Saat Dita ‘Lesti Kejora’ Anggraini Mengikuti Workshop Guru Menulis; Liputan Anik Nur Asia Mas’ud, kontributor PWMU.CO.
PWMU.CO – Lesti Kejora. Itu yang terlintas jika saya melihatnya. Saat itu ia berada di pelatihan pantomim. Sosoknya yang tak asing lagi. Sempat berpikir—meskipun hal itu tidak mungkin—sedang apa Lesti di sini?
Apakah ia sedang mencari tempat pelarian, supaya jauh dari wartawan? Mencari kedamaian? Dia pun hanya tertawa lebar ketika orang menyapanya dengan sebutan Lesti, sosok artis yang sedang viral saat itu karena kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suaminya.
Ternyata tidak hanya di pelatihan pantomim ia hadir. Saat acara Workshop Guru Menulis yang diadakan oleh Lembaga Kebudayaan Pimpinan Daerah Aisyiyah (LK PDA) Kabupaten Gresk, Ahad (23/10/22), ia juga ada di tengah-tengah 100 peserta yang hadir memenuhi Aula TK Aisyiyah 36 Perumahan Pongangan Indah (PPI) itu.
Terlebih lagi, ketika pemateri, Dewi Musdalifah, menunjukknya sebagai salah satu peserta yang membacakan naskah cerita yang ditulisnya pada materi pertama. Peserta lain pun penasaran melihatnya.
Saat itu, Dewi meminta setiap peserta menuliskan sebuah cerita. Satu per satu peserta yang terdiri dari guru kelompok bermain (kober) dan TK Aisyiyah se-Kabupaten Gresik itu mengajukan diri membacakan cerita pendek (cerpen) buatannya. Giliran pada Dita Anggraini.
Ketika mikrofon diberikan padanya, Dewi spontan mengatakan, “Ya, silakan Mbak Lesti.”
Peserta yang hadir tertawa kecil mendengarnya. “Wajahnya mirip, semoga nasibnya tidak mirip,” canda Dewi. Kalimat ini membuat peserta kembali tersenyum.
“Haru Biru Menjadi Guru Baru,” ucap Lesti, eh … Dita, membacakan judul ceritanya. Lalu dia membacakan cerita—tentang pengalaman kali pertama mengajar—sebegai berikut:
Tak sabar rasanya menunggu hari di mana aku akan bertemu, bermain, dan bernyanyi dengan anak-anak manis yang gemar melontarkan senyum serta tawa ceria. Namun sebenarnya, aku sungguh sedang dilanda kekhawatiran akan kesiapan bobot ilmu yang kupunya.
“Assalamualaikum… Apa kabar anak-anak hari ini?” sapaku kepada anak-anak.
Tak ada jawaban salam yang kuterima. Tapi banyak respon yang mereka sampaikan.
“Ibu gulu (maksudnya guru), aku lapar,” kata seorang siswa sembari memelukku dari belakang.
“Ibu gulu, ayo kita main monkey bar sajam,” ajak mereka sambil menarik-narik tanganku dengan jari mungil.
Atau mereka hanya merespon dengan tarian dari atas meja dan bahkan ada yang merespon dengan berlalu lalang.
Dan, di sinilah, perjalanan baruku dimulai. Di dalam ruang berwarna-warni dengan berbagai macam gambar karakter buah dan bunga.
Kata demi kata, bait demi bait, terasa hidup cerpen yang ia bacakan, ada rasa di dalamnya. Dan dia pun sempat menahan tangis kala itu.
Baca sambungan di halaman 2: Ternyata Penulis Buku