Bung Hatta, Mesin Jahit, dan Rahasia Negara; Kolom oleh Nur Cholis Huda. Tulisan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur 2005-2022 tentang tokor-tokoh Indonesia yang menginspirasi akan terbit setiap Jumat. Tulisan sebelumnya berjudul: Teladan dari Jenderal Hoegeng, sang Polisi Jujur.
Rahmi Hatta, istri Bung Hatta ingin punya mesin jahit. Bagi Bung Hatta selaku wapres, kalau mau, itu persoalan kecil. Tidak perlu minta, cukup cerita saja bahwa istrinya kepingin mesin jahit. Pasti mesin jahit akan tiba dengan sendirinya, dari para pengusaha. Bahkan bisa lebih dari satu mesin jahit.
Tapi itu tidak dilakukan Bung Hatta. Bu Rahmi menabung sedikit demi sedikit yang disisihkan dari uang belanja agar bisa membeli mesin jahit itu. Akhirnya jumlah tabungannya mencukupi.
Namun ternyata ada kebijakan pemerintah melakukan sanering (devaluasi), yaitu kebijakan pemotongan nilai rupiah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Maka nilai tabungan Bu Rahmi turun. Berkurang. Maka dengan kebijakan itu tabungan Bu Rahmi tidak lagi cukup untuk membeli mesin jahit. Peristiwa yang mengiris hati karena dia istri wakil presiden. Menabung dari menghemat uang belanja sedikit demi sedikit seperti tidak ada artinya.
Dengan sedih Bu Rahmi berkata kepada Bung Hatta: Pak, Bapak mestinya tahu pemerintah akan melakukan senering. Mengapa Bapak tidak memberi tahu ibu?” Maksud Bu Rahmi kalau saja diberitahu lebih awal, pasti dia bisa membeli mesin jahit sebelum nilai uang tabungannya berkurang.
Jawab Bung Hatta: “Itu ‘kan rahasia negara. Tidak boleh diberitahukan kepada siapa saja. Termasuk kepada keluarga. Bukan tidak percaya kepada ibu tetapi itu tidak boleh. Biarlah kita rugi sedikit demi kepentingan bangsa. Mari kita menabung lagi ya!”
Sepatu Bally
Peristiwa paling mengiris hati ialah ketika Bung Hatta ingin punya sepatu Bally, sepatu yang bagus. Kita sudah tahu kisah sedih itu. Dia tidak punya cukup uang untuk membeli sepatu itu. Maka dia menabung. Sambil menunggu jumlah tabungannya cukup dia gunting iklan sepatu itu dan toko tempat menjualnya. Lalu disimpannya. Siapa tahu nanti uangnya cukup.
Kalau saja mau, Bung Hatta bisa mengambil jalan cepat. Bilang kepada seorang bahwa dia ingin punya sepatu Bally. Semua akan beres. Tapi itu tidak dilakukan. Dia pilih menabung. Sayangnya tabungan Bung Hatta tidak pernah cukup. Sebagian karena diambil untuk membantu kerabat dan kawan yang datang minta tolong. Sebagian lagi untuk kebutuhan rumah tangganya.
Sampai akhir hayatnya keinginan mempunyai sepatu itu tidak kesampaian karena tabungan tidak mencukupi. Beberapa waktu setelah Bung Hatta wafat, keluarganya menemukan dalam dompet Bung Hatta guntingan iklan sepatu itu yang masih terlipat rapi. Ini tentu peristiwa yang mengiris hati tetapi pelajaran sangat mahal tentang kesederhanaan dan kejujuran. Tidak mau menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi.
Dari hal yang paling kecil Bung Hatta selalu hati-hati dan teliti jangan sampai dia dan keluarganya menggunakan barang negara untuk kepentingan pribadi. Gemala Rabiah Hatta, putri Bung Hatta ke dua bercerita. Ketika dia bersekolah di Australia, dia berkirim surat kepada Bung Hatta. Dia memang sering berkirim surat dan selalu dibalas. Bung Hatta memberi semangat, hiburan, dan harapan.
Suatu hari Gemala mendapat balasan surat dari Bung Hatta. Di akhir surat ada teguran Bung Hatta yang membuat Gemala merasa malu. “Kalau menulis surat kepada ayah dan lain-lain janganlah memakai kertas Konsulat Jenderal RI. Surat Gemala itu ‘kan surat pribadi, bukan surat dinas”. Gemala merasa malu atas teguran itu. Hari-hari berikutnya dia sangat hati-hati. Jangan sampai menggunakan barang negara untuk kepentingan pribadi.
Masih banyak kejadian sehari-hari dari Bung Hatta yang penuh teladan. Pada zaman yang serba sarakah ini, cerita itu seperti sebuah dongeng. Padahal itu nyata dan benar-benar terjadi. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni