Pak AR, Ketum PP Muhammadiyah yang Lebih NU dari Orang NU; Liputan Kontributor PWMU.CO Tulungagung Aji Damanuri.
PWMU.CO – Setelah memaparkan kelebihan dan kebanggaan terhadap Muhammadiyah, Nurbani Yusuf mengajak sekitar 800 warga Muhammadiyah Tulungagung bermuhasabah kekurangan Muhammadiyah.
Pada Pengajuan Ahad Pagi di Masjid al-Fattah Tulungagung itu, dia mengajak jamaah merenungkan apa yang hilang dari Muhammadiyah sekarang, Ahad (4/9/22). Menurut Ketua Komunitas Padang Mahsyar di Kota Batu ini, Jawa Timur, ada delapan hal yang mulai hilang di Muhammadiyah.
Tradisi Pesantren
Pertama, tradisi pesantren. Nurbani menegaskan, “Pendiri Muhammadiyah itu santri pesantren kemudian berkiprah di masyarakat dan disebut kiai. Ingat, pendiri Muhammadiyah itu kiai, bukan ustadz!”
Karena itu, Nurbani mnegimbau, tokoh-tokoh Muhammadiyah harus dipanggil kiai, bukan ustadz. “Apalagi ustadz yang mengganggu Muhammadiyah. Kiai itu tradisi pesantren yang hilang di Muhammadiyah. Padahal gelar itu bukan hanya sebuah nama namun mengandung tanggung jawab keberlangsungan dakwah,” ungkapnya.
Akhlak
Kedua, akhlak. Menurutnya, sistem akhlak di Muhammadiyah dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah itu perlu dirinci dan diajarkan secara masif. “Bagaimana akhlak anak-anak kita kepada gurunya?” tanya dia.
Nurbani mengingatkan, “Kita sering mengkritik saudara sebelah keterlaluan dalam menghormati kiainya sampai menimbulkan kultus, itu juga keterlaluan! Namun perlakuan warga Muhammadiyah terhadap para tokohnya juga sangat keterlaluan cueknya.”
Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Gunungsari itu kemudian bertanya, “Pernahkan Bapak Ibu mendoakan Kiai Dahlan? Kiai Suja? Ki Bagus Hadikusumo? Mendoakan para pendiri dan tokoh Muhammadiyah itu adalah bentuk penghormatan dan kecintaan!”
Lagi-lagi Nurbani melontarkan pertanyaan retorik, “Pernahkan Bapak Ibu berziarah ke makam para pendiri dan tokoh Muhammadiyah? Ziarah itu sunnah. Datang ke kuburan ada caranya. Mengucapkan salam, melepas alas kaki, tidak menginjak kuburan, menghadap kiblat, mendoakan ahli kubur dan yang kita ziarahi itu adalah sunnah!”
“Bagaimana, warga Muhammadiyah kok tidak mau ziarah?” imbuhnya.
Jika memang tidak setuju dengan perilaku peziarah kelompok lain yang memuja-muja kuburan, dia memang menegaskan tidak melakukannya. Tapi dia mengimbau melakukan yang sesuai sunnah.
“Masak ya setelah menghadiri muktamar di Solo nanti kita malah jalan-jalan ke Pasar Klewer dan tidak ada keinginan berziarah ke makam para pendiri Muhammadiyah?” tanya Nurbani.
Dia menyimpulkan, akhlak itu penghormatan sesuai sunnah, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Seperti akhlak terhadap orang tua, para guru, tetangga, sesama pengurus, maupun kelompok lain. “Sistem akhlak di Muhammadiyah perlu disegarkan lagi sesuai dengan akhlak Rasulullah SAW!” sarannya.
Terkait akhlak, Nurbani pernah punya pengalaman mencengangkan. Suatu saat, dia diundang salah satu pesantren NU dan dijaga oleh Kokam dan Banser. Usai acara–saat ramah tamah–Nurbani mengobrol dengan salah satu tokoh senior. Lalu ada yang berbisik, “Pak Kiai, kalau Njenengan belum memulai makan, maka tidak ada yang berani makan.”
Nurbani agak terkejut kemudian mulai makan dan diikuti dengan yang lainnya. Dalam hati Nurbani membatin, “Biasanya saya didahului yang lain, bahkan kadang kiainya tidak kebagian.”
Setelah ramah tamah, Nurbani kembali mengobrol dengan beberapa tokoh. Karena cukup gayeng dan asyik, maka memakan waktu yang lama.
Ada yang membisikinya lagi, “Kiai, kalau panjenengan belum pamit, panitia semua tidak berani pulang.” Menyadari hal itu, Nurbani segera pamit. Begitu indahnya akhlak yang ditunjukkan yang ini mulai luntur di Muhammadiyah.
Filsafat
Ketiga, filsafat. Nurbani menyatakan, tradisi berpikir di Muhammadiyah progresif sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran segar dan solutif. Dia menilai, tradisi berpikir ini juga melahirkan banyak tokoh di Muhammadiyah.
“Kebebasan berpikir di Muhammadiyah itu tidak mungkin sesat. Karenanya, jangan sampai warga Muhammadiyah ikut-ikutan memberi lebel liberal kepada para tokoh kita padahal belum pernah mengkaji pemikirannya secara lengkap dan tuntas. Dawam Raharjo liberal, Prof Amin Abdulah liberal, Harun Nasution liberal, dan lain-lain,” jelas dia.
Stigma itu, kata Nurbani, diembuskan kelompok non Muhammadiyah yang kadang juga diikuti sebagian warga Muhammadiyah. “Semua yang lahir di Muhammadiyah lahir dari tradisi berpikir, tradisi berfilsafat,” imbuhnya.
Tasawuf
Keempat, tasawuf. Nurbani menyadari, sering kali di antara mereka menganggap tasawuf itu sesat hanya karena melihat praktik yang tidak sesuai sunnah. “Buya Hamka pernah menulis Tasawuf Modern, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggagas Tasawuf Ihsan, ini cukup bagi kita,” tegasnya.
Dia menginbau, yang tidak sesuai sunnah, tidak perlu diikuti. “Tapi tasawuf dalam arti taqarrub tetap penting dilakukan dalam rangka membangun spiritualitas umat. Misalnya berdzikir dari setelah shalat Subuh dengan membaca kalimah thayyibah sampai waktu syuruk dan dilanjutkan shalat Dhuha adalah salah satu bentuk tasawuf yang mestinya dilakukan supaya amal usaha kita ada keberkahan,” tuturnya.
Berdasarkan pengamatannya, tasawuf ini juga hilang di Muhammadiyah. “Konon Pak AR Fachrudin itu kalau dzikir bakda shalat lama sekali. Sampai dikatakan lebih NU dari orang NU, sementara warga Muhammadiyah jarang melakukan dzikir lama,” ujarnya. Pak AR Fachrudrin adalah Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1968-1990).
Seni Musik
Kelima, seni musik. Musik itu, kata Nurbani, melembutkan hati. Muhammadiyah tidak mengharamkan musik, salafi yang mengharamkan. “Bagi Muhammadiyah, status musik tergantung pada kemanfaatannya. Jika menimbulkan ketaatan maka boleh, jika menimbulkan kemaksiatan ya dilarang,” tegasnya.
Bahkan, lanjutnya, musik bisa jadi media pembelajaran. “Tradisi shalawat dan pujian di NU itu sangat menolong kefasihan dalam membaca al-Quran karena meskipun belum tahu artinya tetapi lisannya terbiasa melafalkan kalimat-kalimat Arab,” ungkapnya.
Menurutnya, inilah sebab mereka mayoritas lebih fasih membaca al-Quran disbanding orang Muhammadiyah. Katanya, “Kan aneh jika warga Muhammadiyah lebih familiar dengan konser-konser Korea dibanding lagu-lagu religi berbahasa Arab?”
Politik
Keenam, politik. “Pemilu langsung itu membuat suara kita tidak begitu diperhitungkan, kadang gagap dalam berpolitik praktis. Maka perlu formula agar kiprah Muhammadiyah dipanggung politik tetap diperhitungkan,” jelas Nurbani.
Dia menekankan, “Negara ini lahir dari rahim Muhammadiyah. Sudah seharusnya kita berbakti membangun negeri ini. Warga Muhammadiyah dalam politik praktis tidak boleh golput! Harus tetap cerdas dalam pilihan!”
Nurbani mengungkap, ada tiga parpol yang dekat dengan Muhammadiyah. Oleh karena itu, dia mengajak warga Muhammadiyah cerdas dalam berpolitik.
Ideologi
Ketujuh, ideologi. Ini yang katanya sering dia kritik. Sebab, tidak ada satu kata yang jelas ketika ditanya ideologi Muhammadiyah itu apa. Padahal, dia menyatakan, kelompok lain jelas branding ideologisnya.
“Ketika disebut NU, pasti aswaja. Salafi ideologinya wahabi, HTI ideologinya khilafah, Protestan ideologinya kapitalis, dan seterusnya,” urai Nurbani.
“Tapi ketika menyebut ideologi Muhammadiyah, masih harus berpikir keras, apakah Dahlanisme atau apa? Banyak tokoh mengidentifikasi warga kita menjadi Munu, Marhaen, Musa, dan lain-lain, tetapi belum menegaskan ideologi Muhammadiyah,” lanjutnya.
Mungkin bisa jadi ideologi Muhammadiyah itu ideologinya berkemajuan, sambung Nurbani, tapi harus ada kesepakatan dalam satu kata saja untuk menunjukkan ideologinya. “Setelah seabad perjalanan, supaya tidak digerogoti ideologi lain yang ingin menguasai, Muhammadiyah harus mentahfidhkan ideologinya,” sarannya.
Fatwa
Terkahir, fatwa. “Kelompok lain banyak mengeluarkan fatwa dalam semua hal, bahkan yang remeh. Mereka berfatwa dengan tegas dan keras. Sementara mencari fatwa tarjih di Google amatlah susah! Makanya, Majelis Tarjih harus responsif terhadap masalah-masalah sosial,” tuturnya.
Ada satu fatwa tentang rokok yang dikritik Nurbani Yusuf. Meskipun beliau tidak merokok dan tunduk terhadap fatwa itu, menurutnya ada yang mengganjal tentang alasan pengharaman rokok.
Dalam guyonannya, warga Muhammadiyah diminta memiliki dua kartu. “Kartu Tanda Muhammadiyah (Katam) dan NU (Kartanu) supaya selamat di akhirat nanti dari adzab neraka,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, “Kalau ditanya masyarakat, mengapa mendukung keharaman rokok maka menunjukkan Katam. Jika sudah meninggal dan ditanya malaikat apakah merokok atau tidak maka Kartanu yang dikeluarkan. Jadi selamat!”
Intinya, selain responsif, Muhammadiyah juga harus lebih cermat dalam berfatwa. “Coba, seseorang diminta merokok setiap hari selama dua bulan dan yang satu lagi diminta setiap hari makan sate-gulai kambing selama dua bulan juga. Siapa kira-kira yang masuk rumah sakit duluan?” tanya Nurbani. Jamaah langsung tertawa.
Dia menegaskan, “Fatwa rokok itu dzanni bukan qat’iy, beda dengan keharaman darah dan daging babi sehingga fatwa ijtihadi tersebut bisa dikoreksi. Selama masih belum direvisi ya kita dukung!’
Begitulah paparan Nurbani yang perlu dipikirkan warga Muhammadiyah sebagai bentuk kritik dan kecintaan terhadap persyarikatan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni/SN