PWMU.CO – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah Dr Tri Hastuti Nur Rochimah MSi menyemangati kader Aisyiyah Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Gresik di Gedung Dakwah Muhammadiyah Gresik, sesuai menyampaikan Pengajian Ahad Pagi, Ahad (4/2/2024).
Tri mengapresiasi PDA Gresik yang sudah mampu membangun gedung konseling di Jalan Ikan Gurami dan sudah hampir selesai dan siap ditempati.
“Memang kita harus jadi contoh dan kita arus lebih kuat, karena kalau kita itu minoritas ghirah-nya biasanya luar biasa,” ucapnya dalam pertemuan khusus dengan PDA Gresik.
Bicara tentang peran kebangsaan, Tri mencontohkan pada tahun 1928 ada dua tokoh Aisyiyah yaitu Munjiyah dan Hayyinah yang memberikan peran kebangsaan dengan menyuarakan keberpihakannya pada kaum perempuan.
Tri berharap di tengah puluhan organisasi perempuan di Gresik, Aisyiyah paling dipandang.
“Saat ini di Jawa Timur: di Malang, Jember, dan Probolinggo, angka perkawinan anak tinggi dan angka dispensasi perkawinan tinggi. Sekarang kan dengan undang-undang yang baru, perkawinan minimal 19 tahun,” tuturnya.
Tri menjelaskan terkait cita-cita bangsa Indonesia, bahwa 2045 Indonesia Emas, Aisyiyah harus memberikan perannya.
“Gimana mau Indonesia Emas, kalau angka pernikahan anak masih tinggi, Nanti dampaknya stunting, kesehatan reproduksi perempuan dan seterusnya,” ucapnya.
Tri menegaskan pada saat Kongres Perempuan juga sudah ada isu poligami dan isu nikah siri. “Munas tarjih sudah memutuskan bahwa perkawinan dalam Islam harus dicatatkan, dan itu sudah dibicarakan sejak kongres perempuan Indonesia,” terangnya.
Isu-Isu Keluarga
Terkait perceraian, ia menyampaikan bahwa majelis tarjih juga memutuskan bahwa harus dilakukan di pengadilan. “Itu menunjukkan majelis tarjih kita sangat berkemajuan. Tajdid. Cerai itu harus di depan hakim.Itu untuk melindungi hak-hak perempuan,” urainya.
Kemudian Tri menjelaskan isu-isu pengasuhan untuk anak-anak keluarga migran. Karena menurutnya, keluarga sakinah tidak selalu ada orang tua ayah ibu dan anak-anak selalu bersama. Banyak ibu-ibu yang menjadi kepala keluarga.
“Ada juga orang tua bahkan ibu yang pergi bekerja keluar negeri, keluarga yang mengalami KDRT, itu bagian dari kepedulian kita. Aisyiyah bisa hadir untuk mereka, ini bagian dari peran-peran kebangsaan,” ucapnya.
Tri menegaskan bahwa manusia tidak dibedakan laki-laki dan perempuan, dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat. “Kader Aisyiyah adalah pelaku sejarah, akan dikenang karena hal-hal baik yang kita lakukan,” ucapnya.
Day care saat ini menurut Tri juga sudah menjadi kebutuhan, karena sudah banyak ibu-ibu yang bekerja dan harus menitipkan anaknya. Terutama di daerah-daerah industri. “Di Kendal itu Aisyiyah dulu punya siswa 15 sekarang sudah 60,” ungkapnya.
Ia menyatakan yang dipikirkan Munjiyah dan Hayyinah itu masih menjadi PR (pekerjaan rumah) Aisyiyah untuk mendorong peran perempuan.
“Ini dakwah kita yang akan diingat, ada nggak tetangga dan saudara kita yang miskin tapi belum mendapatkan BPJS atau bantuan sosial, itu model-model dakwah kita,” tuturnya.
Dalam peran kebangsaan PDA dalam pemilu, Tri menyampaikan Aisyiyah perlu mengusulkan pada Bawaslu pemilu yang inklusif.
“Pemilu yang inklusif itu misalnya, apakah saudara kita yang disabilitas mendapatkan fasilitas untuk ikut pemilu. Bahkan tidak hanya disabilitas secara fisik tapi disabilitas psikososial, ODGJ misalnya. Selama dokter tidak memutuskan bahwa ODGJ tersebut tidak bisa memilih, maka dia masih punya hak pilih,” tandasnya. (*)
Penulis Ain Nurwindasari Editor Mohammad Nurfatoni