Sifat Kenegarawanan
Seorang politikus adalah seorang negarawan. Yakni seorang yang mampu membebaskan dirinya dari sekadar mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya atau organisasinya. Jika masih demikian dan belum mampu membebaskan diri dari jebakan itu maka sebaiknya ia tidak perlu berambisi untuk menjadi pemimpin masyarakatnya, karena pasti jiwa subjektifnya selalu akan berperan dan mewarnai setiap kebijakan yang akan diambilnya.
Pandangan subjektifnya itu justru menunjukkan kepicikan cara berpikirnya, keilmuannya hanyalah sebagai alat yang menjebak dan membatasi dirinya untuk seharusnya berbuat lebih luas sebagai perannya sebagai khalifatullah fil ardl.
Hanya orang-orang yang beriman yang memang telah dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi pemimpin umat. Karena kapasitas imannya menjadikan ia mampu berpandangan obyektif, yang akan selalu menegakkan kebanaran yang selalu bernuansa keadilan bagi semuanya tanpa kecuali. Itulah iman yang benar, akan merefleksikan pribadi yang tidak terjebak pada subjektivitas yang sempit menuju obyektifitas yang luas dalam lapangan pengabdiannya.
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنٗاۚ يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيۡٔٗاۚ وَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٥٥
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (an-Nur; 55)
Ayat di atas, sekaligus hadits di atas menyebutkan bahwa jika orang yang tidak beriman sekalipun seolah memiliki kapasitas yang mumpuni dan bahkan memiliki gelar puncak secara akademik, akan tetapi tidak terbimbing oleh keimanan maka tidak akan mampu menjadi pemimpin yang baik bagi suatu bangsa. Ayat di atas sekaligus memberikan kriteria bahwa orang yang beriman itu pasti bertindak obyektif dan jauh dari sikap subjektif.
Sehingga dapat kita saksikan tingkah para politikus yang merupakan representasi dari organisasi atau kelompok tertentu, sebagian besar mereka tidak dapat keluar dari jebakan kepentingan kelompok atau organisasinya itu, sekalipun mereka telah mencapai puncak posisi. Apalagi jika ia hanya sebagai petugas saja, tentu ia sendiri tidak memiliki kemerdekaan dalam bersikap, masih terbelenggu dengan background kelompok dan organisasinya. Dan begitulah umat ini menjadi terpolarisasi sesuai kepentingan masing-masing organisasi induknya. Umat ini tidak diajari untuk bagaimana berpandangan obyektif akan tetapi malah sebaliknya didoktrin berpandangan subyektif.
Partai politik yang terbentuk karena dorongan kelompok atau organisasi dengan nafsu berpolitiknya juga sering kali terjebak pada kepentingan piciknya yang sempit itu. Kepentingan yang akan dikedepankan dan lebih diutamakan adalah kepentingan kelompoknya semata, sedangkan kelompok lainnya berikutnya . Hal ini juga akan melahirkan pemimpin yang sama, picik dan sempit dalam pengabdiannya. Tetapi umat sering kali tidak sadar akan realitas ini karena umat sendiri telah terjebak pada fanatisme kelompok.
Baca sambungan di halaman 3: Politik sebagai Ijtihad
Discussion about this post