PWMU.CO – Cemas tidur di rumah pascagempa, warga Dusun Teluk, Desa Sungaiteluk, Kecamatan Sangkapura Bawean, Kabupaten Gresik dihipnosis, Jumat (29/3/2024).
Proses hipnosis dilakukan salah satu relawan psikososial Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Gresik Nurul Azizah SPsi. Di Desa Sungaiteluk sendiri, MDMC menerjunkan 2 relawan medis (perawat dari RS PKU Muhamadiyah Sekapuk) dan 5 relawan psikososial.
Setibanya di sana, tim relawan MDMC Gresik langsung datang ke rumah Kepala Rusun (Kasun) Teluk Hamim untuk meminta tolong mengarahkan warga berkumpul di satu tempat. Dari penjelasan Kasun, di sana banyak masyarakat yang masih tidak mau tidur di dalam rumah. Warga memilih tidur di luar, baik di tenda maupun teras rumah.
“Sebenarnya rumah mereka masih layak ditempati. Jika tidur di dalam Insyaallah masih aman. Tapi masyarakat takut karena banyak terjadi gempa susulan,” ungkap Azizah.
“Apalagi gempa tadi pagi lumayan terasa sehingga membuat masyarakat di Teluk keluar rumah dan memilih tidur di luar rumah lagi,” imbuhnya.
Kepada PWMU.CO, Azizah mengungkap sebenarnya usai gempa pertama pada 22 Maret 2024, masyarakat langsung berkumpul di luar rumah. Warga tidur jadi satu, membuat tenda darurat dari terpal.
Seiring gempa susulan berkekuatan magnitudo kecil, lanjut Azizah, mereka mulai berani tidur di rumah. Gempa tadi pagi membuat mereka kembali takut sehingga tidur di teras rumah lagi.
Kemauan Serap Hipnosis
Azizah yang pernah menjalani pelatihan teknik mengubah pola pikir dengan Neuro Linguistic Programming (NLP) pun menerapkannya pada korban gempa di Sungaiteluk. Awalnya ia mengecek terlebih dahulu seberapa warga di sana mau menyerap hipnosis.
Akhirnya Azizah mengarahkan warga untuk menempelkan jari telunjuk dan ibu jari. Kemudian ia meminta mereka menutup mata. Sugesti pun ia berikan.
“Misalkan ada orang yang mendatangi Ibu-Ibu. Dia membawa lem. Dia menumpahkan lem itu ke tangan Ibu-Ibu. Akhirnya membuat tangan Anda menjadi lengket,” ujar Wakil Ketua Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah (PDNA) Gresik yang membidangi Dakwah dan Pusintek itu.
“Semakin Ibu memaksa untuk membuka, tangan itu akan semakin lengket, semakin lengket, dan semakin lengket,” lanjutnya.
Ketika Azizah meminta mereka membuka kedua tangan tersebut, ternyata ada dua Ibu-Ibu yang tidak bisa melepaskan tangan mereka. “Artinya, ketika kemudian diberikan hipnoterapi, Insyaallah lebih mudah masuk karena orangnya bisa fokus,” ungkap alumnus Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) ini.
Akhirnya, untuk melepas kedua jari Ibu-Ibu yang menempel erat itu, Azizah meminta mereka untuk menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan dari mulut. Cara ini diulang beberapa kali sambil menggeser kedua jemarinya.
“Yakinkah kalau kedua jari Ibu bisa membuka. Tarik napas lagi, buang perlahan,” tuturnya hingga jari mereka benar-benar terlepas.
Relaksasi
Setelah itu, Azizah menyampaikan, mereka bisa melakukan relaksasi dengan cara sederhana yakni melalui pernapasan. “Ini sangat mungkin bisa dilakukan oleh semua orang dan mudah diingat,” ujarnya.
Ia juga berpesan, “Kalau ada apa-apa, langsung atur napas. Karena sebenarnya terkadang gempa itu bisa tidak berdampak tetapi kepanikan itulah yang akan menimbulkan dampak. Misalnya membuat kita merasa sesak napas. Padahal kalaupun gempa itu datang, tidak melukai kita.”
Ia mencontohkan, ketika terlalu panik akan memungkinkan terjatuh. “Kalau kaki sampai keseleo itu kan bukan dampak dari gempa tapi dampak dari kepanikan. Maka kita perlu menyikapi dengan tenang,” tuturnya.
Terlebih, sambung Azizah, gempa berkekuatan besar sudah pernah melanda. “Jadi insyaallah gempa susulannya tidak sekuat gempa yang pertama,” lanjutnya.
Azizah lanjut meminta mereka memejamkan mata. Lalu ia mengajak warga Sungaiteluk itu mengembalikan ingatan mereka pada saat gempa yang mana membuat mereka sangat terngiang-ngiang. Sangat ingat sekali.
“Apakah gempa di pikiran Ibu-Ibu itu tergambar berwarna atau hitam putih?” tanya Azizah kemudian.
Kalau ada ibu-ibu yang masih mengingat gempa dalam berwarna, maka Azizah meminta mereka menggantinya ke dalam ingatan visual hitam putih. “Kalau sudah dalam hitam putih, sekarang Ibu lihat apakah di ingatan Ibu itu rasanya seperti Ibu menonton TV, di di luar kejadian itu, atau Ibu di dalam kejadian itu?” tanyanya lagi.
“Kalau Ibu merasa di dalam TV, silakan keluar dari TV. Rasakan seolah-olah kejadian itu di dalam TV,” tuturnya
Kemudian, kalau kejadian itu masih ada suaranya, Azizah meminta mereka mengecilkan suaranya sampai suaranya benar-benar kecil, bahkan sampai merek tidak mendengarnya. Misal, masih terngiang-ngiang teriakan seperti, “Gempa!”
Kalau sudah mengecilkan suaranya, Azizah lanjut mengajak korban gempa Bawean itu mundur perlahan, menjauhi TV yang terdapat gambaran saat kejadian itu. “Mundur lagi, mundur lagi, mundur lagi, sampai TV itu menjadi kecil dan menjadi titik,” imbuhnya.
Ia lanjut mengajak mereka membayangkan dan mengganti titik tersebut menjadi ingatan atau memori yang bagus. “Barangkali Ibu pernah rekreasi sama keluarga, Ibu pernah ke pantai, bersenang-senang dengan keluarga, atau bisa juga mengganti titik itu dengan kejadian atau hal lucu menurut Ibu juga bisa dimunculkan,” ajaknya.
Sampailah pada akhir sesi sehingga Azizah meminta mereka membuka mata.
Boleh Takut
Azizah lantas bertanya, “Dari range 1-10 seberapa ingatnya?”
Ternyata banyak warga menjawab ingatan mereka di kisaran range 5-6. Azizah berasumsi, karena sudah sepekan berlalu, maka sedikit demi sedikit mereka melupakan kejadian gempa itu. Ia bersyukur, dengan teknik NLP tadi akhirnya ada pengurangan skala. Yang awalnya 5, jadi berkurang.
Tapi ada pula warga yang menyatakan, tidak menutup kemungkinan jika ada gempa susulan, ingatan itu mungkin akan kembali. Menurut Azizah, warga memang perlu terbiasa karena sepekan itu waktu yang lumayan untuk bersahabat dengan kondisi gempa.
Ia mengajak warga agar tidak menjadikan gempa itu sebagai momok. Melainkan berupaya untuk fokus melindungi diri dan melakukan upaya lain yang bisa dilakukan.
Tidak panik dan membuat orang ikut panik pun ia tegaskan. Misal, dengan berteriak. “Orang atau anak yang tidak tahu jadi ikut panik,” contohnya.
Ia berharap ibu-ibu itu mau mencoba bersahabat dengan kondisi seperti ini. “Oh ada gempa susulan, ayo Dek keluar,” contohnya dengan tenang namun tetap bergerak menyelamatkan diri.
Dalam kondisi seperti itu, Azizah menyadari cemas pasti ada. Respon yang mungkin muncul adalah melawan atau melindungi diri. “Kalau tidak cemas dan takut justru bahaya. Boleh ada cemas karena itu perasaan yang wajar,” ungkapnya.
Pertanyaan pun ia lontarkan, “Boleh nggak kita takut sama gempa bumi? Boleh nggak kita takut gempa itu datang lagi?”
Warga ada yang menyatakan boleh dan ada yang diam saja. Azizah menduga mereka berpikir takut itu emosi yang dilarang. Azizah menekankan, “Takut itu boleh karena itu perasaan yang wajar. Jangankan di Bawean, di Pulau Jawa yang juga merasakan gempa pun merasa takut.”
Di sini ia berusaha membuat mereka tidak merasa bersalah ketika merasa takut. “Tapi memang harus ada kontrol. Tidak boleh berlebihan agar tidak muncul masalah baru,” pesannya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni