Ihlal dan Ihram dałam Ibadah Haji dan Umrah; Liputan Ario Khairul Habib
PWMU.CO – Diskusi pelaksanaan haji dan umrah dengan materi Permasalahan Ihlal Bersyarat, Tarwiah, dan Thawaf Wada’ pada Umrah disampaikan oleh Dr H Achmad Zuhdi DH M FilI.
Dia menyampaikan pada Rapat Koordinasi Wilayah Lembaga Pembinaan Haji dan Umrah (LPHU) Pimpinan wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim di Aula Mas Mansyur, Gedung Muhammadiyah Jawa Timur, Jalan Kertomenanggal IV/1 Surabaya, Sabtu (2/12/2023) siang.
Dalam pemaparannya, Ahmad Zuhdi menyampaikan memulai ibadah haji atau umrah memiliki dua istilaah, yaitu ihlal dan ihram. “Memulai ibadah haji atau umrah itu ada sebutan ihlal, ada sebutan ihram. Jadi diingat, haji ada niat umrah,” ujarnya.
Perlu diketahui Ihlal berarti meninggikan suara dengan mengucapkan talbiah ketika masuk dalam ihram untuk menunaikan nusuk (ibadah haji atau umrah). Sedangkan ihram secara istilah adalah niat masuk pada haji atau umrah atau haji dan umrah sekaligus.
Zuihdi kemudian menekankan perlunya ada niat haji dan ihlal yang dimasyarakatkan yaitu labaika hajjan. Meskipun demikian, Ustadz Zuhdi, sapaannya, mengatakan agar tidak perlu menyalahkan niat yang selain itu.
“Labaika hajjan, walaupun kita tidak perlu menyalahkan yang selain itu, tetapi kita yakinkan bahwa di hadits yang muncul seperti itu, ‘Labaika hajjan, labaka umratan,” ucapnya.
Ia menambahkan bahwa selain ihlal tadi, ada juga ihlal bersyarat dari HR Bukhari dan Muslim.
“Yaitu yang tertera di depan ini, ‘Allahumma mahilli haitsu habastani.’ Ya Allah tempat tahalul-ku nanti adalah di mana Engkau menahanku,” ujarnya.
Ia kemudian memaparkan bahwa kalimat tersebut pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada seorang sahabat yang ketika berangkat haji dalam keadaan sakit parah, sehingga Nabi memerintahkan untuk melakukan niat pertama dan kemudian menambahkan ihlal bersyarat tadi.
“Sehingga kita boleh membaca apa yang pertama tadi, Labaika umrahtan atau Labaika Hajjan, kemudian Allahumma mahilli haitsu habastani,” terangnya.
Ia kemudian memberikan pemaparan bahwa hal tersebut pernah terjadi di masa Nabi, dan Nabi sendiri gagal dalam melaksanakan umrah.
“Karena saat itu, ternyata penjaga Makkah tidak mengizinkan, akhirnya sampailah Hudaibiah, dan di Hudaibiah terjadilah perjanjian, pokoknya gak boleh masuk gitu intinya oleh orang Makkah. Akhirnya kan gagal, sahabat kemudian gelisah, yopo gini-gini,” tuturnya.
Kemudian Ustadz Zuhdi menerangkan munculnya Surat al-Baqarah 196 yang memiliki makna mengenai perintah menyempurnakan ibadah haji dan umrah dalam keadaan terkepung.
“Akhirnya Nabi mengajak di situ menyiapkan hadyu dan kemudian mencukur kepala, jadi disini dikatakan hadyunya dilakukan di situ kemudian mencukur rambutnya, lalu kemudian selesai,” lanjutnya.
Zuhdi juga kembali menjelaskan bahwa perjalanan awal tadi melahirkan kesuksesan dengan membuat Nabi dan pengikutnya kembali mendatangi Kota Makkah dan diizinkan masuk selama tiga hari di tahun berikutnya.
“Tahun depan diizinkan masuk kota Mekkah, tapi hanya 3 hari, kalau haji gak mungkin, haji kan kurang lebih sepekan ya, ini gak bisa, akhirnya tahun berikutnya umrah lagi, umrah lagi itu akan membentuk umrah qadha,” lanjutnya.
Kemudian ia menambahkan mengenai penafsir as-Sya’diy, yang mengatakan bahwa jika bertahan sembelihlah hadyu yang mudah, yaitu sepertujuh unta, sepertujuh sapi, atau seekor kambing.
“Disembelih oleh orang yang bertahan tadi, kemudian ia mencukur rambut, dan bertahalul dari ihram-nya tersebut, dengan begitu maka yang haram-haram tadi mudah diselesaikan,” ucapnya.
“Nah, sebagaimana perbuatan Nabi dan sahabatnya ketika mereka ditahan oleh kaum musyrikin pada tahun perjanjian Hudaibiah, jika ia tidak mendapatkan hadyu, hendaklah ia puasa 10 hari sebagaimana orang yang melaksanakan haji tamattu’ kemudian bertahallul,” ucapnya.
Ia kemudian mengatakan apa kegunaan memakai ihlal bersyarat itu, kemudian menjelaskan bahwa hal tersebut memang dalam fikih haji Muhammadiyah tarjih belum dibahas dengan lengkap, ia juga mengatakan bahwa sebenarnya Muhammadiyah memiliki fikih haji.
“Bahkan dua kali, yang pertama di Putusan Tarjih yang lama itu sudah ada, itu kira-kira sekitar 39 halaman, dan yang baru ini sekitar 50 halaman, ada beberapa pengembangan, ada beberapa perubahan pendapat tentang fikih haji,” ujarnya.
Ustad Zuhdi kemudian menjelaskan karena hal itu belum terbahas sehingga dengan demikian dibahas oleh Muhammadiyah-Muhammadiyah yang ada di daerah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni