PWMU.CO – Mari Belajar Integritas Politik pada Buya Hamka. Saat ini sedang diputar film biopik Buya Hamka volume I di seluruh Indonesia. Untuk memperkaya wawasan tentang Buya Hamka, redaksi menurunkan tulisan berjudul Integritas Politik Buya Hamka.
Tulisan tersebut karya Lukman Hakiem yang ada dalam buku Dari Panggung Sejarah Bangsa Belajar dari Tokoh dan Peristiwa halaman 61-65. Buku diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, November 2020.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya HAMKA, 1908-1981) adalah seorang ulama, seorang sastrawan, seorang jurnalis, dan seorang cendekiawan. Sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI, 1975-1981), tidak syak lagi, Buya HAMKA adalah seorang ulama. Bahkan pemimpin para ulama.
Sebagai seorang penulis banyak buku novel, Buya HAMKA adalah seorang sastrawan. Sebagai orang yang sejak usia muda hingga akhir hayatnya berkecimpung dan memimpin media massa, Buya HAMKA adalah seorang jurnalis. Sebagai seorang Profesor doktor dengan begitu banyak menulis buku, Buya HAMKA adalah sejatinya cendekiawan.
Tulisan dan ceramah Buya HAMKA, sama kualitasnya. Sama-sama disampaikan dengan bahasa yang lembut dan bijaksana, tetapi tidak pernah terlepas dari hakikat yang ingin dia ajak berdialog, yaitu hal-hal paling mendasar dari eksistensi kemanusiaan kita: akidah dan akhlak.
Bahasa boleh lembut, halus, dan bijaksana; akan tetapi jika telah tiba pada masalah yang prinsipal, Buya HAMKA datang dengan sikapnya yang tegas. Dalam polemik mengenai penghapusan libur sekolah selama di bulan Ramadhan, sesudah berbagai usahanya meyakinkan pemerintah, mulai dari menteri sampai presiden, untuk membatalkan keputusan tersebut mengalami jalan buntu; dalam khutbah Jum’at di Masjid Agung Al-Azhar pada 27 April 1979, Buya HAMKA menyerukan umat untuk melaksanakan qunut nazilah.
Buya HAMKA berpendapat, keputusan pemerintah menghapus libur sekolah di bulan Ramadhan adalah cobaan dan ujian bagi umat Islam. Di saat-saat seperti itu, Buya HAMKA meminta umat Islam supaya membaca qunut nazilah. Qunut nazilah bukanlah doa yang dibaca setiap hari. Qunut nazilah adalah doa yang dibaca pada saat-saat kritis. Dengan menyerukan kaum Muslim agar membaca qunut nazilah, Buya HAMKA sedang memberitahu pemerintah yang berkuasa bahwa sesungguhnya keadaan sudah sangat serius.
Latar belakang pengunduran diri Buya HAMKA dari jabatan Ketua Umum MUI lantaran didesak Menteri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara untuk mencabut Fatwa MUI tentang Perayaan Natal Bersama; adalah cerita abadi ketegaran sikap Buya HAMKA.
Allahu Akbar! Yang Lain Kecil Belaka
Apakah yang menyebabkan Buya HAMKA, seorang yang lemah lembut, dapat tiba pada sikap tegas. Sikap yang tidak takut kehilangan apa-apa?
Dalam sebuah pidato di Majelis Konstituante, Buya HAMKA antara lain mengingatkan bahwa orang Islam—dengan tidak mengingat apakah dia kemudian menjadi anggota Partai Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), atau Partai Buruh—menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan ajaran agamanya.
Orang tua rela melihat mayat putranya dibawa pulang berlumur darah, tidak bernyawa lagi, karena spontan terasa bahwa putranya yang tewas itu adalah mati syahid yang akan diganjar dengan surga.
“Tidak ada tempat takut, melainkan Allah. Allahu Akbar! Hanya Allah Yang Maha Besar, yang lain kecil belaka! Laa ilaaha illallah. Tidak Tuhan tempat menyembah, tempat takut, tempat memohon, tempat berlindung, melainkan Allah!” Inilah prinsip perjuangan Buya HAMKA yang dia teguh hingga akhir hayatnya. pegang
Dengan Allahu Akbar, tanpa canggung Buya HAMKA terjun ke gelanggang pergaulan sebangsa maupun antarbangsa. Di gelanggang nasional, Buya HAMKA mengaku merasa bebas bercakap-cakap dan berbicara dari hati ke hati dengan Arnold Mononutu, seorang tokoh PNI beragama Nasrani. Dipujinya Mononutu sebagai salah seorang diplomat besar Indonesia setara dengan L.N. Palar dan A.A. Maramis.
Bagi Buya HAMKA, toleransi kehidupan antarpemeluk agama yang diamalkan dan dinikmatinya sepenuhnya berasal dari pengamalan agama para pemeluk agama masing-masing. Dalam hubungan ini Buya HAMKA mengenang betapa di zaman perang kemerdekaan kaum Muslimin di desa-desa di Jawa Tengah menyambut kedatangan tokoh Katolik, IJ. Kasimo, dengan penuh cinta seperti mereka menyambut tokoh-tokoh Islam Prawoto Mangkusasmito dan Zainul Arifin.
Toleransi kehidupan antarumat beragama bagi Buya HAMKA bukanlah ekspresi yang dibuat-buat seperti doa pancaagama atau merayakan Natal bersama. Toleransi yang substansial itu telah hidup di tengah masyarakat kepulauan Nusantara ini jauh sebelum kaum penjajah Barat datang ke negeri ini. Di Maluku, misalnya, sejak dulu sudah ada adat Pela. Antaratetangga, antarkampung, Muslim atau Nasrani, saling bantu membantu.
Di Sipirok, Sumatera Utara, berdampingan masjid dengan gereja. Di sana ada Pendeta Harahap, di sana ada pula tokoh Muslim Mr Burhanuddin Harahap. Hubungan kita yang baik lahir atas buah iman agama kita sendiri. “Kami orang Islam mencintai Saudara (yang beragama Kristen) karena selalu kami baca dalam al-Quran bahwa di antara banyak pemeluk agama, maka pemeluk Kristenlah yang dekat kepada kami. Kami tidak pernah ragu akan isi al-Quran, meskipun praktik yang kami rasakan selama 350 tahun menunjukkan bahwa Kristen Belanda itulah yang paling membenci kami,” ujar Buya HAMKA di podium Majelis Konstituante.
Buya HAMKA mengingatkan di negara yang berdasarkan Islam sekalipun, kaum Nasrani bukan saja dijamin untuk melaksanakan ajaran agamanya, bahkan dianjurkan untuk menjalankan ajaran Injil. Demikianlah difirmankan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam al-Maidah ayat 47: “Hendaklah keluarga Injil menghukum dengan apa yang diturunkan Allah di dalamnya.”
Dengan ayat ini, demikian Buya HAMKA, positiplah jaminan Islam atas Kristen, dan bukan orang Islam yang mengurusnya, tetapi pemeluk Kristen sendiri bebas menjalankannya, mengaturnya, menyiarkannya, menurut tata tertibnya sendiri.
Sekolah Kehidupan
Satu hal yang amat dianjurkan oleh Buya HAMKA adalah menghilangkan sifat pengecut dan menumbuhkan sikap berani. Dengan sikap pengecut, meskipun banyak ilmunya, dan tinggi gelar akademiknya, tidak akan memberi manfaat apa-apa bagi masyarakat. “Orang pengecut,” ujar Buya HAMKA, “pekerjaannya selalu tersia-sia. Duduknya di bawah. Dia tidak berani ke atas. Dia hanya jadi pengikut, tidak berani diikut.”
Kepada para orang tua, Buya HAMKA menyerukan supaya jangan “membunuh” anak-anaknya sejak masih kecil, sehingga hanya badannya yang tinggal sedang jiwanya yang sejati telah terbang karena dihajar habis oleh orang tuanya. Tiap-tiap anak hendak menyatakan perasaan, dihalangi. Tiap-tiap anak hendak mengemukakan pendapat, dihardik.
Di dalam Falsafah Hidup Buya HAMKA bercerita tentang pertanyaan yang dihadapkan kepada salah seorang murid pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, HM Sudjak ketika mengajak umat Islam untuk membeli kapal laut untuk mengangkut jamaah haji Indonesia ke Makkah.
Menyahuti ajakan Sudjak, ada yang bertanya: “Kalau kapal itu karam, kena bom, bagaimana Tuan?”
Dengan jitu, Sudjak menjawab: “Kalau masih tetap seperti keadaan yang sekarang, saya tanggung kapal itu tidak akan kena bom.”
“Mengapa?” tanya orang itu lagi. “Padahal sekarang ada perang.”
Sudjak menjawab: “Sebab kapal itu sampai sekarang belum kita beli. Kapalnya saja belum dibeli, bom sudah dipikirkan. Bagaimana satu usaha bisa tegak, kalau sebelum tampil ke muka, sikap pengecut sudah menghalanginya.”
Jika kita membaca riwayat hidup Buya HAMKA, sikap berani telah membentuk integritasnya. Integritas di dalam hidup beragama. Integritas di dalam pergaulan hidup. Integritas di dalam sikap politik.
Buya HAMKA yang tidak lulus sekolah dasar, mendapat anugerah Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, sebuah perguruan tinggi bergengsi yang sampai sekarang masih menjadi impian banyak kaum terpelajar. Tidak syak lagi, anugerah yang dicapai tanpa rekayasa itu, telah menunjukkan keberanian Buya HAMKA memasuki apa yang disebutnya ‘sekolah kehidupan’.
Menjaga Syaraf dan Kehormatan Agama
Mengambil pelajaran dari kisah Abdullah ibn Syarih atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Ummi Maktum, Buya HAMKA menurunkan tulisan berjudul “Pemimpin dan Ra’jat Djelata”. Baik, kita simak bagian akhir tulisan tersebut, sebagai berikut:
Ah, kita berkali-kali silap. Berapa di antara kita, yang tadinya duduk bersama-sama dengan rakyat, sama-sama menitikkan air mata, sama-sama sakit, sama-sama senang; tiba-tiba kita dilambungkan oleh nasib ke atas, maka rakyat itup un kita lupakan. Kian lama kita kian jauh dari padanya. Pengharapannya pun hilanglah daripada kita.
Berapa di antara kita yang merasa jijik, merasa sebagai derajat akan jatuh kalau bertemu dengan si melarat. Dan kita kaum Kiai pula, banyak di antara kita yang lupa menjaga syaraf dan kehormatan agama, karena harap hendak menarik hatinya orang yang bernama, yang berpengaruh di dalam negeri, sehingga lalai menjaga kebenaran; sehingga lantaran itu kita lalai menjaga hatinya orang yang lemah dan dhaif, yang mengharap petunjuk kita.
Kejadian pada Ibnu Ummi Maktum itu haruslah menjadi iktibar kepada kita, para pemimpin, para kiai. Sebab, mata umat senantiasa menantang mata kita, mengharap tuntunan kita.
Dengan demikian, dapatlah kita menyumbangkan tenaga kepada cita-cita kemakmuran bersama. Rasanya kita belum pernah bertemu riwayat Buya HAMKA menolak tetamu dari golongan melarat.
Wallahu’alam bi alshawab.
Materi ini disampaukan Lukman Hakiem sebagai bahan untuk diskusi rutin HAMKA Centre, Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jum’at, 23 Agustus 2019.
Mari Belajar Integritas Politik pada Buya Hamka; Editor Mohammad Nurfatoni