PWMU.CO – Bila manusia serius berusaha, Allah bakal memberi pertolongan sampai kesuksesan datang. Ketika hidup sukses bersikaplah tawadhu’ dengan menyucikan nama Allah, memuji, dan meminta ampunan.
Intisari surat An Nashr itu dijelaskan oleh Sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah Lakarsantri, Drs Sugeng Purwanto, dalam ‘Sarasehan Penyegaran Misi Dakwah’ di Markaz Bangkingan, Surabaya, Selasa (28/3). Acara ini diikuti oleh pengurus PCM, PRM, PCA, majelis, dan pengurus amal usaha Muhammadiyah.
(Berita terkait: Begini Dakwah yang Mengajak, Bukan Menghakimi: Mengganti Apem dengan Sekotak Kurma Tunisia dalam Tradisi Megengan)
Surat Alquran ini, ujar Sugeng, diturunkan saat pasukan Nabi Muhammad saw menaklukkan Kota Mekkah. Seperti digambarkan dalam ayat-ayatnya, sejak futuh Mekkah itu berbondong-bondong orang masuk Islam. Termasuk musuh-musuh Islam seperti Abu Sufyan dan keluarganya, anak-anak Abu Jahal, Ikrimah.
”Islam yang tauhid semula dianggap ajaran devian atau menyimpang karena berbeda dengan paham dominan masyarakat yang syirik. Pada akhirnya Islam menang dan menjadi paham dominan. Islam akhirnya menjadi trend dalam masyarakat. Sukarela atau terpaksa orang harus menerima Islam sebagai ajaran yang sangat berpengaruh,” kata Sugeng.
Dari surat ini, sambung dia, bisa dipakai pijakan jika dakwah Muhammadiyah sekarang ini masih dianggap devian oleh pemahaman Islam dominan, jangan putus asa, lambat laun juga situasi itu dapat berubah kalau ada keinginan untuk menjadi menang. ”Pahami strategi dakwah Nabi untuk mencapai kemenangan menjadi paham dominan masyarakat,” ujarnya.
(Baca juga: Begini Kata Ahli Politik Muhammadiyah soal Rezim Jokowi)
Saat kemenangan itu datang, sambung dia, maka jangan pongah sok kuasa misalnya membubarkan pengajian yang tidak sealiran. Bisa bersikap rendah hati mengayomi minoritas. ”Selalu memuji Allah, menyucikan, dan meminta ampunan. Insya Allah kemenangan itu bermanfaat bagi banyak orang. Kalau sombong dan korup pasti Allah mencabut kemenangan itu,” kata Sugeng mengingatkan.
Surat An Nashr, Sugeng menjelaskan, dapat dipakai untuk menganalisis situasi sosial politik. Ambil contoh, ketika Orde Baru mendapat pertolongan Allah dan memegang kekuasaan maka banyak orang berbondong-bondong masuk Golkar. ”Kalau dalam bahasa Arab wa roaitannaasa yadkhuluuna fii gulkariyah afwaajaa,” ujarnya.
Sayangnya kemenangan itu malah dipakai untuk menindas orang yang tidak sepaham dengan pemerintah. Lantas memakai kekuasaan untuk korupsi. ”Ketika ada dai mengingatkan agar memuji Allah dengan melaksanakan ajarannya, dai itu malah ditangkap, diinterograsi,” katanya. ”Maka kekuasaan itu akhirnya tumbang oleh people power yang digerakkan oleh tokoh Muhammadiyah,” sambungnya.
(Baca juga: Orasi Din Syamsuddin saat Terima Doktor HC: Perlu Dukungan Politik untuk Merebut Kembali Kejayaan Ilmu Pengetahuan)
Begitu juga ketika Partai Demokrat menang pemilu maka semua orang wa roaitannaasa yadkhuluuna fii demukratiyah afwaajaa. Sewaktu berkuasa orang-orang partai ini juga korup lupa dengan ajaran Allah maka pemilu berikutnya tumbang.”Sekarang PDIP berkuasa, situasi politik makin gaduh. Apalagi partai ini tidak berbau agama blas. Bahkan pidato Megawati saat ulang tahun partai menunjukkan permusuhannya pada kelompok Islam,” katanya.
Dalam pidatonya, Megawati mengatakan, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup memosisikan dirinya sebagai pembawa self fulfilling prophecy, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya.
”Pidato itu ada nada meragukan kehidupan sesudah fana. Ini tandanya tidak pernah mengaji, membaca Alquran yang menjelaskan kehidupan sesudah mati. Bagaimana partai seperti ini diharapkan memberi rahmat bagi rakyat dan negara? Padahal mereka tidak mau bertasbih, memuji Allah, apalagi meminta ampunan. Maka kita akan saksikan bagaimana kekuasaan itu akan dilenyapkan seperti partai sebelumnya,” tandasnya. (MN)