Utsman bin Affan: Dari Sumur Berdiri Hotel Megah adalah seri keempat tulisan tentang Khulafaur Rasyidun oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim 2015-2022. Tulisan pertama berjudul Abu Bakar, Tegas dalam Kelembutan. Tulisan kedua: Umar bin Khattab Mercusuar Islam. Tulisan ketiga: Umar bin Khattab dan Gadis Penjual Susu. Seri tulisan Khulafaur Rasyidun terbit tiap Jumat. Redaksi.
PWMU.CO – Madinah dilanda panas yang sangat. Kemarau itu menyebabkan sumur-sumur kering tidak berair. Hanya satu sumur yang ada airnya. Milik orang Yahudi. Nama sumur itu Raumah, dekat Masjid Qiblatain sekarang. Orang antre membeli air di sumur Yahudi itu. Harganya dimahalkan karena dia tahu banyak yang membutuhkan
Rasulullah tidak tega melihat keadaan itu. Maka beliau bersabda: Siapa yang bisa membeli sumur lalu diwakafkan untuk kepentingan orang banyak, maka Allah akan memberinya balasan surga”
Mendengar sabda Nabi itu Utsman bergegas menemui Yahudi itu. Dia menyatakan akan membeli sumurnya. Yahudi menolak. Yahudi tidak bermaksud menjualnya. “Kalau kujual sumur ini maka hilang penghasilan rutin saya yang baik ini,” kata Yahudi.
Utsman tidak putus asa. “Bagaimana kalau kubeli separuhnya?” kata Utsman.
“Separuh? Apa maksudmu?”
“Sumur itu sehari untukmu dan kamu bisa menjual airnya seperti biasa. Dan sehari milikku. Aku bisa menggunakan sumur pada hari itu,” kata Utsman.
Yahudi itu tertarik dengan tawaran Utsman. Dia berpikir tidak kehilangan sumurnya, tetap bisa menjual airnya dan dapat uang penjualan sumur dari Utsman. Jumlahnya tidak sedikit. 12. 000 dirham.
“Rekening atas nama Utsman itu terus bertambah. Maka supaya lebih produktif uang dari rekening Utsman itu sebagian digunakan untuk membeli tanah di Markaziyah, wilayah elite dekat Masjid Nabawi.”
Sejak saat itu penjualan air sehari untuk Yahudi dan sehari untuk Utsman. Ketika giliran hari untuk Utsman, air itu digratiskan. Semua orang boleh mengambil air sebanyak mungkin dengan gratis. Maka penduduk mengambil air untuk dua hari. Besok waktu giliran Yahudi menjual air, orang tidak ada yang beli. Mereka masih punya air. Besoknya ketika giliran milik Utsman penduduk mengambil untuk kebutuhan dua hari. Besok tidak perlu ambil air lagi.
Demikian terus berlanjut. Akhirnya Yahudi itu kehilangan penghasilannya. Tidak ada yang beli air pada waktu sumur giliran punya Yahudi. Yahudi bingung. Akhirnya dia minta Utsman membeli sekalian sumur yang separuhnya. Yahudi menjualnya 8.000 dirham. Maka sejak itu sumur sepenuhnya milik Utsman. Dan tetap digratiskan. Diwakafkan untuk umat. Semua orang bisa mengambil airnya, termasuk Yahudi mantan pemilik sumur.
Di sekitar sumur itu tumbuh kurma. Makin lama makin banyak. Hingga saat ini berjumlah tidak kurang 1. 550 pohon. Buah kurma itu dijual. Sebagian hasilnya untuk anak yatim dan fakir miskin. Sebagian lagi disimpan dengan rekening atas nama Utsman bin Affan. Dari penguasa satu generasi ke generasi berikutnya menjaga dengan baik wakaf Utsman bin Affan itu sampai sekarang di bawah pemerintah Arab Saudi.
Rekening atas nama Utsman itu terus bertambah. Maka supaya lebih produktif uang dari rekening Utsman itu sebagian digunakan untuk membeli tanah di Markaziyah, wilayah elite dekat Masjid Nabawi. Lalu di tanah itu dibangun hotel bintang lima, Hotel Utsman bin Affan. Pengelolaannya diserahkan ke Sheraton. Semua penghasilan dari wakaf produktif itu sebagian tetap dibagikan untuk fakir miskin dan anak yatim sedangkan sebagian tetap disimpan atas nama rekening Usman.
Hotel Utsman bertaraf internasional itu terdiri atas 15 lantai dengan 24 kamar setiap lantainya. Juga dilengkapi restoran besar dan pusat perbelanjaan. Uang rekening Utsman bin Affan akan terus bertambah. Hampir satu setengah abad Utsman memberikan wakaf sebuah sumur dan sampai sekarang masih terus mengalirkan manfaat. Wakaf yang legendaris. Hasilnya terus mengalir tiada henti. Contoh nyata dan indah bagi kita.
Pemilik Dua Cahaya
Utsman dari keluarga bangsawan terpandang, kaya raya dan dermawan. Orang sangat hormat kepada Utsman. Dia termasuk rombongan hijrah pertama. Ketika Rasulullah menyuruh kaum Muslimin hijrah ke Habasyah untuk menghindari tekanan kafir Quraisy, Utsman bersama istrinya Ruqayah, putri Rasulullah, termasuk dalam rombongan hijrah ini. Kaum Muslimin kemudian pulang dari Habasyah karena keadaan di Makkah dianggap kondusif. Ternyata tidak seperti diberitakan itu. Maka sebagian kaum Muslimin hijrah lagi ke Habasyah. Termasuk Utsman dan istrinya. Dalam hijrah ke Habasyah ini, yang pertama maupun kedua Rasulullah tidak ikut serta.
Ruqayyah tidak bisa mendampingi Utsman seterusnya karena Ruqayyah meninggal. Kemudian Rasulullah menjodohkan Utsman dengan putrinya yang lain lagi yaitu Ummu Kulsum, adik dari almarhumah Ruqayyah. Maka Usman adalah menantu Rasulullah yang mengawini dua putri beliau. Maka Utsman disebut Dzuan Nurain, pemilik dua cahaya. Empat sahabat Rasulullah yaitu para Khulafaur Rasyidun memang terikat pernikahan dengan Rasulullah.
Abu Bakar adalah mertua Rasulullah karena beliau menikahi Aisyah. Umar bin Khattab juga mertua Rasulullah karena beliau menikahi anak Umar yaitu Hafshah. Ali bin Abu Thalib adalah menantu Rasulullah karena Ali menikah dengan Fatimah, putri Rasulullah. Sedangkan Utsman menikah dengan dua putri Rasulullah. Ruqayyah dan Ummu Kulsum.
“Utsman selain sangat dermawan dan dari keluarga terpandang, dia memiliki perasaan yang lembut. Dia orangnya sangat perasa bahkan sedikit pemalu.”
Rasulullah sangat menyayangi Utsman sebagai menantunya. Karena itu ketika Ruqayyah meninggal segera dikawinkan dengan putrinya yang lain yaitu Ummu Kulsum. Tetapi Ummu Kulsum juga tidak berumur panjang. Dia meninggal. Rasulullah sangat sedih. Beliau berkata: “Sayang saya tidak punya anak perempuan lagi yang belum menikah. Kalau masih ada pasti aku nikahkan lagi dengan Utsman.” Memang Rasulullah punya putri satu lagi yaitu Fatimah. Tetapi Fatimah sudah menjadi istri Ali bin Abu Thalib.
Utsman selain sangat dermawan dan dari keluarga terpandang, dia memiliki perasaan yang lembut. Dia orangnya sangat perasa bahkan sedikit pemalu. Suatu hari Rasulullah tiduran di kamar Aisyah. Jubahnya sedikit tersingkap sehingga betisnya kelihatan. Abu Bakar minta izin menemui Rasulullah. Lalu diberi izin. Setelah berbincang dan pergi, kemudian menyusul Umar minta izin menemui beliau. Umar diizinkan. Setelah Umar selesai urusannya dia pergi. Kemudian Utsman minta bertemu Rasulullah. Sebelum Rasulullah menerima Utsman, beliau duduk lalu membetulkan dan merapikan pakaiannya. Baru kemudian beliau menerima Usman.
Setelah Utsman pergi, Aisyah bertanya: Ya Rasulullah, ketika Abu Bakar dan Umar datang Rasulullah biasa saja. Namun ketika Utsman yang akan datang Rasulullah duduk dan merapikan pakaian. Mengapa itu Rasulullah lakukan? Nabi menjawab: “Utsman itu punya perasaan amat peka. Kalau aku menerima Utsman dengan keadaan seperti sebelumnya pasti dia kembali dan mengurungkan menemui aku. Berarti apa yang akan dikemukakan kepadaku tidak tersampaikan.”
Demikianlah Utsman. Perasaannya peka. Dia tidak ingin orang lain terganggu dengan kehadirannya. Dia tidak mau mempermalukan orang lain. Dan rasa malunya itu terutama ditujukan kepada Allah. Dia malu kalau sampai melanggar larangan Allah. Suatu hari Rasul bersabda: “Yang paling pengasih di antara umatku adalah Abu Bakar. Yang paling tegas dan keras dalam agama Allah adalah Umar dan yang paling perasa adalah Utsman.”
Penghuni Surga
Ada beberapa sahabat yang menurut Rasulullah menjadi calon penghuni surga. Salah seorang yang masuk dalam kelompok calon penghuni surga adalah Utsman bin Affan. Suatu hari Rasulullah bersabda: “Setiap Nabi mempunyai teman karib di dalam surga. Dan teman karib saya di dalam surga adalah Utsman bin Affan.”.
Bukan hanya sekali Rasulullah menyatakan Utsman sebagai calon penghuni surga. Dalam beberapa kesempatan hal itu sering disampaikan. Usman selain sangat dermawan juga sangat tekun dalam beribadah. Siang harinya sering dihabiskan dengan berpuasa. Malam harinya digunakan untuk ibadah shalat malam. Maka pantas jika dia calon penghuni surga.
Bukan hanya sekali Utsman mengatasi masalah dengan sifat dermawannya seperti membeli sumur Yahudi. Pada kali lain ketika Rasulullah membutuhkan bekal untuk pasukan dalam Jaisul Usra, perang melawan kisar Romawi, Rasulullah menyerukan untuk memberi sumbangan. Para Wanita menyerahkan perhiasan. Orang lain juga menyumbangkan sesuai kemampuannya. Tetapi sumbangan itu jauh dari mencukupi. Maka Utsman menanggung seluruh keperluan pasukan itu. Utsman menyerahkan 940 ekor unta. Ditambah 40 ekor kuda supaya genap 1000. Masih ditambah lagi 10.000 dinar. Bahkan hal yang kecil-kecil seperti tali kekang kuda juga disiapkan sehingga orang tidak perlu mencari lagi.
Utsman menjadi khalifah ketika usianya tidak muda lagi bahkan sudah cukup tua yaitu berusia 70 tahun. Seperti kita ketahui Umar bin Khattab pada suatu Subuh ketika menjadi imam shalat, seorang Majuzi, Feros, menusuk Umar dari belakang. Dia menyimpan dendam yang membara karena Umar telah menaklukkan negerinya dengan mudah. Sejak peristiwa penusukan itu Umar merasa hari-harinya sudah dekat. Maka di tempat tidurnya ia mengumpulkan sahabat senior yang dekat Rasulullah. Mereka adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair ban Awwam, Saad bin Abi Waqqas, dan Abudrrahman bin Auf.
Umar minta mereka memilih salah satu di antara mereka sendiri untuk menjadi khalifah pengganti Umar. Usman memilih Ali dan Ali memilih Utsman. Dari para sahabat senior itu keduanya memperoleh suara yang sama. Tinggal suara Abdurahman bin Auf yang akan menentukan siapa menjadi khalifah.
Abdurahman tidak segera menjatuhkan pilihan. Dia tanya kepada beberapa sahabat senior lainnya dan juga kepada masyarakat bawah. Setelah dianggap cukup menjaring informasi, maka Abdurrahman mengumpulkan masyarakat ke masjid. Abdurahman mencari Ali dan Utsman dan meminta keduanya tampil ke depan. Di depan masyarakat Abdurahman mengumumkan bahwa dia memilih Utsman bin Affan. Ali segera menyalami Utsman sebagai baiat. Dia orang pertama yang melakukan baiat itu. Lalu disusul orang-orang yang lain. Maka sejak itu Utsman bin Affan menjadi khalifah.
Wilayah Islam sudah semakin luas. Maka pada periode Utsman ini dilakukan pembukuan al-Quran. Mushaf ini disebut Mushaf Utsmani. Semacam al-Quran induk. Lalu dikirim ke beberapa daerah. Ini sangat penting supaya daerah lain berpedoman pada al-Quran induk. Saat itu jumlah sahabat besar penghafal al-Quran banyak yang sudah gugur. Juga pengucapan al-Quran banyak menyesuaikan dengan dialek daerah.
Sebenarnya sejak zaman Abu Bakar sudah ada usul dari Umar bin Khattab agar al-Quran dibukukan karena banyak penghafal al-Quran yang gugur. Tapi pada masa Khalifah Abu Bakar belum terlaksana. Pada periode Umar belum terlaksana. Baru pada periode Utsman bisa terlaksana.
Pemberontakan
Wilayah kekuasaan khalifah semakin meluas melampaui jazirah Arab. Tentu tidak mudah mengendalikan wilayah yang semakin besar dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda. Sebagian penguasa seperri gubernur ada yang diangkat dari keluarga besar Usman. Maka muncul isu Usman melakukan nepotisme. Ini dibandingkan dengan Umar yang sangat ketat memasukkan keluarganya dalam kekuasaan. Bahkan tidak ada.
Kebetulan keluarga yang ditunjuk sebagai pejabat tidak semua berakhlak baik. Abdullah bin Saba, seorang Yahudi dari Yaman memprovokasi kelemahan pembantu Usman di Mesir, Kufah, dan Basra. Walid bin Uqbah, Gubernur Kufah misalnya, dia seorang peminum. Maka 600 orang dari Mesir datang ke Madinah menyampaikan keluhan mereka kepada Usman tentang para pembantunya. Di jalan mereka bertemu dengan rombongan dari Basrah dan Kufah. Usman berjanji akan mengingatkan para pembantunya itu.
Mereka pulang dengan hati lega. Tapi di tengah jalan mereka bertemu dengan utusan khusus dari Marwan yang membawa surat kepada Gubernur Mesir. Isinya agar rombongan sesampai di Mesir dibinasakan semua. Marwan adalah sekretaris kepercayaan Utsman dan famili dekatnya. Dia dikenal suka main intrik, mementingkan diri sendiri dan fanatik kesukuan.
“Seorang pemberontak berhasil melompat masuk ke dalam rumahnya, lalu menusuk Utsman ketika dia sedang mengaji, sedang membaca al-Quran.”
Maka rombongan tidak jadi pulang dan kembali kepada Utsman. Mereka menuntut agar Marwan diserahkan. Tidak mungkin Utsman yang lembut hati itu akan menyerahkan Marwan kepada para pemberontak. Utsman tidak ingin seorang Muslim mati di tangan sesama Muslim. Maka mereka mengepung terus tempat tinggal Utsman. Tuntutannya sampai Marwan diserahkan.
Mengetahui keadaan itu, Zaid bin Tsabit menawarkan pilihan kepada khalifah Utsman. Pertama, melawan para pemberontak. “Itu mudah,” kata Zaid. Khalifah punya segala yang diperlukan. Tapi Utsman menolak tegas. Dia melihat Abu Hurairah yang agak emosional telah menghunus pedangnya. Utsman memperingatkan tidak boleh ada orang Islam yang darahnya tumpah. “Sarungkan pedangmu. Jika seorang saja sampai terbunuh, maka kamu sama dengan membunuh semua orang,” kata Utsman.
Sebenarnya Utsman bukan orang penakut. Dalam setiap peperangan Rasulullah dia berada di depan. Kecuali Peang Badar karena dilarang Nabi. Dia harus menunggu istrinya Ruqayyah yang sakit bahkan akhirnya meninggal
Pilihan kedua: Utsman bisa keluar dari rumah ini melalui pintu yang dijaga dan diamankan para sahabat dan angkatan muda. Tapi Utsman menolak tawaran itu. Atau Utsman meninggalkan Madinah pergi ke Syam. Di sana ada Muawiyah yang masih keluarganya dan pasti melindunginya. Pilihan ini juga ditolak. Baginya Madinah adalah kota hijrah, kota perjuangan. Juga kota tempat tiga orang pendahulu yang sangat dia kagumi. Yaitu Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar bin Khattab.
Maka khalifah yang calon penguhuni surga, yang menjadi khalifah tidak pernah mengambil gajinya, yang sangat dermawan, dan sangat santun itu memilih tetap berada di tempat tinggalnya. Dia rela jika harus mengorbankan nyawanya daripada seorang Muslim berbunuhan sesama Muslim.
Seorang pemberontak berhasil melompat masuk ke dalam rumahnya, lalu menusuk Utsman ketika dia sedang mengaji, sedang membaca al-Quran. Khalifah yang dua kali menjadi menantu Rasulullah dan dinyatakan Nabi sebagai calon ahli surga itu akhirnya wafat berlumuran darah. Mulai dari sini fitnah dan ujian besar dalam dunia Islam dimulai. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni