PWMU.CO– Zakat dan pengelolaannya menjadi bahasan Dr Syamsul Hidayat M Ag dalam Kajian Fatwa Tarjih online, Selasa (17/01/2023).
Dalam surat at-Taubah ayat 60, kata dia, bunyinya as-sadaqatu akan tetapi dimaknai sebagai zakat. Sesungguhnya zakat itu untuk orang fakir, lil –fuqara, wal-masakin, dan orang-orang miskin.
”Di antara ulama berbeda pendapat tentang fakir dan miskin tapi pada umumnya berpandangan tentang makna fakir yaitu, tidak memiliki apa-apa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,” ucap Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta ini.
Orang miskin, sambung dia, memiliki usaha tetapi usaha itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Fakir dan miskin adalah kelompok orang yang berhak mendapatkan zakat.
Wal-amilina yaitu orang yang bekerja untuk pengelolaan zakat dan dia tidak bisa bekerja lainya, sehingga mereka diapresiasi atas kontribusinya.
Wal-muallifati, orang-orang yang mualaf karena masih lemah imannya sehingga mereka termasuk diberi zakat untuk mengokohkan dalam memeluk Islam. Wafi riqabi, seorang budak.
”Wal-gharimi, orang yag terbelit utang untuk meringankan utangnya. Wa-fi sabilillahi orang yang berjalan di jalan Allah. Wabnis-sabil, orang-orang sedang melakukan perjalanan. Seperti berdakwah, menuntut ilmu, dan sebagainya,” ujar Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah ini.
Modal Usaha
Kemudian Syamsul Hidayat bertanya,”Bagaimana harta zakat untuk digunakan sebagai modal usaha, apakah dibolehkan?”
”Berdasarkan at-Taubah ayat 60. Kedelapan golongan yang berhak menerima zakat. Jika harta zakat dijadikan modal usaha maka caranya adalah menggunakan bagian golongan fakir dan miskin, tetapi hal ini harus sepengetahuan seizin mereka,” jawabnya.
Artinya, dengan memberitahu hak zakat mereka atau perhitungkan. Kemudian dimusyawarahkan dengan mereka yang berhak menerima untuk dikelola sebagai modal usaha lalu menjadi pemegang saham dari dana yang dikelola.
”Untuk keuntungan disesuaikan dengan saham yang disepakati, diberikan kepada mereka yang berhak. Oleh karena itu, dibolehkan harta zakat dijadikan modal usaha dengan catatan seizin yang berhak menerima zakat terutama dari golongan fakir dan miskin,” jelasnya.
Dapat juga ditambahkan dalam hal ini, dengan cara lain menggunakan bagian fi sabilillah. Menurut mufasir, fi sabilillah lafadznya bersifat umum yang mencakup kepentingan umum untuk perjuangan Islam.
”Seperti mendirikan madrasah, rumah sakit, membeli ambulans dan sebagainya. Seperti dijelaskan kitab tafsir Al-Manar karya Syaikh Muhammad Rasyid Ridho. Apabila zakat dikembangkan dalam bentuk modal usaha, maka akan semakin banyak fi sabililah yang bisa dibiayai dari harta zakat yang dikembangkan,” ujar Syamsul Hidayat.
Namun, tandas dia, perlu kehati-hatian agar tidak sampai modal dari harta zakat berkurang bahkan tipis, maka usahanya harus jelas.
Supaya tidak mudah rugi, usaha yang dijalankan dengan modal harta zakat sebaiknya berisiko rendah atau ada jaminan tidak rugi.
”Jadi orang-orang yang bekerja sama memberikan jaminan. Majelis Tarjih berpendapat, harta zakat dapat dikembangkan dalam rangka mengoptimalkan kemanfaatan harta zakat kepada mustahik,” pungkasnya.
Penulis Faiz Rizal Izuddin Editor Sugeng Purwanto