Jangan Biarkan Palestina Sendiri! Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah dan sembilan judul lainnya
PWMU.CO – Palestina kembali “memanggil” kita. Masjid Al-Aqsha kembali menyapa kita. Benarkah? Silakan jawab sendiri.
Lihat, jika tak ada berita besar bernama “Pertempuran Palestina dan Israel” hari-hari ini, amat sedikit di antara kita yang memperhatikan atau peduli kepada nasib Palestina dan Masjid Al-Aqsha. Padahal, pertama, Palestina termasuk negara yang awal sekali mengakui kemerdekaan Indonesia. Kedua, di Palestina berdiri Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam.
Kedekatan Kita
Sudah sangat lama Palestina terjajah. Gaza, bagian dari Palestina. Warga Gaza, selama 17 tahun terakhir ini hampir tidak mungkin memasuki Masjid Al-Aqsha. Padahal, jaraknya hanya sekitar 70 Km. Hal ini karena wilayah Gaza dikepung ketat oleh Israel, menjadi penjara terbesar di dunia.
Mestinya, seperti apa hubungan batin Muslim Indonesia dengan Palestina dan terutama dengan Masjid Al-Aqsha? Mari, menunduk!
Rasulullah Saw terhubung dengan Masjid Al-Aqsha sejak awal kenabiannya, di Mekkah. Hal itu, karena Masjid Al-Aqsha merupakan kiblat pertama saat shalat.
Dalam hidupnya, sebagian besar shalat Nabi Saw berkiblat ke Masjid Al-Aqsha. Nabi Saw baru memindahkan arah kiblat, berdasar perintah Allah, setelah tinggal di Madinah.
Dalam catatan Tim Peneliti ISA (Institut Al-Aqsha untuk Riset Perdamaian), Nabi Saw shalat menghadap ke Masjid Al-Aqsha selama 14,5 tahun. Ini artinya, sebagian besar dari 23 tahun periode kenabiannya, Nabi Saw shalat menghadap Masjid Al-Aqsha. Dengan demikian, terlihat betapa kuatnya ikatan keimanan antara Nabi Muhammad Saw dengan Masjid Al-Aqsha (baca https://hidayatullah.com/artikel/2023/10/08/259306/gaza-blokade-17-tahun-dan-satu-dari-tiga-masjid-suci-kita.html).
Jangan Tinggalkan!
Jangan biarkan Palestina sendirian! Terkait ini, sebuah puisi bisa turut memberi kita semangat pembelaan kepada Palestina. Maka, misalnya, bacalah puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu”.
Meskipun puisi itu dibuat pada 1989, isinya masih relevan untuk kita jadikan media renungan dalam usaha berintrospeksi atas peran apa yang telah kita lakukan untuk membantu Palestina.
Berikut ini petikan puisi Taufiq Ismail tersebut: … Aku pun berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia:/ doakan kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang menapak jalan-Nya,/ yang ditembaki dan kini dalam penjara,/ lalu dengan kukuh kita bacalah ‘laquwwatta illa bi-Llah!’/ … Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu/ Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu/ Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu/ Serasa terdengar di telingaku./
Membaca puisi Taufiq Ismail di atas akan semakin mudah kita resapi jika pada saat yang sama kita renungkan tiga sabda Nabi Saw ini: “Perumpamaan mukmin dalam hal saling mencintai dan berkasih sayang adalah ibarat satu tubuh. Apabila satu bagian merasa sakit, maka seluruh tubuhnya turut merasakan hal yang sama” (HR Muslim). “Seorang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat bangunan, satu sama lain saling menguatkan” (HR Bukhari-Muslim). “Barangsiapa menghilangkan kesusahan seorang Muslim, niscaya Allah akan menghilangkan satu kesusahannya di Hari Kiamat. Barangsiapa menutup aib seorang Muslim, niscaya Allah akan menutup aibnya di Hari Kiamat. Allah selalu menolong seorang hamba selama dia menolong saudaranya” (HR Muslim).
Baca sambungan di halaman 2: Duhai para Penyeru!
Discussion about this post