Mahalnya Hidayah
Dalam hadits di atas sekaligus Allah menegur kepada Rasul-Nya, yang pertama bahwa jika seseorang sudah menentukan sikap untuk memilih kekafiran dan sudah jelas bahwa ia calon penghuni nereka maka tiada sepatutnya didoakan untuk selamat, sekalipun ia adalah kerabat dekat.
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن يَسۡتَغۡفِرُواْ لِلۡمُشۡرِكِينَ وَلَوۡ كَانُوٓاْ أُوْلِي قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَحِيمِ ١١٣
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (at-Taubah: 113)
Kedua, hak prerogatif memberi hidayah itu hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala.
إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ٥٦
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (al Qashash: 56)
Begitulah hidup ini, setiap kita pasti akan menentukan sikap apakah memilih hidup dalam kebenaran atau sebaliknya, sedangkan bagi lainnya tidak bisa memaksakan kehendak untuk ia dalam selalu dalam kebenaran. Doa hanya terkhusus bagi yang sesame mukmin, sedangkan doa untuk orang kafir yang sudah meninggal khususnya maka tidak ada gunanya.
Betapa mahalnya hidayah, harta dunia dan seluruh yang ada padanya, jabatan yang sedang diembannya dan semua kekayaan dunia ini tidak dapat membeli hidayah. Hidayah itu adalah hak prerogative Allah saja bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Maka tiada yang perlu dibanggakan bagi kita termasuk prestasi ibadah atau jabatan keagamaan, entah sebagai ustadz, syaich, kiai, gus dan lain sebagainya, karena setiap kita hanya wajib berusaha untuk selalu dalam kebenaran dan sampai hayat dalam keadaan husnul khatimah.
Pilihan itu ada pada setiap pribadi, dan seseorang akan tahu bahwa sikapnya itu tidak sesuai kebenaran, akan tetapi ada factor-faktor internal dalam dirinya yang menjadikan ia tidak mau menerima kebenaran secara mutlak.
إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لِرَبِّهِۦ لَكَنُودٞ ٦ وَإِنَّهُۥ عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٞ ٧ وَإِنَّهُۥ لِحُبِّ ٱلۡخَيۡرِ لَشَدِيدٌ ٨ ۞أَفَلَا يَعۡلَمُ إِذَا بُعۡثِرَ مَا فِي ٱلۡقُبُورِ ٩ وَحُصِّلَ مَا فِي ٱلصُّدُورِ ١٠ إِنَّ رَبَّهُم بِهِمۡ يَوۡمَئِذٖ لَّخَبِيرُۢ ١١
sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya, dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada, sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka. (al-‘Adiyaat: 6-11). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Ketika Allah Tertawa adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 5 Tahun XXVII, 11 November 2022/16 Rabaul Awal 1444
Discussion about this post