Sejarah Disyariatkannya Puasa Ramadhan. Penulis Alfain Jalaluddin Ramadlan dan Ayrayusra, Kontributor PWMU.CO Lamongan
PWMU.CO – Dalam tulisan kali ini, penulis akan membahas mengenai sejarah disyariatkannya Puasa Ramadhan yang dilaksanakan oleh seluruh umat islam.
Puasa Ramadhan adalah salah satu tiang tegaknya keislaman seseorang, sampai-sampai ibadah puasa tercantum dalam rukun Islam yang ke lima. sehingga wajib bagi setiap orang Islam untuk mengerjakannya puasa di bulan Ramadhan.
Puasa juga merupakan ibadah yang telah disyariatkan oleh Allah SWT kepada orang-orang terdahulu dan disyariatkan kepada Nabi Muhammad SAW serta umatnya. Seperti firman Allah SWT dalam QS al-Baqarah ayat 183
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah ayat 183)
Namun, puasa Ramadhan yang kita laksanakan saat ini ternyata mengalami beberapa proses dan tahapan, sebelum disyariatkan oleh Allah SWT.
Pertama Boleh Memilih antara Puasa atau Tidak
Di awal, sejarah disyariatkannya puasa yaitu boleh memilih antara puasa atau tidak puasa, kemudian tahapan diwajibkan dengan ketentuan yang berat, lalu akhirnya ke tahapan diwajibkan dengan ketentuan yang lebih ringan hingga akhir zaman.
Tercatat dalam sejarahnya, para ulama’ telah sepakat bahwa puasa Ramadhan disyariatkan dan diwajibkan kepada umat Islam pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriah (H), tepatnya pada tanggal 10 Sya’ban (Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi wafat 774 H, Al-Fushul fie Sirah Ar-Rasul, halaman 127)
Bahkan pada bulan dan tahun yang sama yaitu bulan Sya’ban tahun 2 H, disyariatkan pula perpindahan arah kiblat sholat dari Baitul Maqdis (di Palestina) ke Ka’bah (di Makkah), disyariatkannya zakat fithrah, sholat ‘Ied, dan juga jihad fi sabilillah. (Abu Ja’far At-Thabari wafat 310, Tarikh At-Thabari, halaman 2/ 421)
Jika dihitung, maka Nabi Muhammad SAW selama hidupnya telah melaksanakan puasa Ramadhan sebanyak Sembilan kali. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah wafat 751 H, Zaadul-Ma’ad, halaman 2/ 29)
Kemudian, jika kita kaji hadits-hadits tentang puasanya Rasulullah SAW, maka paling tidak akan kita dapati ada beberapa fase dan tahapan pensyariatan ibadah shiyam (puasa) :
Syariat Pertama Kewajiban Berpuasa Asyura
Sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, dahulu Rasulullah SAW sudah pernah berpuasa pada tanggal 10 Muharram atau disebut dengan puasa Asyura serta memerintahkan manusia untuk mengerjakannya.
Seperti hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar (Ibnu ‘Umar) radhiyallahu ‘anhuma berkata,
صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تُرِكَ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ لَا يَصُومُهُ إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ صَوْمَهُ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa hari Asyura (10 Muharam) lalu memerintahkan (para sahabat) untuk melaksanakannya pula. Setelah Allah mewajibklan puasa Ramadhan, maka puasa hari Asyura ditinggalkan (menjadi tidak wajib hukumnya). Dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma tidaklah melaksanakan puasa hari Asyura kecuali bila bertepatan dengan hari-hari puasa yang biasa dikerjakannya”. (HR. Bukhari)
Begitu juga dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية، وكان النبي صلى الله عليه وسلم يصومه فلما قدم المدينة صامه وأمر بصيامه ، فلما نزل رمضان كان رمضان الفريضة، وترك عاشوراء، فكان من شاء صامه ومن شاء لم يصمه
“Hari Asyura dahulu orang Quraisy puasa di hari itu. Nabi Muhammad juga berpuasa di hari Asyura. Saat awal tiba di Madinah, Nabi masih menyuruh untuk berpuasa Asyura dan Nabi juga ikut berpuasa. Hanya ketika datang syariat puasa Ramadhan, Nabi meninggalkan puasa Asyura sembari berujar bahwa siapa yang mau puasa di hari itu maka silahkan, yang tidak puasa juga tidak mengapa”. (Shahih Bukhari halaman 6/ 24)
Yahudi Juga Berpuasa
Namun dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa Asyura saat melihat orang Yahudi Madinah berpuasa di hari itu. Disebutkan dalam hadits,
قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة فرأى اليهود تصوم يوم عاشوراء، فقال: «ما هذا؟»، قالوا: هذا يوم صالح هذا يوم نجى الله بني إسرائيل من عدوهم، فصامه موسى، قال: «فأنا أحق بموسى منكم»، فصامه، وأمر بصيامه
“Ketika Nabi datang ke Madinah beliau melihat Orang Yahudi berpuasa di hari Asyura. Lantas Nabi bertanya, “Puasa apa itu?”. Mereka menjawab, “Ini hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya.
Lalu Musa berpuasa”. Lantas Nabi menimpali, “Saya lebih berhak atas Musa daripada kalian”, maka Nabi akhirnya puasa di hari itu dan menyuruh kaum Muslimin untuk berpuasa pula”. (Shahih Bukhari halaman 3/ 44)
Perintah Tahap Kedua
Dalam Fase tahap kedua, sejarah disyariatkannya puasa Ramadhan ini, umat Islam boleh memilih antara puasa atau membayar fidyah.
Awal disyariatkannya puasa Ramadhan pada tahun kedua Hijriyyah, kaum Muslimin diperbolehkan memilih antara puasa atau tidak puasa walaupun mampu untuk berpuasa. Namun bagi yang tidak berpuasa, harus diwajibkan membayar fidyah yaitu memberi makan satu orang miskin. Hanya saja, bagi yang berpuasa maka itu lebih baik.
Hal ini sebagaimana tertulis dalam Qs. al-Baqarah ayat 184
وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين فمن تطوع خيرًا فهو خير له وأن تصوموا خير لكم إن كنتم تعلمون
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Perintah Tahap Ketiga
Dalam tahap ketiga, puasa Ramadhan diwajibkan secara mutlak, dan tidak ada pilihan kecuali berpuasa bagi yang mampu. Hal ini setelah turun ayat yang menjelaskan bahwa tidak ada lagi pilihan kecuali mengerjakan puasa bagi siapa saja yang mampu dan tidak memiliki udzur. Kewajiban tersebut sekaligus menghapus pilihan membayar fidyah bagi yang mampu berpuasa dan tidak memiliki udzur. Allah SWT berfirman Qs. al-Baqoroh ayat 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur”.
Namun dalam hadits juga disebutkan,
عن سلمة بن الأكوع قال: لما نزلت: (وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين) كان من أراد أن يفطر ويفتدي، حتى نزلت الآية التي بعدها فنسختها
Dari Salamah bin Al-Akwa’ beliau berkata, “Ketika turun ayat (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin), boleh diantara kita berpuasa atau membayar fidyah. Tetapi ketika turun ayat setelahnya, maka ayat itu menasakh (menghapus) kebolehan memilih”. (Muttafaqun ‘alaih)
Ini menunjukkan bahwa seluruh kaum Muslimin yang mampu dan tidak ada udzur, wajib untuk berpuasa di bulan Ramadhan.
Perintah Tahap Keempat
Dalam fase ini, ternyata awal disyariatkannya puasa dahulu cukup berat. Kenapa berat? Sebab diwajibkannya puasa dengan ketentuan yang berat yaitu dimulai ketika tidur malam sampai tibanya waktu Maghrib.
Puasa Ramadhan pada awalnya dimulai dari saat tidur malam sampai waktu Maghrib hari berikutnya. Ketika seseorang sudah tidur malam, maka tidak boleh lagi makan, minum dan jima’ (berhubungan badan) dengan istrinya, sampai nanti masuk waktu Maghrib.
Maka beberapa sahabat mengalami keadaan yang berat. Ada beberapa riwayat yang menjelaskan. Di antaranya yang terjadi pada Qais bin Shirmah Al-Anshari,
عن البراء بن عازب –رضى الله عنه-، قال: ” كان أصحاب محمد –صلى الله عليه وسلم- إذا كان الرجل صائماً فحضر الإفطار، فنام قبل أن يفطر، لم يأكل ليلته ولا يومه حتى يمسى، وإن قيس بن صِرمَة الأنصارىّ كان صائماً، فلما حضر الإفطار أتى امرأته، فقال لها: أعندكِ طعام؟، قالت: لا، ولكن أنطلق فأطلب لك، وكان يومه يعمل، فغلبته عيناه
فجاءته امرأته، فلما رأته قالت: خَيْبَةً لك. فلما انتصف النهار غُشِى عليه، فذُكر ذلك للنبى –صلى الله عليه وسلم-، فنزلت هذه الآية: ((أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلى نِسَآئِكُمْ))، ففرحوا بها فرحاً شديداً، ونزلت: ((وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الفَجْرِ))”
Dari Barra’ bin Azib beliau menceritakan, “Dahulu para sahabat Nabi ketika puasa dan telah datang waktu berbuka puasa, apabila dia tidur sebelum berbuka puasa maka dia tidak makan di malam itu sampai hari berikutnya.
Salah seorang sababat Nabi bernama Qais bin Shirmah Al-Anshari beliau berpuasa. Ketika datang waktu buka puasa, beliau datang kepada istrinya dan bertanya, “Apakah kamu punya makanan untuk kita makan?” “Tidak ada, tetapi saya akan mencarinya untukmu!”. Jawab istrinya.
Sejarah Disyariatkannya Puasa melalui Kisah Umar bin Khattab
Hari itu Qais bekerja cukup lelah, sampai akhirnya ketiduran. Ketika istrinya datang, dia melihat suami tidur, “sungguh cemas!”. Belum makan namun engkau telah tertidur. Sebab belum makan pada malam itu, Qais akhirnya pingsan di hari berikutnya. Akhirnya hal itu dilaporkan kepada Nabi. Hingga turunlah ayat yang artinya: “Halal bagi kalian berhubungan badan ketika malam bulan Ramadhan”. Maka kaum Muslimin saat itu sangat bahagia.
Akhirnya turun juga ayat al-Qur’an Qs. al-Baqarah ayat 187 yang artinya: “Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”.
Sebagaimana hal itu juga terjadi pada Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebuah riwayat diceritakan,
رجع عمر بن الخطاب من عند النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة، وقد سهر عنده فوجد امرأته قد نامت، فأرادها فقالت: إني قد نمت، قال: ما نمت ثم وقع بها، وصنع كعب بن مالك مثل ذلك، فغدا عمر إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأخبره فأنزل الله تعالى: {علم الله أنكم كنتم تختانون أنفسكم فتاب عليكم وعفا عنكم} البقرة: 187
”Umar bin Khaththab suatu malam pulang dari berkumpul dengan Nabi pada bulan Ramadhan. Sesampainya di rumah, ternyata istrinya sudah tidur, padahal umar ingin berjima’ dengan istrinya malam itu. Istrinya berkata, “Saya telah tidur tadi”. Maka Umar menjawab, kamu tidak tidur. Akhirnya Umar pun berjima’ dengan istrinya malam itu. Ka’ab bin Malik juga melaksanakan hal itu. Maka keesokan harinya Umar mendatangi Nabi Muhammad dan menceritakan apa yang tadi malam terjadi.
Maka turunlah ayat Qs. al-Baqoroh ayat 187 yang artinya: “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu”. (Musnad Imam Ahmad, 25/86)
Perintah Tahap Kelima
Fase kelima adalah fase terakhir diwajibkannya puasa dengan ketentuan ringan yaitu boleh makan selama belum terbit fajar shubuh. Akhirnya puasa masuk kepada fase ringan. Di mana seseorang baru memulai puasa ketika sudah masuk fajar subuh. Ketika malam hari, seorang Muslim boleh makan, minum dan berjima’ dengan istrinya. Bahkan termasuk sunnah Nabi adalah mengakhirkan makan sahur.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an Qs. al-Baqoroh ayat 187:
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى الليل
“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.
Itulah beberapa tahapan sejarah disyariatkannya puasa Ramadhan sampai saat ini. Hanya saja, puasa yang sudah ringan ini ternyata memang masih saja ditinggalkan oleh sebagian orang yang mengaku dirinya sebagai Muslim.
Semoga bulan puasa Ramadhan tahun ini menjadikan kita lulus sebagai orang yang bertaqwa dan benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala, serta sebagai penyuci hati dan jiwa di bulan yang fitri penuh dengan ampunan ini Aamiin.
والله أعلم بالصواب
Co-Editor Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni