Fatmawati, First Lady Pertama Produk Pendidikan Keluarga Muhammadiyah; Oleh Prima Mari Kristanto
PWMU.CO – Peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan17 Agustus 1945—selain kita sambut dengan kemeriahan upacara dan aneka lomba—penting merawat ingatan cita-cita kemerdekaan berserta para tokohnya.
Sudah menjadi pakem dalam peringatan itu sejak tahun 1945 yaitu pembacaan naskah Proklamasi, pengibaran bendera Merah Putih, dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Belum ada pembacaan Pancasila dan UUD 1945 karena baru disahkan 18 Agustus 1945.
Naskah Proklamasi telah banyak disebut dalam sejarah, dikonsep oleh Bung Hatta, diketik oleh Sayuti Melik, dibacakan oleh Bung Karno. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya diciptakan arek Tambaksari Suroboyo Wage Rodolf Soepratman sejak 1928.
“Fatmawati bernama asli Fatimah (seperti putri Rasulullah) dari seorang ibu bernama Chatijah (seperti nama istri Rasulullah pula).”
Bendera pusaka merah putih pertama dijahit oleh Fatmawati, waktu itu belum jadi Ibu Negara, masih sebagai istri Bung Karno. Gelar Ibu Negara atau First Lady tersemat seiring dikukuhkannya Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Dwitunggal Presiden dan Wakil Presiden dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat 18 Agustus 1945.
Fatmawati bernama asli Fatimah (seperti putri Rasulullah) dari seorang ibu bernama Chatijah (seperti nama istri Rasulullah pula). Hasan Din sang ayah sahabat Bung Karno saat diasingkan di Bengkulu oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1938 sampai 1942, usai diasingkan di Ende Nusa Tenggara Timur.
Oleh Hasan Din, Bung Karno diberi amanah memimpin Muhammadiyah Bengkulu bagian pendidikan. Bersama Muhammadiyah dan Hasan Din, Bung Karno mengajarkan semangat kemerdekaan pada kader-kader Muhammadiyah, salah satunya Fatimah. Kisah Bung Karno dan Fatimah telah difilmkan dan tampak antusiasme Fatimah pada cita-cita kemerdekaan.
Kedekatan guru dan murid, Bung Karno dan Fatimah mengantarkan keduanya ke jenjang pernikahan yang syar’i pada 1 Juni 1943. Pernikahan yang diketahui orang tua Bung Karno Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai serta Bapak Hasan Din dan Ibu Chatijah.
Pernikahan Bung Karno dengan Fatimah sebagai pernikahan ketiga setelah menikah dengan ibu Utari putri Cokroaminoto dan ibu Inggit Garnasih. Dari pernikahan sebelumnya Bung Karno tidak memiliki keturunan, pernikahannya dengan Ibu Fatimah beliau niatkan untuk mendapat keturunan. Menikah dengan Bung Karno bisa disebut pernikahan penuh risiko, mengingat status Bung sebagai interniran alias buangan, juga musuh pemerintah kolonial.
Baca sambungan di halaman 2: Ibu Negara Tangguh