Mengenang Rahmat Abdullah, Penulis Keajaiban dari Palestina Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah dan sembilan judul lainnya.
“Boleh jadi usia mujahid pembawa misi dakwah tidak panjang, tetapi cita-cita, semangat, dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup sepeninggal mereka” (Rahmat Abdullah).
Terasa, ucapan di atas tepat untuk menggambarkan siapa jati diri si penyampai yaitu Rahmat Abdullah. Hal ini karena, pertama, ulama tersebut wafat dalam usia relatif muda yaitu 52 tahun. Kedua, nama dia insya Allah akan terus disebut-sebut oleh para murid dan jamaahnya (yaitu mereka yang berinteraksi langsung dengannya di berbagai majelis ilmu).
Benar, namanya insya Allah masih akan disebut-sebut oleh semua yang pernah membaca tulisannya, baik yang ada di internet dan di buku-buku karyanya. Para guru, penceramah, pembicara dan/atau penulis termasuk yang mungkin sering mengutip berbagai pendapat atau pemikirannya yang tajam dan sering puitis.
Indah dan Menggugah
Hal yang pasti, tulisan-tulisan Rahmat Abdullah memang menggugah dan indah. Argumentasinya kuat dan narasinya elok. Sandarannya, ayat dan sunah serta kisah-kisah yang terpercaya. Tak jarang, dari kalimat di tulisan-tulisannya kita bisa mengoleksinya sebagai mutiara kata.
Mari, buka buku Untukmu Kader Dakwah yang terbit 2004 dan berisi sepuluh pasal. Di halaman 2, di pasal pertama yaitu Al-Fahmu, di bagian awal sudah langsung ada kalimat yang bernilai mutiara kata: “Tak ada perintah meminta tambahan seperti perintah meminta tambahan ilmu”.
Di paragraf ketiga, bahkan ada dua yang laksana mutiara kata: Pertama, “Seseorang tidak harus mengumpulkan ilmu sebagai kolektor tanpa komitmen amal”. Kedua, “Ilmu menjadi serangkaian informasi yang mengantar penuntutnya kepada kearifan”.
Di paragraf kelima, ada ini: “Ilmu selalu membuat si empunya semakin rendah hati, sensitif, dan sungguh-sungguh”.
Jika Rahmat Abdullah suka menulis indah, rupanya itu tak lepas dari apa yang sering dibacanya. Bahwa, di antara deretan ulama besar sekaligus penulis yang menginspirasinya ada nama Syaikh Alawi Al-Maliki. Lihat, di paragraf akhir pasal satu Rahmat Abdullah menulis sebagai berikut:
Mungkin karena kekhasan Islam dalam menghargai ilmu dan akal sehat, secara khusus Syaikh Alawi Al-Maliki membuka Simthud Durar (Untaian Mutiara), antologi sanjungannya kepada Rasulullah Saw dengan kekhususan ini:
Segala puji bagi Allah/ yang telah melebihkan kita/ dengan Musthafa Nabi Pilihan/ yang mengagungkan pendidikan//.
Palestina, Ajaib!
Di antara banyak artikel yang telah ditulisnya, ada yang berjudul Keajaiban dari Palestina (baca Warisan Sang Murabbi; Pilar-Pilar Asasi, 2008: 135-140). Dia menulis begini:
Palestina. Ajaib bangsa yang satu ini. Mereka miskin, tetapi mampu memberi banyak kepada saudara-saudara Arab mereka, dunia Islam dan umat manusia. Mereka terjajah, tetapi mampu memberi pelajaran paling mahal, bagaimana mereka punya jiwa merdeka sebelum tubuh mereka terbebaskan. Ajaib pemuda mereka, melecehkan dunia yang degil, korup, dan hipoktrit dengan sindiran paling nyinyir; mengukir kematian mereka sendiri dengan guratan paling artistik. Ya, seni kematian paling spektakuler di zaman ini (h.136).
Baca sambungan di halaman 2: Si Rendah Hati
Discussion about this post