CHuPPT
Pertama, consequence (konsekuensi). Dia mengajak siswa memikirkan dampak dari tulisannya bagus atau jelek. “Misal kamu menulis ayahmu anggota dewan yang korupsi. Kalau kamu tulis, dampaknya jelek maka jangan ditulis! Bilang sama ayah. Tobat ya ayah,” contohnya, Selasa (7/11/2023).
Paman Gong lantas mencontohkan kasus lainnya. “Misal di sini ada pencuri. Yang mencuri temanmu. Temanmu bilang, jangan tulis, adikku butuh susu. Aku gak punya uang di rumah. Dampaknya jelek, temanmu jadi malu,” terang pria yang pernah menjadi freelance reporter di beberapa media massa itu.
Adapun untuk hal-hal berdampak bagus, Paman Gong meminta mereka belajar menulis. “Kalau ada temen juara silat, tulis ya!” ajaknya di hadapan 24 siswa yang terdiri dari 20 jurnalis dan 4 perwakilan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
Selanjutnya, human interest. Maksudnya, apakah tulisan punya nilai kemanusiaan. Paman Gong mencontohkan bagaimana menulis yang menyentuh dan mendorong orang lain membantu.
“Misal sekolah ini dapat hadiah sekolah bersih. Lalu yang membersihkan pramubakti. Anaknya sedang sakit demam berdarah (DB). Kamu tulis, Pak M bersedih karena anaknya DB di rumah sakit,” contoh pria yang pernah menjadi wartawan tabloid Warta Pramuka pada 1989 itu.
Kemudian, proximity (kedekatan). “Jarak (objek tulisan) dekat sama kamu. Kalau nulis SD Banjarmasin kan jauh,” terang Paman Gong.
Paman Gong lalu menyebutkan public figure. “Misal ada yang kena diare. Bukan murid tapi Pak Bupati,” demikian tokoh publik yang dia contohkan.
Terakhir, timeline. Yakni sesuatu yang diberitakan itu baru terjadi. “Sakit perut tahun kemarin, waktunya sudah lewat, nggak usah ditulis,” ujarnya sambil duduk di panggung perpustakaan bertema luar angkasa itu. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni