Isi Buku Jilid Dua
Pada jilid kedua buku memuat 16 masalah, yang sering menjadi perdebatan. Di antaranya: masalah penentuan miqat dalam haji. Salafi menentang dan mengharamkan penambahan Jedah sebagai miqat, sementara Muhammadiyah selain melakukan kritik hadits, mengambil pendapat ulama, mempertimbangkan aspek kesejarahan, dapat menerimanya sebagai miqat, karena secara keseluruhan dapat dipahami bahwa menentuan miqat didasarkan pada arah datangnya jamaah haji dari wilayah-wilayah di luar al-haram, jadi penentuan itu menjadi wilayah ijtihadi.
Salafi mengharamkan ucapan sadaqallahul’adzim setelah membaca al-Qur’an, sementara Muhammadiyah memubahkan bacaan tersebut baik setelah membaca al-Quran atau mendengar kalimat haq lainnya yang pantas untuk dibenarkan.
Salafi cenderung menidakbolehkan menambahkan nama suami di belakang nama istri setelah menikah, sementara Muhammadiyah membolehkannya karena tidak berarti menasabkan kepada lali-laki selain ayahnya. Al-Albani menganggap sunnah mengepalkan tangan ketika bangkit dari sujud untuk berdiri dan ulama lainnya tidak menyepakatinya, Muhammadiyah memahami meletakkan tangan berarti merenggangkan telapak tangan untuk bangkit.
Salafi menganggap tidak benar menjamak shalat Jumat dan Ashar karena Nabi tidak pernah melakukan, sementara Muhammadiyah membolehkannya. Salafi mengharamkan peringatan maulid Nabi, sedang Muhammadiyah membolehkannya dengan beberapa catatan. Salafi melarang demonstrasi kepada penguasa, sementara Muhammadiyah menganggapnya legal dan sah.
Dalam hal menempelkan kaki untuk merapatkan shaf shalat menjadi prioritas beberapa ulama salafi, sedangkan dalam Muhammadiyah meluruskan dan merapatkan shaf adalah sunnah namun pelaksanaanya tidak harus menempelkan kaki, apa lagi pada rekaat berikutnya sambil shalat sambil mencari kaki tetangganya.
Dalam hal bersedekap setelah iktidal di kalangan salafi ada perbedaan yang tajam, sementara Muhammadiyah memilih melepaskan tangan dalam kondisi lurus daripada bersedekap kembali. Begitu pula dalam hal memelihara jenggot, mayoritas salafi mewajibkannya, sedangkan Muhammadiyah menganggap sunnah dan mubah merapikannyaatau memotongnya.
Sekali lagi perlu saya tegaskan bahwa pendapat-pendapat di atas disasarkan pada dalil-dalil dan rujukan yang jelas dan dapat ditelusuri. Karena menyangkut pemahaman maka dalam buku ini tidak menjustifikasi mana yang paling benar.
Secara subjektif tentu bagi kader Muhammadiyah akan mengikuti keputusan-keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid. Menjadi muttabik (pengikut yang cerdas) bukan muqallid(mengikuti dengan membabi buta tanpa tau dasarnya). Tentu semua keputusan tarjih dilakukan secara ijtihad jama’i untuk memilih yang terkuat secara metodologis dalam menetapkan fatwa.
Di akhir buku, penulis menyuguhkan beberapa biografi tokoh-tokoh yang sering disebut dalam buku, baik tokoh umum, salafi maupun Muhammadiyah. Karenanya buku Titik Pisah Fikih Salafi-Muhammadiyah ini layak dibaca supaya pemahaman kita terhadap perbedaan fikih antara salafi dan Muhammadiyah menjadi terang berdasar sumber yang otentik, bukan apa kata orang secara sepotong-sepotong. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni