Proses Panjang dan Berdebar
Guru Matematika ini menjelaskan, awalnya ia mengikuti program sekolah menulis karena ingin mendalami dunia jurnalistik. Saat pelatihan menulis itu, lanjutnya, Fatoni yang bertindak sebagai narasumber memberikan materi dengan judul yang menggugah Menulis Opini Menembus Media.
Di pelatihan itu, Fatoni menjelaskan, opini adalah tulisan yang berisi pendapat atau komentar subjektif si penulis tentang suatu isu atau topik yang penting dan menarik untuk dibahas dengan menggunakan gaya penulisan ilmiah populer.
Sedangkan opini yang baik menurut pria kelahiran Lamongan itu mencakup hal-hal yang aktual, pembahasan topik yang tajam dan mendalam, menjelaskan duduk perkara suatu persoalan, mampu membuka wawasan, menarik, dan enak dibaca.
Setelah memberikan materi, dia kemudian ia memberikan tantangan kepada peserta. Pertama, dia meminta peserta membuat judul dan lead opini yang akan di tulis. Syaratnya, opini mengambil tema isu atau berita hangat yang sedang menjadi perhatian media dan masyarakat.
Untuk itu Fatoni meminta peserta membuka Google News, trending topic Twitter (X), atau langsung mengunjungi portal berita. Maka, dia pun memberi waktu peserta mengerjakan tugas tersebut.
Fatoni lalu membaca satu per satu hasilnya. “Luar biasa, ternyata judul yang Anda buat bagus-bagus dan layak dikirim ke media nasional,” ujarnya sambil mengarahkan ke mana opini harus dikirim. “Semua peserta wajib mengirimkan opini ke media nasional. Ini ke Kompas. Ini ke Jawa Pos. Ini ke Republika,” kata Fatoni yang menegaskan jika PWMU.CO menolak kiriman opini hasil pelatihan ini.
Sebab dia berharap, opini peserta pelatihan ini benar-benar bisa menembus media nasional, meski mungkin belum tentu sekali kirim lalu dimuat. “Kalau 100 kali menulis ditolak redaksi, tulisan itu sudah bisa jadi buku. Syukur-syukur, 10 kali sudah diterima atau bahkan sekali langsung diterima. Itu keren banget,” ujarnya waktu itu.
Ia pun memotivasi peserta agar segera menyelesaikan judul dan lead yang telah dibuat. “Tulis, kirim, tunggu pemuatan dengan hati berdebar. Kalau dimuat alhamdulillah. Jika belum, berarti nulis lagi, kirim lagi, menunggu berdebar lagi,” ucapnya.
Setelah pelatihan menulis selesai, peserta dan narasumber terus aktif berinteraksi melalui WhatsApp Group Diklat Jurnalistik Smamda. Di grup itu pria kelahiran Lamongan itu selalu bertanya perkembangan opini yang ditulis peserta serta memberikan syarat-syarat pengiriman artikel. Sesekali dia memberi pancingan topik terhangat agar ditulis.
Baca sambungan di halaman 3: Sang ‘Guru’ Berteriak Gembira