfaat atau madharat. Dalam hal isbal (memakai celana atau pakaian sampai bawah mata kaki) menurut salafi adalah haram, sedangkan menurut Muhammadiyah tergantung pada niat dan tujuannya (jika konteks dan budaya pada masanya menunjukkan kesombongan maka dilarang). Karena itu saya sering menanyakan, bagaimana kalau cingkrang tapi sombong?
Sementara itu dalam masalah tarawih, seperti yang saya sampaikan di atas bahwa di antara salafi juga terjadi perbedaan pendapat terkait jumlah rekaat. Sedangkan perbedaan antara salafi dan Muhammadiyah terletak pada teknis tiap rekaat. Salafi berpendapat shalat tarawih dua rekaat salam dan cenderung menganggap salah yang empat rekaat salam. Semetara Muhammadiyah menganggap keduanya benar berdasar dalil masing-masing. Jadi bisa dua rekaat salam atau empat rekaat salam.
Dalam hal gambar, salafi mengharamkan semua gambar bernyawa, sementara Muhammadiyah memerinci setelah mempelajari semua dalil tentang gambar bernyawa. Ketika arahnya disembah maka haram mutlak, ketika untuk media pembelajaran maka boleh. Sementara kalau untuk perhiasan maka tergantung pada efeknya mendatangkan fitnah dan kemusyrikan atau tidak? Kalau mendatangkan maka haram hukumnya. Namun untuk foto dan video makhluk bernyawa keduanya belum ada pembahasan, padahal rata-rata data identitas diri membutuhkan foto.
Salafi membid’ahkan zakat profesi, sementara Muhammadiyah membolehkan, bahkan mewajibkannya. Sebagian besar penganut salafi mewajibkan wanita memakai cadar, sedangkan Muhammadiyah tidak mewajibkan tetapi memperbolehkan jika ada yang memakainya. Jadi bukan wajib atau sunnah.
Muhammadiyah menganggap sah menikahkan wanita hamil, tidak perlu mengulang ijab qabul—tapi bukan berarti mengizinkan seks pranikah. Tetapi salafi mengharamkannya. Membayar zakat fitrah dengan uang diharamkan oleh salafi dan diperbolehkan oleh Muhammadiyah.
Salafi membid’ahkan tradisi halalbihalal karena tidak ada contoh dari Nabi. Muhammadiyah membolehkan karena sejalan dengan nilai-nilai Islam. Salafi mengharamkan berserikat dalam organisasi, sementara Muhammadiyah jelas-jelas organisasi dakwah. Salafi mengharamkan jual beli bangkai hewan yang diharamkan, sementara Muhammadiyah membolehkan selama tidak dimakan, jadi jual beli sesuai tujuannya, misalnya jual bangkai ayam untuk pakan lele, jadinya jual beli pakan. Ada juga perbedaan duduk iftiras dan tawaruq dalam rekaat akhir bagi masbuk.
Baca sambungan di halaman 3: Isi Buku Jilid Dua