Mengapa Pernikahan Disebut Mitsaqan Ghalizha, Sejajar dengan Perjanjian Tuhan dengan Nabi, merupakan bagian ke-10 dari buku Spiritualitas Pernikahan – Meraih Kebahagiaan dengan Rahmat Ilahi karya Moh. Sulthon Amien. Seri ke-9 sebelumnya Pernikahan-Pernikahan yang Dipersoalkan menjadi viral.
Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim., Ketua Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Ketua Dewan Pembina Yayasan Insan Mulia Surabaya, dan Direktur Utama Laboratorium Klinik Parahita Surabaya.
PWMU.CO – Al-Quran menginspirasikan satu terminologi dalam tiga konteks yang berbeda. Kosakata itu adalah mitsaqan ghalizha, artinya “perjanjian yang berat” atau “perjanjian agung” yang teguh di sisi llahi. Perjanjian yang tidak sekadar sebuah perikatan, tetapi membutuhkan pemaknaan yang dalam.
Dibutuhkan pertanggungjawaban setiap pihak dan konsekuensi timbal balik yang seimbang dalam perjanjian tersebut. Mengingkari janji atau wanprestasi tak diharapkan dari keduanya. Di sini akan saya runutkan konteks sesuai dengan lini masanya.
Makna Mitsaqan Ghalizha Pertama
Pertama, firman Allah SWT, “Dan ketika Kami mengambil dari nabi-nabi perjanjian mereka dan darimu (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan lsa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh” (al-Ahzab 7). Mitsaqan ghalizha yang pertama bisa kita lihat dalam konteks perjanjian Allah dengan rasul yang mendapat predikat ulil azmi.
Mereka adalah lima nabi yang dipilih Allah dengan spesifikasi dan kualifikasi khusus untuk diberikan tugas berat. Dibandingkan dengan rasul lainnya memang beda, baik dari sisi konteks keumatan yang dihadapi maupun corak ajaran yang diembannya.
Nabi Nuh AS merupakan salah satu yang mendapatkan predikat tersebut. Allah mengujinya dengan kaum yang mayoritas mengufuri kenabiannya. Mereka lantas dimusnahkan, kecuali mereka yang ikut rombongan di dalam kapal Nabi Nuh. Tragis memang, satu kaum hancur oleh keangkuhan egonya. Betapa sulit amanah kerasulan yang diemban Nuh memulai kehidupan dari nol lagi bersama umatnya yang bertauhid.
Lain lagi dengan Ibrahim yang sejak muda telah bergelut dengan kemusyrikan. Tidak saja dia berhadapan dengan kaumnya yang membangkang, bahkan ayahnya sendiri juga menolak kebenaran yang dia bawa. Lebih lagi, penguasa zalim seperti Namrud ambil andil besar memusuhi eksistensi kenabiannya.
Kisah Ibrahim tidak berhenti di situ. Saat sudah usia lanjut, beliau belum juga mempunyai keturunan yang diharapkan kelak akan mewarisi perjuangannya.
Sebagaimana telah kita ketahui cobaan demi cobaan dari Yang Maha Agung datang bertubi-tubi menimpa dirinya beserta keluarganya. Belum pernah terjadi sebelumnya perintah kerasulan melibatkan seisi keluarga layaknya yang dialami Abu Rasul ini. Dari rahim istrinya, lahir keturunan nabi-nabi besar yang dipilih Tuhan dalam ulil azmi: Musa, Isa Al Masih, dan nabi penutup zaman, Muhammad Saw.
Sejarah Musa menorehkan heroik kepahlawanan menentang keangkamurkaan manusia durjana yang paripurna, Fir’aun. Film The Ten Commandement menggambarkan Musa bersama kaumnya dikejar Fir’aun dan pasukannya. Visual effect yang apik membuat bioskop ini menggetarkan hati. Meski video tersebut merupakan penggambaran versi Yahudi, namun cukup enak ditonton. Di bagian akhir, tergambar tangan-tangan Tuhan menolong hamba-Nya yang memperjuangankan kebenaran.
Kehidupan Isa Al-Masih tak kalah tragisnya. Sejak di dalam rahim Ibunda Siti Maryam a.s. nan suci, sudah di-bully habis-habisan. Ketika lahir pun, Si orok yang masih merah itu ditanya tanpa mengindahkan akal sehat. “Anak siapa kamu ini?” ledek mereka. Dengan qadaratullah si jabang bayi mampu menjawab, “Aku Isa Al Masih putra Siti Maryam.”
Dalam perjalanan hidupnya, pembawa risalah itu diburu kaumnya karena tidak dipercaya sebagai utusan langit. Meski mengantongi mukjizat yang penuh keajaiban tetap saja keberadaannya disangkal. Salah seorang muridnya berkhianat membocorkan persembunyian gurunya. Dengan izin Allah Azza Wajalla, wajah si pendurhaka itu diserupakan mukanya seperti Isa Al Masih. Jadilah ia yang disalib bangsa Nazareth.
Baca sambungan di halaman 2: Makna Mitsaqan Ghalizha Kedua