Jabatan Profesional Guru
Banyak terjadi kepala sekolah yang selesai masa jabatannya di usia muda. Umur 30 tahun diangkat menjadi seorang kepala sekolah dan pada umur 38 tahun dia sudah selesai. Setelah itu posisinya turun drastis menjadi guru biasa dan itu terus berlangsung sambil menunggu masa purnatugas pada umur 60 tahun.
Seseorang yang sudah sangat menguasai pekerjaan makro, tiba-tiba menjadi guru kelas yang bersifat sangat mikro berdampingan dengan para guru baru yang baru lolos seleksi menjadi guru di sekolah itu. Mungkin ada yang menyanggah, seorang dosen juga banyak yang seperti itu, yaitu setelah menjadi rektor kembali lagi menjadi dosen biasa.Itu sangat betul, tetapi kita tidak ingat bahwa dosen mempunyai jabatan fungsional, yang saat jabatan strukturalnya selesai, maka jabatan fungsionalnya dikembalikan ke posisi semula. Di samping itu, seorang dosen juga mempunyai aktivitas meneliti dengan harus memimpin laboratorium dan riset.
Tidak sedikit juga kepala sekolah besar yang telah selesai dua periode dipindah di sekolah yang lebih kecil, sehingga di umur yang sudah tidak muda lagi tetapi masih harus berjuang dari awal untuk membesarkan dan memikir sekolah yang baru merangkak. Ini adalah bukan kenaikan jenjang prestasi, tetapi sebagai penurunan kinerja, atau dapat disebut sebagai hukuman.
“Untuk perjalanan karier seorang guru di sekolah Muhammadiyah dibutuhkan manajemen pengaturan golongan kepangkatan dan jabatan fungsional secara profesional.”
Kalau ini tidak mau disebut sebagai hukuman, lalu di mana letak penataan jenjang kariernya. Ibarat sudah menjadi jenderal saat pensiun malah di posisi bintara. Apa tidak mungkin manajemen Majelis Dikdasmen dan PNF mengatur secara profesional agar guru menaik terus kariernya, disejajarkan dengan perjalanan umur, dan tidak malah turun kariernya di akhir masa baktinya.
Untuk perjalanan karier seorang guru di sekolah Muhammadiyah dibutuhkan manajemen pengaturan golongan kepangkatan dan jabatan fungsional secara profesional, apalagi jika sekolah sudah berani memasang jargon berkemajuan.
Golongan pangkat dan jabatan fungsional adalah salah satu variabel yang penting dalam sistem manajemen sekolah, apalagi di era digital. Tahun 2006, tujubelas tahun yang silam saya pernah mengusulkan ke Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah tentang pangkat dan jabatan guru sekolah Muhammadiyah.
Usulan itu terdiri dari Golongan IIIA sampai IVD, dengan jabatan fungsional Asisten Guru (IIIA/IIIB), Guru (IIIC/IIID), Guru Kepala (IVA-IVC), dan Guru Utama (IVD/IV E). Di samping itu juga ada jabatan struktural, sebagai tugas tambahan.
Penempuhan jabatan fungsional ini melalui banyak tahapan dan prestasi yang dilalui. Ini adalah identitas profesionalitas seorang guru yang telah berkhidmat dalam sekian kurun waktu. Kriteria untuk menapak jenjang jabatan fungsional dapat dirancang secara teratur dan terukur, sehingga kinerja guru akan semakin terasa nyata.
Seorang guru yang dapat diangkat sebagai kepala sekolah harus minimal memiliki jabatan fungsional sebagai Guru Kepala. Sering terjadi, persyaratan menjadi kepala sekolah adalah telah menjadi guru selama 8 tahun di sekolah itu. Tolok ukur delapan tahun adalah tidak mempunyai makna, jika kita tidak dapat membongkar isinya apa saja, dan dapat saja hanya pulang pergi rumah ke sekolah tanpa karya cemerlang apapun.
Kemudahan Berteknologi
Sekarang SIM (sistem informasi manajemen) untuk lembaga sudah sangat maju, semakin paperless (tanpa kertas), dan sangat cepat dalam proses. Data-data dengan mudah dapat diakses dari sumber manapun, sehingga tidak ada istilah yang kita tidak mempunyai waktu. Harga server penampung data sekarang sangat murah dengan kapasitas yang superbesar. Satu server yang dapat menjangkau lebih dari sepuluh juta orang sudah dapat diperoleh dengan sangat mudah.
Ini berarti, sekolah Muhammadiyah di seluruh Indonesia dapat diwadahi dalam satu server dan kontrol manajemen kepegawaian (termasuk kepangkatan dan jabatan fungsional guru) dapat dilakukan di sini.
Begitu juga proses penilaian (reviewing, assessment). Karya-karya guru dapat dilakukan dengan cepat. Jika ini masih belum memungkinkan, maka dapat digeser ke tingkat wilayah. Ini jauh lebih mudah dan ringkas. Untuk penilaian seorang guru yang masuk ke jenjang Guru Utama, maka penilaiannya adalah di Majelis Dikdasmen dan PNF PP dan untuk jabatan fungsional Guru Kepala ke bawah, maka cukup di tingkat wilayah dan daerah. Semua dilakukan secara online dari rumah.
Tentu dengan keberadaan golongan dan jabatan fungsional pada guru, maka akan berdampak ke kinerja guru, karena terukur secara sistemik dan ada jaminan masa depan dan hari tua.
Mungkin ada yang bertanya, apakah di tempat lain sudah diterapkan? Jawaban saya mudah saja, ya marilah kita menjadi pelopor berkemajuan di negeri ini. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni