PWMU.CO– Perspektif bencana dan musibah kali ini dibahas Dr Mahsun Djayadi dalam pandangan Tarjih Muhammadiyah.
Topik perspektif bencana itu disampaikan Mahsun Djayadi dalam Ngaji Reboan di Masjid an-Nur di Simolawang Tembusan Surabaya, Rabu (14/12/2022) bakda Magrib.
Dia mengatakan, perspektif bencana yang baru sangat dibutuhkan agar orang tidak beranggapan bahwa musibah terjadi karena azab Allah.
”Musibah berasal dari bahasa Arab, dari kata ashaaba (أَصَابَ) yang artinya mengenai, menimpa, atau membinasakan.
Dijelaskan, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyusun panduan guna memahamkan konsep bencana, memaknai bencana, cara pandang pengelolaan bencana, pemenuhan hak korban bencana, dan masalah ibadah dalam situasi bencana.
Hasil Munas Tarjih tentang Panduan Kebencanaan tersebut disahkan melalui SK No. 102/KEP/I.0/B/2015 tanggal 29 Syakban1436 H/16 Juni 2015 M. Panduan tersebut diberi nama Fiqih Kebencanaan.
Bahasan Fiqih Bencana
Fiqih Kebencanaan meliputi hukum konkret (al-ahkam al-far’iyah), juga mencakup seperangkat ketentuan Islam tentang nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah), dan prinsip umum (al-ushul al-kulliyyah).
”Bencana merupakan kepastian, tinggal mengubah cara kita menyikapinya, manusia harus mampu bangkit, memelihara harapan, dan melanjutkan hidup. Masyarakat yang tidak terkena bencana punya kewajiban membantu pemenuhan hak korban bencana dan memulihkan keadaan secara bermartabat,” kata dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya ini.
Dalam perspektif Muhammadiyah, sambung dia, Fiqih Kebencanaan memahami bencana merupakan wujud kasih sayang Allah kepada manusia, sekaligus merupakan ujian dan cobaan keimanan.
Di dalam al-Quran, bencana memiliki padanan kata antara lain musibah, bala’, fitnah, azab, fasad, halak, tadmir, tamziq, ‘iqab, dan nazilah.
Fiqih Kebencanaan memuat fikih ibadah dalam suasana darurat bencana dahsyat, semisal sahnya shalat dalam keadaan najis dan aurat tidak tertutup, atau tentang batasan waktu jamak shalat pada saat bencana dipahami sebagai kesukaran (masyaqqah) dan kesempitan (haraj).
”Fiqih Kebencanaan memahami dua prinsip umum: kemudahan (taysir) dan perubahan hukum sesuai dengan perubahan situasi (tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-azman wa al-amkinah),” ujarnya.
Persyarikatan Muhammadiyah merumuskan menangani bencana dengan mendayagunakan sumber daya manusia, dana, dan perangkat.
Langkah yang dilaksanakan mengerahkan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center). Menerjunkan relawan, bantuan logistik, mulai asesmen hingga rehabilitasi. Juga menggerakkan Lazismu untuk penggalangan dana infak, sedekah, dan zakat.
Penulis Jahja Sholahuddin Editor Sugeng Purwanto