Belajar pada Raja Salman
AUM Kesehatan sudah waktunya “dinikahkan” dalam ikatan ‘akad nikah’ berwujud Holding Company konsolidasi seluruh potensi aset, kewajiban dan kekayaannya. Dengan ‘akad nikah’ yang jelas dan mengikat, bukan lagi sekedar pertemanan tanpa ikatan sah, kuat, dan mengikat.
Menikah artinya seiya-sekata dalam biduk kapal mengarungi warna warni gelombang dunia dalam satu komando nakhoda/kapten, susah senang bersama, hutang-piutang dieliminasi, untung-rugi dikonsolidasi.
(Baca juga: Holding Surya Mart Belum Terlambat, Berharap Muhammadiyah Lebih Serius)
Kenapa harus AUM Kesehatan dan bukan AUM lain yang dibina? AUM Kesehatan paling memungkinkan dikorporatisasi termasuk menjual saham ke publik sejak terbitnya Surat Edaran Badan Pengawas Pasar Modal Nomor:SE-02/PM/2002 tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Perusahaan Publik Industri Rumah Sakit.
Demi terobosan manajemen AUM Kesehatan, sepertinya yang perlu turun sebagai “mak comblang” menyatukan hati AUM-AUM adalah pemimpin tertinggi Persyarikatan, yaitu Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang kini diketuai Ajengan KH Haedar Nashir.
Sebagaimana Raja Salman yang baru-baru ini mengunjungi Malaysia, Brunei, dan Indonesia termasuk Bali. Banyak yang beranggapan kunjungan Khadimul Haramain sekedar membahas isu tradisional dengan negara Islam seperti kuota haji, tenaga kerja, dan aktivitas dakwah Islamiyah.
Dalam kunjungannya, Raja Salman memang masih membahas hal-hal tradisional tersebut, namun ada skenario besar dalam misi Raja Salman tentang rencana IPO Saudi Aramco. Perusahaan minyak milik kerajaan yang akan melepas 5 persen sahamnya ke publik, artinya 95 persen masih dalam kendali kerajaan.
(Baca juga: Fatwa MUI yang Gairahkan Industri Keuangan, hem … Kenapa Tidak Diprotes?)
Rencana IPO selain menambah modal juga demi konsolidasi dan inovasi manajemen perusahaan yang selama ini dijalankan dengan kultur kerajaan yang tertutup.
Seorang Raja pemimpin tertinggi rela menjadi “salesman” saham perusahaan minyak milik kerajaan yang “hanya” akan dilepas 5 persen ke publik dengan nilai USD 100 milyar (Rp 1.325 trilyun). Adapun salah satu tujuan IPO yaitu untuk memperoleh tambahan dana pengembangan anak-anak perusahaan Aramco di sektor non-migas termasuk pariwisata.
(Baca juga: Wakaf 50 Hektar di Cileungsi, Semoga Produktif dan Beranak-pinak Seperti Sumur Rumah Usman bin Affan)
Wisata yang oleh sebagian orang dianggap foya-foya hakekatnya menjadi salah satu sarana tadabbur alam bagi kaum Muslimin. Tadabbur alam demi mengagungkan ayat-ayat kauniyah Allah SWT berupa hamparan pesona alam ciptaan-Nya.
Raja Salman liburan di Bali bukan sekedar tadabbur alam namun juga tadabbur ilmi untuk survey kelayakan investasi wisata di Bali. Selain Bali, yang dikabarkan diminati adalah Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat.
Minyak dan gas tetap sebagai core bussines kerajaan dalam penguasaan 95 persen saham. Adapun sektor lain dengan porsi saham 5 persen dikembangkan di negeri-negeri kaum Muslimin termasuk Indonesia.
(Baca juga: Geliat RS Siloam, Bagaimana RS Muhammadiyah (Incorporated)?)
Saudi Arabia yang tidak kekurangan uang dari hasil minyak, gas, dan haji serta umrah masih membuka diri terhadap publik untuk ikut berpartisipasi dalam investasi kerajaan.
Feodalisme yang selama ini identik dalam sistem kerajaan perlahan mengikuti kemajuan zaman khususnya dalam pengembangan aset usaha kerajaan. Biar terlambat inovasi manajemen usaha Kerajaan Saudi patut diapresiasi mengingat Kerajaan Belanda telah melakukannya melalui VOC sejak tahun 1602.
Dalam mengikuti trend tersebut AUM Kesehatan sebagai assabiqunal awwalun Persyarikatan diharapkan menjadi core bussines dalam pengembangan AUM lain yang produktif. Keterbukaan manajemen menjadi hal utama yang harus diusahakan setelah konsolidasi sebagai Holding AUM Kesehatan.
(Baca juga: Belajar dari Fenomena 212: Umat Islam Mau Berkumpul Orangnya, Belum Mau Berkumpul Uangnya)
Membuka kesempatan warga Persyarikatan berpartisipasi modal dalam prosesi IPO yang profesional dengan porsi saham pengendali mayoritas tetap ada pada Persyarikatan. Ormas Islam Berkemajuan tentu bisa lebih terbuka, tidak lebih feodal dalam pengelolaan Amal Usaha sebagaimana Kerajaan Saudi sebelum era Aramco.
“Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa–apa yang terjadi pada diri mereka (Arra’du/13 ayat 11)“. Wallahu alam Bishshawab – Alhaqqu Mirabbika Falaa takunanna minal mumtarin. (*)
Opini oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah Lamongan, pelaku Pasar Modal, auditor di Kantor Akuntan Publik Erfan & Rakhmawan Surabaya.