Iman, Islam, dan Ihsan
Sementara itu sunah Rasulullah menyebutkan bahwa di dalam Islam ada tiga komponen penting yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Iman yang merupakan akidah adalah keyakinan akan Allah, rasul-Nya dan lain-lain sebagaimana terinci dalam rukun iman, menjadi pegangan hidup dan tempat bertumpu, hingga seseorang merasa sanggup dan tangguh menghadapi segenap problem dan guncangan kehidupan.
Dengan iman seseorang jadi merasa yakin bahwa hidupnya memang berarti dan tidak sia-sia serta memang layak untuk ia jalani dengan seksama dan sebaik-baiknya. Dari komponen Iman yang merupakan akidah inilah muncul ilmu yang disebut ilmu tauhid atau ilmu kalam.
Dengan iman saja yang merupakan akidah, keyakinan dan pegangan hidup yang kuat ternyata belum cukup untuk menghadapi pelbagai masalah kehidupan. Manusia harus terus menerus menghadapi segenap problem dari realitas sehari-hari yang serba kompleks.
Untuk itu diperlukan kecakapan, ilmu dan aturan-aturan dalam mengatasi dan menyelenggarakan hubungan-hubungan kehidupan, baik hubungan antar manusia, maupun hubungan dengan sang Pencipta dan alam semesta. Ilmu dan aturan ini yang merupakan syariah tidak lain adalah Islam, yang terinci dalam rukunnya yang lima itu. Dari sinilah nantinya muncul apa yang disebut ilmu fikih.
“Seseorang juga memerlukan kesanggupan untuk bisa melihat hidup ini lebih dalam. Kesanggupan itu diperoleh dari komponen yang disebut ihsan yang merupakan budi pekerti yang tinggi atau akhlak.”
Namun manusia ternyata tidak cukup hanya punya keyakinan yang kuat dan tangguh yang merupakan akidah, sebagaimana juga tidak cukup hanya punya kecakapan, ilmu dan aturan yang ampuh dalam bergulat menghadapi realitas yang merupakan syariah. Itu saja akhirnya akan hanya membuat seorang manusia menjadi semacam mesin.
Pada waktu yang sama seseorang juga memerlukan kesanggupan untuk bisa melihat hidup ini lebih dalam. Kesanggupan itu diperoleh dari komponen yang disebut ihsan yang merupakan budi pekerti yang tinggi atau akhlak. Dari sinilah nantinya lahir apa yang kta sebut sebagai ilmu tasawuf.
Jadi, tasawuf (dari akar kata shouf, yang berarti bulu domba atau wool) tidak lain adalah realisasi dari komponen ihsan yang merupakan akhlaq atau budi pekerti yang tinggi. Kalau iman dikatakan oleh Rasulullah SAW sebagai keyakinan kepada Allah SWT, dll, dan Islam sebagai penyaksian dan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya, maka ihsan adalah pengabdian kepada Allah seoalah-olah kita melihatNya, dan apabila kita tidak bisa melihatNya, ketahuilah bahwa Ia selalu melihat kita.
Dari sini bisa kita ambil dua hal: pertama, menyiratkan bahwa dalam ihsan kita beribdah dan mengabdi kepada Allah SWT dengan penuh cinta kasih atau hubb, hingga kita seolah-olah bisa melihat-Nya. Kedua, menyiratkan bahwa Allah SWT selalu melihat dan mengetahui segala sesuatu yang kita perbuat, hingga kita selalu berada dalam muraqabah atau pemantauan Allah.
Kedua-duanya yaitu hubb dan muraqabah merupakan dasar-dasar ilmu tasawuf. Dengan demikian, tasawuf merupakan akhlak kita dalam berhadapan dengan Khalik atau sang Pencipta, yang ini sekaligus tarpantul dalam akhlak kita dengan makhluk-makhluk-Nya.
Pentingnya akhlak ini akan nampak dalam takrif atau definisi yang diberikan oleh para sufi tentang tasawuf itu sendiri. Bahkan definisi itu selalu berada di seputar akhlak, baik langsung maupun tidak. Definisi ini tersebar luas dilingkungan kaum sufi sendiri, peneliti, dan sejarawan tasawuf.
Salah satu contoh Syeikh Abu Bakar Al-Kattani (wafat 322 H) berargumen bahwa tasawuf adalah akhlak maka barang siapa yang bertambah baik akhlaknya, tentulah akan bertambah mantap tasawufnya (semakin bersih hatinya).
Dalam risalah Al-Qusyairiyah, dikatakan bahwa ketika Abu Muhammad Al-Jariri (wafat 311 H) ditanya tentang tasawuf ia menjawab: “Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela”
Di dalam al-Quran Allah menggambarkan pribadi Rasulullah SAW sebagai “mempunyai akhlak yang mulia,” dan bukan dengan gambaran-gambaran yang lain. Sementara dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwa “akhlaknya adalah al-Quran itu sendiri.”
Dan Rasulullah SAW bersabda, “Saya diutus untuk menyempurnakan akhalk.” Mengapa semuanya berujung dan berakhir pada akhalak? Karena di dalam Islam, akhalk yang tinggi dan mulai tidak bisa dicapai kecuali oleh orang yang mempunyai akidah yang kuat dan mengetahui serta menjalankan syariah dengan seksama. Tampak jelas bahwa akhlaq menempati kedudukan puncak dalam Islam. Dan Ilmu yang berurusan dengan itu adalah tasawuf.
Baca sambungan di halaman 4: Tasawuf Berkemajuan: Pembentukan Pribadi yang Muhsinin