Perbandingan Perolehan Ahli Waris menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Surat An-Nisa; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Dr Abdul Jamil SH MH mengajarkan ilmu praktis perolehan bagian dan hak ahli waris sesuai Hukum Waris Islam Indonesia.
Dia menyampaikan pada Kajian al-Jihadi Embun Pagi yang digelar Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Godean, Yogyakarta, Ahad (2/10/22) via Zoom. Jamil–sapaannya–memulai dengan penjelasan macam ahli waris berdasarkan hak yang diperolehnya.
Di mazhab Indonesia, hanya ada dua macam yaitu dzawil furud dan ashabah. “Dzawil arham–di mazhab Ahli Sunnah–tidak ada karena itu keturunan dari perempuan,” ungkapnya
Kenapa di Indonesia tidak ada? Pertanyaan retorik itu langsung ia jawab, karena ada waris penggantinya. “Para mujahid Indonesia mengijtihadi dari an-Nisa ayat 7,” ujarnya.
Pertama, dzawil furud. Ialah ahli waris laki-laki maupun perempuan yang orang maupun bagiannya sudah ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). “Kalau sudah ada hubungan darah, bagiannya tidak boleh dikurangi, haknya tidak boleh ditutup, kecuali ada penghalang,” terangnya.
Kedua, ashabah. Yaitu ahli waris baik laki-laki maupun perempuan yang rangnya sudah ditentukan tapi bagiannya tidak ditentukan. “Jadi bagiannya sisa setelah diambil bagainnya dzawil furud,” jelasnya. Contohnya, Allah tidak menyebutkan berapa bagian cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Jamil lantas menerangkan tiga macam ashabah. Pertama, ashabah binnafsih. Yaitu ahli waris laki-laki dan keturunannya. Misal, ayah, kakek, anak/cucu/cicit laki-laki dari anak laki-laki.
Dia menegaskan, itu kecuali suami dan saudara laki-laki seibu dan keturunannya. “Allah sudah menyebutkan sendiri ketentuan untuk saudara laki-laki seibu dalam an-Nisa ayat 12,” ungkapnya.
Kedua, ashabah bilghairi. “Adalah ahli waris perempuan yang ditarik laki-laki sederajat untuk bersama-sama menjadi ashabah yang tadinya dzawil furud,” terangnya.
Contohnya, ada anak perempuan dan laki-laki. Maka bagian anak perempuan bukan setengah, tapi ditarik oleh anak laki-lakinya menjadi ashabah bersama-sama. “Jadi bagiannya diambil setelah dzawil furud,” imbuhnya.
Ketiga, ashabah ma’al ghairi. “Adalah ahli waris saudara perempuan kandung atau seayah, jika bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki,” jelasnya.
Kompilasi Hukum Islam Vs An-Nisa
Dia lantas membandingkan syariat dalam an-Nisa dengan pasal-pasal di Kompilasi Hukum Islam (KHI). Perbandingan itu menurutnya perlu karena masih banyak orang yang menganggap KHI tidak sesuai nash, padahal tidak.
“Memang ada hasil ijtihad para ulama Indonesia waktu menyusun KHI, hasilnya sesuai surat an-Nisa ayat 7 itu ada waris pengganti, tapi tidak ada dzawil arham,” ujarnya.
Melalui perbandingan berikut, dia berharap masyarakat bisa lebih memahami KHI tidak bertentangan dengan al-Quran. “Bedanya tidak ada dzawil arham, bagi laki-laki mempunyai kerabat, dia mewarisi dari kerabatnya. Begitu juga dengan perempuan,” terangnya.
Jamil menegaskan, “Memang KHI itu mengambil dari ayat al-Quran lalu dibentuk pasal-pasal.”
1. Perbandingan an-Nisa 111 dan KHI
Berikut syariat Allah SWT dalam an-Nisa ayat 111, “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta.”
“Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.”
“(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”
Jamil pun menerangkan bagian ahli waris sesuai pasal 176 KHI. “Ahli waris anak perempuan bagiannya 1/2 apabila seorang, 2/3 apabila dua orang atau lebih, dan ashaba bersama anak laki-laki dan keturunannya. Bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan,” terangnya.
Dia menegaskan pasal ini sudah jelas sesuai ayat di atas. “Tidak bertentangan dengan al-Quran!” imbuhnya.
Kemudian pada pasal 177 dan 178 KHI dia jelaskan, ahli waris ayah bagiannya 1/6 apabila ada anak (laki-laki maupun perempuan) atau (cucu); 1/6 ditambah ashabah apabila anaknya perempuan (termasuk cucu), ashabah (kasus gharawain).
Jamil lanjut menerangkan, kasus gharawain itu warisnya tertentu. “Ahli warisnya hanya terdiri dari janda, istri/suami, ayah dan ibu. Tidak ada anak maupun cucu,” ungkapnya.
Adapun ahli waris ibu mendapat bagain 1/6 apabila ada anak atau ada saudara lebih dari 1 orang, 1/3 apabila tidak anak atau ada saudara lebih dari seorang, 1/3 sisa setelah diambil bagian janda atau duda apabila kasus gharawain.
2. Perbandingan an-Nisa 12 dan KHI
Dalam an-Nisa’ ayat 12 dijelaskan, “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.”
“Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.”
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.”
“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha penyantun.”
Dari ayat itu, terbentu ketentuan pasal 179 di KHI. “Ahli waris suami mendapat bagian 1/2 apabila tidak ada anak (cucu). 1/4 apabila ada anak (cucu). Ahli waris istri mendapat bagian 1/4 apabila tidak anak (cucu) dan 1/8 apabila ada anak (cucu),” terangnya.
Ada pula ketentuan pasal 181 di KHI. “Ahli waris saudara seibu mendapat bagian 1/6 seorang baik laki-laki atau perempuan apabila tidak ada anak laki cucu) dan atau ayah; 1/3 dua orang atau lebih baik laki-laki atau perempuan apabila tidak ada anak (cucu) dan atau ayah,” imbuhnya.
3. Perbandingan an-Nisa 176 dan KHI
Pada an-Nisa’ ayat 176 yang dimulai dengan pertanyaan, Allah mensyari’atkan, “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak,”
“Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.”
Sebelum membandingkan lebih lanjut dengan KHI, Jamil menjelaskan maksud kalalah. “Yaitu ketika seorang suami atau istri meninggal dunia tidak meninggalkan anak sama sekali, tidak punya anak. Jadi otomatis tidak punya cucu. Mati punah,” terangnya.
Dari ayat ini, disusunlah ketentuan pasal 182 KHI berikut. Ahli waris bagian saudara perempuan kandung atau seayah mendapat 1/2 apabila seorang dan tidak ada anak laki-laki (cucu) dan atau ayah; 2/3 dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki (cucu) dan atau ayah; ashabah apabila bersama-sama saudara laki-lakinya atau kakek, dan bagian laki-lakinya mendapatkan dua kali bagian saudara perempuannya. Apabila tidak ada anak laki (cucu) dan atau ayah.
“Saudara laki-laki itu sederajat dengan kakek. Misal ayah sudah meninggal tapi ada kakek. Maka kakek penggantinya ayah,” terangnya.
Pada ketentuan pasal 192 KHI, ada istilah aul. Yaitu jika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikan seperti angka pembilang.
Lalu pada ketentuan pasal 193 KHI ada istilah rad. Ialah angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, maka kelebihannya dibagikan secara berimbang di antara ahli waris. Rad terjadikarena tidak ada ashabah (yang menghabisi sisanya). (*)