Kisah Orang Menangisi Ramadhan oleh Alfain Jalaluddin Ramadlan, guru Pondok Pesantren Al-Mizan Lamongan.
PWMU.CO– Tidak terasa sudah sebulan menjalani ibadah pada bulan Ramadhan. Saatnya kita berpisah dengan bulan suci Ramadhan tahun 1444 H, bulan yang penuh berkah serta bulan ketika banyak yang dibebaskan dari siksa neraka.
Dulu para ulama dan orang shalih sangat merindukan Ramadhan, enam bulan sebelum Ramadhan mereka sudah berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulam Ramadhan.
Ibnu Rajab Al-Hambali berkata
ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒُ : ﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳُﺒَﻠِّﻐَﻬُﻢْ ﺷَﻬْﺮَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ، ﺛُﻢَّ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻧَﺎﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻘَﺒَّﻠَﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ
Sebagian salaf berkata, dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar mereka disampaikan pada bulan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa berdoa selama 6 bulan agar Allah menerima (amalan mereka di bulan Ramadhan). Latha’if Al-Ma’arif hal. 232.
Namun tidak terasa kita sekarang berada di ujung bulan Ramadhan.
Rasulullah saw dulu bersedih sekali jika Ramadhan hendak berakhir karena berpisah dengan bulan yang mulia, bulan yang agung, bulan yang penuh dengan keberkahan, serta bulan yang menghadirkan rahmat dan ampunan Allah swt dan pembebasan dari azab neraka.
Sahabat Umar bin Abdul Aziz ketika mau berpisah di bulan Ramadhan menangis dan mengajak sahabat-sahabatnya.
Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz berkhotbah pada saat Idul Fitri. Dalam isi khotbahnya, Umar berpesan, ”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama 30 hari dan kalian melaksanakan shalat tarawih selama 30 malam. Di hari ini, kalian keluar (di lapangan), mengharap kepada Allah agar Dia menerima amal kalian.”
Dahulu, ada sahabat yang kelihatan bersedih ketika Idul Fitri. Suatu ketika, ada seorang sahabat yang bersedih, kemudian ditanya, ”Ini adalah hari kebahagiaan dan kegembiraan (mengapa kamu malah bersedih)?”
Dia menjawab, betul, namun aku hanyalah seorang hamba, yang diperintahkan Tuhanku untuk beramal karena-Nya, dan aku tidak tahu apakah Dia menerima amalku atau tidak.’”
Disebutkan juga, bahwa suatu ketika, Wahb bin Al Ward melihat beberapa orang yang tertawa-tawa di hari raya. Kemudian dia berkata, “Andaikan puasa mereka diterima maka bukan seperti ini perbuatan yang selayaknya dilakukan orang yang bersyukur. Sebaliknya, andaikan puasa mereka tidak diterima maka bukan seperti ini sikap yang selayaknya dilakukan orang yang takut (amalnya tidak diterima).”
Ibnu Rajab Al-Hambali berkata,
كيف لا تجرى للمؤمن على فراقه دموع وهو لا يدري هل بقي له في عمره إليه رجوع
قلوب المتقين إلى هذا الشهر تحِن ومن ألم فراقه تئِن
ياشهر رمضان ترفق، دموع المحبين تُدْفَق، قلوبهم من ألم الفراق تشقَّق، عسى وقفة للوداع تطفئ من نار الشوق ما أحرق، عسى ساعة توبة وإقلاع ترفو من الصيام كل ما تخرَّق، عسى منقطع عن ركب المقبولين يلحق، عسى أسير الأوزار يُطلق، عسى من استوجب النار يُعتق، عسى رحمة المولى لها العاصي يوفق
Bagaimana bisa seorang mukmin tidak menetes air mata ketika berpisah dengan Ramadhan, sedangkan ia tidak tahu apakah masih ada sisa umurnya untuk berjumpa lagi.
Hati orang-orang yang bertakwa mencintai bulan ini, dan bersedih karena pedihnya berpisah dengannya Wahai bulan Ramadhan, Mendekatlah, berderai air mata para pecintamu, terpecah hati mereka karena perihnya berpisah denganmu
Semoga perpisahan ini mampu memadamkan api kerinduan yang membakar, Semoga masa bertaubat dan berhenti berbuat dosa mampu memperbaiki puasa yang ada bocornya, Semoga yang terputus dari rombongan orang yang diterima amalannya dapat menyusul
Semoga tawanan dosa-dosa bisa terlepaskan, Semoga orang yang seharusnya masuk neraka bisa terbebaskan. Dan semoga rahmat Allah bagi pelaku maksiat akan menjadi hidayah taufik. (Lathaif Al-Ma’arif hal. 216, 217, 304, 388)
Namun sekarang kita bandingkan dengan budaya di Indonesia menjelang Ramadhan. Justru terjadi sebaliknya. Masjid menjadi sepi dan pusat perbelanjaan semakin ramai. Jalan-jalan sudah mulai padat. Ini terbalik dengan apa yang terjadi di zaman orang-orang shalih terdahulu.
Ahmad Alfathoni Lc MAg Dosen Universitas Muhammadiyah Malang pernah bercerita ketika di Pakistan, saat Tarawih di tiga hari terakhir di bulan Ramadhan, berlomba-lomba untuk mengkhatamkan al-Quran.
Itulah kisah orang menangisi Ramadhan. Tapi di Indonesia justru terbalik. Bahkan sepuluh hari terahir malah disia-siakan. Banyak yang menyibukkan dengan pesan tiket kereta, kumpul bersama teman-temannya, beli baju dan lainnya, semakin tidak fokus beribadah.
Yang lucu lagi, ada yang tidak puasa tapi paling semangat ketika hari raya. Padahal di akhir-akhir itu ada malam lailatul qadar yang amalnya seperti seribu bulan.
Editor Sugeng Purwanto