Ahli Ilmu
Di sebuah ketika Rahmat Abdullah punya peluang studi ke Azhar Mesir. Tapi, karena sesuatu hal, ia tak jadi berangkat. Meski begitu, hal tersebut tak menyurutkan Rahmat untuk terus belajar.
Sejak berkenalan dengan Syaikh dari Mesir (yang diperantarai KH Abdullah Syafi’i), ia mulai senang melahap berbagai pemikiran Islam lewat buku semisal karya Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, dan Al-Maududi. Juga, dari tokoh-tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto dan M. Natsir.
Dalam perkembangannya, Rahmat mulai merintis dakwah dengan mengajar di Ma’had Asysyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat inilah Rahmat mengabdikan dirinya sebagai pendidik. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun dengan berjalan kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan, untuk memberikan pelajaran tambahan berupa les pribadi-pun ia lakukan dengan berjalan kaki masuk ke lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.
Semangat Rahmat dalam menuntut ilmu terus menyala. Tak hanya lewat buku-bukunya, Rahmat juga berguru langsung kepada tokoh-tokoh semisal M. Natsir, Mohammad Roem, atau Syafrudin Prawiranegara. Dia sangat suka kala berdiskusi dengan para tokoh itu. Terkait ini, Rahmat-pun mengakui bahwa dia mengadopsi logika dan metode orasi dari orator semisal Isa Anshari, Hamka, dan Abdullah Syafi’i.
Pendidik Penulis
Pada pertengahan 1980-an Rahmat bergabung dengan Harakah Islamiyah yang saat itu tumbuh berkembang di Indonesia. Bersama Abu Ridho, Hilmi Aminudin dan beberapa tokoh pemuda Islam lainnya mereka bersatu bergerak dalam dakwah yang lebih luas dan tertata. Gerakan dakwahnya lebih terinspirasi pada Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir.
Pada 1993 bersama murid-muridnya dia mengembangkan pendidikan dan sosial dengan mendirikan Islamic Center Iqro’ di Pondok Gede – Bekasi. Kesibukan Rahmat makin padat. Tetapi, kebiasaannya membaca, mengkaji al-Qur’an dan tafsirnya, hadits dan syarahnya, tetap berjalan. Begitupun, kegiatannya mengisi pengajian di berbagai kantor, kampus, serta melayani berbagai macam konsultasi terus berlanjut.
Dengan motor tua dia masuk-keluar kampung dan masuk-keluar kampus menabur fikrah Islamiyah yang shahih dan syamil. Fikrah Ikhwanul Muslimin yang disampaikannya disambut hangat oleh berbagai kalangan dan di kemudian hari lalu menjadi cikal-bakal berdirinya Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Bakat Rahmat cukup beragam. Misal, luapan semangat hidup dan dakwahnya juga ia tuangkan lewat berbagai syair serta tulisan yang dia kirim ke berbagai media. Sebagai penulis Rahmat aktif menulis dan mengisi rubrik di beberapa majalah Islam, seperti Sabili, Islah, Saksi, Ummi, dan Tarbawi.
Di majalah Tarbawi, Rahmat rutin mengisi rubrik Asasiyat yang kemudian oleh Pustaka Dakwatuna dibukukan dengan judul Untukmu Kader Dakwah pada 2004.
Sang Penggerak
Mari ikuti percikan pemikiran Rahmat tentang posisi strategis Ulama dan Umara di Sabili Edisi Khusus “Sejarah Emas Muslim Indonesia. Di majalah yang dia ikut menjadi pendirinya itu, Rahmat menulis judul “Umat Islam dan Arah Bangsa”. Ia menulis: “Dulu, ulama memiliki tempat tersendiri di tengah-tengah masyarakat. Mereka saling menjaga jarak dengan kekuasaan. Namun dalam urusan jihad, ulama dan penguasa jalan bergandengan. Kita lihat, Ibnu Taimiyah yang tak henti-hentinya mengoreksi penguasa. Namun ketika panggilan jihad datang, mereka jalan beriringan. Tak ada dendam. Inilah sistim yang terbangun. Ulama memberi fatwa, komando di tangan Sultan. Keduanya menggerakkan perjuangan dengan smooth dan lembut” (2003: 203).
Terhadap peran pemuda di tengah umat, Rahmat–yang sempat menjadi anggota DPR ini-sangat mengapresiasinya. Masih di majalah yang dikutip sebelumnya, Rahmat menulis: “Dulu, umat dan perjuangan tak bisa dipisahkan. Perjuangan bahkan lahir dari umat. Kita ingat, siapa yang kali pertama memulai demonstrasi 1973 untuk menentang UU Perkawinan yang kontroversial? Mereka adalah pemuda-pemuda dari generasi Islam. Mereka menolak tunduk dan melawan ancaman-ancaman tembak di tempat. Para pemuda ini dilindungi dan dikawal oleh umat dan rakyat. Mereka bergerak dan hanya dalam tempo dua jam telah menguasai Gedung DPR/MPR. ….. Pemuda-pemuda Islam pada tahun 1973 tidak lagi menghitung nyawa. Dan hal itu, masih berlangsung hingga kini”.
Terus Bergerak
Rahmat Abdullah aktivis dakwah yang tak pernah diam. Dia terus warnai hidupnya dengan perjuangan menegakkan Kalimat Allah. Dia konsekuen dengan apa yang ditulisnya, sebuah tulisan indah seperti yang ada di https://www.eramuslim.com/peradaban/leadership-inspiration/how-you-think-is-how-you-act-is-who-you-are-bagian-2/ berikut ini:
Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.
Rahmat Abdullah setia untuk terus menghidup-hidupkan apa yang telah dia tulis dalam prosa liris berjudul “Aku Rindu dengan Zaman Itu”. Tulisan tersebut ada di https://www.dakwatuna.com/2013/07/23/37107/aku-rindu-dengan-zaman-itu/, seperti berikut ini:
“Aku rindu zaman ketika kita semua memberikan segalanya untuk dakwah ini. Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah benar-benar jalan kaki 2 jam di malam buta sepulang tabligh dakwah di desa sebelah.”
Terakhir, lelaki sederhana tapi dengan ghirah besar ini meninggal pada pada 14 Juni 2005 dalam situasi “bergerak”. Dia dijemput kematian ketika akan mengambil wudhu untuk shalat Maghrib. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post