Haedar Nashir: Perbedaan Jangan Jadi Sumber Perpecahan. Liputan Nely Izzatul, Kontributor PWMU.CO Yogyakarta
PWMU.CO – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadhan 1444 H jatuh pada hari Kamis Pon, 23 Maret 2023, 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Jumat Pahing, 21 April 2023, dan Idul Adha 10 Dzulhijjah pada Rabu Kliwon, 28 Juni 2023.
Hal tersebut disampaikan dalam Konferensi Pers Maklumat Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah yang berlangsung di Gedung PP Muhammadiyah Jalan Cik Ditiro 23 Yogyakarta, Senin (6/2/2023).
Berdasarkan ketetapan tersebut, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid, Prof Dr Syamsul Anwar mengatakan, ada potensi perbedaan pada penentuan 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah 1444 H antara Muhammadiyah dan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS).
“Untuk Ramadhan besok, menurut perhitungan di atas kertas, Insya Allah sama di seluruh Indonesia. Namun yang akan berbeda itu kemungkinan di Syawal dan Dzulhijjah,” katanya.
Dia menjelaskan, perbedaan ini, lantaran MABIMS memiliki kriteria tinggi bulan sekurang-kurangnya 3 derajat dan elonasi (jarak bulan dan matahari) 6,4 derajat.
“Nah, itu belum terpenuhi jika merujuk pada kriteria MABIMS. Sedangkan menurut kriteria wujudul hilal (yang tidak berpatokan pada penampakan) keesokan harinya itu sudah masuk bulan baru, yaitu 1 Syawal 1444 H atau bertepatan dengan 21 April 2023 M,” jelasnya.
Rujukan bagi Warga Muhammadiyah dan Umat Islam Lainnya
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nashir MSi mengatakan, dengan keputusan penentuan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah ini, khusus bagi warga Muhammadiyah akan mempunyai rujukan yang pasti dan jauh sebelumnya akan mengikuti apa yang telah menjadi keputusan PP.
“Kepada yang lain, monggo ini menjadi rujukan dalam mengambil keputusan untuk awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah sesuai dengan keyakinan dan ijtihad yang diambil. Ada kemungkinan di 1 Syawal dan Idul Adha terjadi perbedaan, karena perbedaan metode yang dipakai,” ucapnya.
Haedar Nashir menuturkan, meskipun terjadi perbedaan metode yang dipakai, dan ini merupakan ijtihad Muhammadiyah, maka penting bagi umat di tubuh bangsa ini untuk berkomitmen saling menghargai, menghormati, dan tasamuh atau toleran.
“Kita punya pengalaman berbeda dalam hal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah sehingga perbedaan itu jangan dianggap sebagai sesuatu yang baru. Artinya kita sudah terbiasa dengan perbedaan lalu timbul penghargaan dan kearifan,” ungkap Haedar.
Dia mengingatkan, dalam hal ijtihad, ini merupakan watak umat Islam sebagai bagian dari praktik dalam menjalankan agama. Oleh sebab itu, perbedaan tidak semestinya dianggap sebagai sumber perpecahan.
“Jangan juga dijadikan sumber yang membuat kita umat Islam dan warga bangsa lalu retak, karena ini menyangkut ijtihad yang menjadi bagian denyut nadi perjuangan perjalanan sejarah umat Islam, yang satu sama lain saling paham, menghormati dan saling menghargai,” imbuhnya.
Sarana Memperbaiki Ibadah
Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini juga berpesan agar umat menjadikan kesempatan berjumpa dengan Ramadhan, Syawal maupun Idul Adha 1444 H sebagai sarana memperbaiki ibadah.
“Jadikan inti semuanya ini adalah proses ibadah, yang membuat kita umat muslim semakin taqarrub kepada Allah SWT, ihsan terhadap kemanusiaan dan menjadikan diri kita sebagai sebagai pribadi mukmin yang lebih baik lagi,” pesannya.
Haedar menjelaskan, perbedaan yang dimiliki ini agar menjadi kekuatan bagi muslim secara pribadi, dan umat Islam secara kolektif. Sementara bagi Warga Muhammadiyah, dia mengatakan, agar tidak perlu khawatir atas maklumat penetapan tersebut, sebab hal ini dibangun atas dasar keilmuan dan keislaman yang kokoh.
“Muhammadiyah dengan berpedoman pada hisab wujudul hilal itu sangat kokoh dengan dasar al-Qur’an, hadits nabi yang kuat, ditambah ijtihad. Sehingga pengambilan keputusan itu sungguh memiliki dasar keagamaan yang kuat, bukan hanya bersifat rasionalitas ilmu semata-mata,” tandasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni