PWMU.CO – Bagaikan mesin cuci, Ketua LDK PP Muhammadiyah ajarkan cara pertahankan nilai kesucian pasca Ramadhan. Ketua Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ustadz Muhammad Arifin MAg menjadi khatib pada perhelatan shalat Idul Fitri di GKB Convex.
Sebelum mulai shalat, salah satu panitia Shalat Id dari Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) GKB Gresik Muharjo menyampaikan informasi dari Lazismu Kantor Layanan (KL) GKB Gresik.
“Perolehan zakat fitrah Rp 96.878.414 juta, zakat mal Rp 420.163.008 dan infak Rp 261.697.509. Untuk wakaf Masjid al-Mizan Rp 135.609.002 juta dan fidyah Rp 13.300.000,” ujarnya, Rabu (10/4/2024).
“Hasil infak Lazismu KL GKB Gresik tadi malam sudah tersalurkan kepada total 2.493 jiwa,” imbuh Wakil Ketua Bidang Tabligh, Masjid dan Pendidikan Kader PCM GKB itu.
Imam shalat Idul Fitri ialah Ustadz Imam Muhajir, imam tetap Masjid Takwa SMP Muhammadiyah 12 GKB. Panitia memperkirakan, total jamaah yang shalat di lapangan itu sebanyak 5000 orang. Di mana jamaah laki-laki 3000 dan jamaah perempuan 2000.
Pertahankan Kesucian
Arifin mulanya mengajak jamaah bersyukur kepada Allah karena pagi itu mereka menjadi bagian dari hamba Allah yang terpanggil untuk menjalankan salah satu shalat sunah yang sangat dianjurkan yaitu shalat Idul Fitri.
Ia mengatakan, “Pagi hari ini kita telah menjadi hamba-hamba Allah yang telah disucikan oleh Allah sebagaimana janji Rasulullah, Man shama Ramadhana imanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min dzambih.”
Artinya, “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena mengharap iman dan mengharap ridha Allah, Insyaallah Allah akan mengampuni dosa kesalahan kekurangan kita selama hidup di dunia ini.”
Oleh karena itu, Arifin mengajak jamaah mencoba berikhtiar sekuat tenaga mempertahankan nilai-nilai kesucian yang telah Allah berikan. “Ini kita sudah bersusah payah bagaimana untuk meraih sebuah ampunan Allah. Dengan semua rangkaian ibadah dalam bulan Ramadhan kita kerjakan untuk mendapatkan sebuah ampunan Allah. Tapi ada yang lebih berat lagi adalah bagaimana mempertahankan nilai-nilai kesucian kita,” terangnya.
Karena Arifin yakin, sebagian hamba Allah begitu selesai bulan Ramadan maka selesailah semua shalatnya, puasanya, tadarusnya, infaknya dan sedekahnya. “Padahal bulan Ramadhan bagi kita sebagai bulan pendidikan, pelatihan,” ungkapnya.
Artinya, harapannya selesai bulan Ramadhan, umat Muslim bisa lanjut menjalankan semua aktivitas di bulan Ramadhan. Mengalihkan ibadah di luar bulan Ramadhan itulah, kata Arifin, keberhasilan kita dalam menjalankan ibadah puasa itu.
Kalau bulan Ramadhan adalah bulan diklat, sekolah, atau bulan di mana manusia digembleng membiasakan; hasilnya adalah setelah bulan Ramadhan. “Sebagaimana anak sekolah, keberhasilan anak sekolah bukan ketika dia sekolah, keberhasilan anak kuliahan bukan ketika dia di tempat kuliah, tapi keberhasilan sekolah dan kuliah itu adalah setelah selesai dia menjalankan sekolah atau kuliah!” tegasnya.
Ibarat Mesin Cuci
Arifin kemudian mengajak jamaah berusaha mempertahankan nilai-nilai yang telah kita lakukan di dalam bulan Ramadhan. “Ramadhan adalah wadah. Bagaimana ketika kita diberi wadah oleh Allah yang di dalamnya ada sebuah proses yang apabila kita berhasil di dalam bulan Ramadhan itu, janji Allah adalah, sebuah ampunan. Kita akan disucikan, dibersihkan oleh Allah semua kesalahan-kesalahan kita. Tapi ingat, syaratnya adalah imanan wahtisaban!” ungkapnya.
Arifin pun menegaskan, jangan sampai kesucian yang telah Allah berikan ini kemudian hilang dengan begitu saja. Ia menyadari, rangkaian di dalam bulan Ramadhan itu tidak mudah untuk kita laksanakan.
“Ada yang ketika bulan Ramadhan itu karena sungkan, toleransi, menghormati maka 10 hari pertama dia mengikuti rangkaian ibadah dalam bulan Ramadhan tapi 20 hari selanjutnya hilang. Ada yang sampai bertahan 20 hari tapi akhir bulan Ramadhan dia hilang. Ada yang bertahan sampai akhir bulan Ramadhan tapi kadang-kadang selesai bulan Ramadhan dia tidak mampu untuk mempertahankan,” urai Arifin.
Maka ia menegaskan, “Tugas kita sekarang adalah mulai hari ini, detik ini, bagaimana mempertahankan apa yang kita lakukan dalam bulan Ramadhan. Kalau boleh saya ibaratkan, bulan Ramadhan adalah wadah-wadah untuk menyucikan diri kita bagaikan mesin cuci.”
Ada wadahnya. Tapi kalau semua rangkaian yang ada di dalam mesin cuci, proses dalam mesin cuci itu tidak berjalan dengan baik, maka tidak akan menghasilkan sebuah pakaian yang bersih, suci dan cemerlang. “Termasuk kita. Allah memberikan wadah di dalam bulan Ramadhan ada yang namanya shalat wajib, ada shalat yang dianjurkan, ada infak, shadaqah, ada tadarus. Semua ini adalah rangkaian yang tidak bisa dipisahkan,” sambungnya.
Kalau ia ibaratkan mesin cuci tadi, ketika mesin cuci itu sudah bisa berjalan dengan bagus maka butuh saluran air dan detergen yang bagus. Bahkan perlu harum-haruman.
“Kenapa? Untuk menghasilkan sesuatu yang bagus! Kita juga begitu dalam bulan Ramadhan ini. Jangan sampai Ramadhan kita yang sudah kita penuhi secara menyeluruh kemudian kita kotori lagi!” tegas Arifin.
Simbol Penyerahan Diri
Arifin kemudian memberikan sebuah rumus bagaimana mempertahankan nilai kesucian dan keberhasilan. Ia mengambil dari Quran surat al-Mukminun. “Qad aflahal Mukminun. Sungguh beruntung, sungguh menang, orang-orang yang beriman yang di atas imannya itu adalah berdiri, alladzina hum fi shalatihim khosiun. Jadi tidak cukup hanya beriman, saya percaya kepadamu ya Allah, percaya kepada Rasulullah, percaya kepada kitab suci. Tidak!” tegasnya.
Sebagai hamba Allah yang akan mendapatkan keuntungan, kata Arifin ialah mereka-mereka yang mampu mendirikan di atas keimanannya sebuah ketundukan yang luar biasa. “Yaitu menjalankan shalat dengan khusyuk. Shalat memiliki sebuah simbol yang sangat luar biasa,” ungkapnya.
Salah satu simbol di dalam shalat adalah gerakan Takbiratul Ihram. “Ketika kita mau melakukan sHalat itu diawali dengan Takbiratul Ihram karena di sini ada sebuah simbol penyerahan diri kita. Jadi kita menyerah kepada Allah. Satu kali dalam 24 jam kita diminta oleh Allah untuk menyerahkan diri kepada Allah dengan mengangkat tangan. Simbol mengangkat tangan adalah sebuah simbol internasional orang-orang yang menyerahkan diri,” lanjutnya.
Ketika ada seorang penjahat kemudian dikejar oleh penegak hukum, sambung Arifin, maka dikatakan menyerah apabila sudah mengangkat kedua tangan. “Kita juga begitu di hadapan Allah. Kita diminta lima kali dalam 24 jam untuk menyerahkan diri kepada Allah. Kita dipanggil muadzin, ‘Mari menuju sebuah keberuntungan’ tapi ternyata tidak semua hamba Allah tertarik dengan panggilan muadzin. Menjadi hamba-hamba Allah yang beruntung tidak semua tertarik,” ujarnya.
Makanya disampaikan oleh Allah, sambungnya, Allah sudah memberikan manusia telinga supaya manusia mendengar panggilan adzan, segera mendirikan shalat, karena di sana ada sebuah panggilan untuk menuju kemenangan. “Allah juga memberikan mata supaya kita bisa melihat mana jalan ke masjid, mana jalan-jalan menuju sebuah kebaikan. Allah juga memberi akal pikiran yang pikiran manusia akan tahu dan sadar bahwa mana itu yang benar dan mana itu yang salah tapi ternyata sedikit sekali hamba Allah yang bersyukur,” kata Arifin.
Padahal kata Arifin, Allah meminta, dalam ayat 78 an-Nahl, setelah kita diberi indera pendengaran, penglihatan dan hati Nurani supaya kita itu bersyukur. “Apalagi kalau kita hidup di GKB Kota Gresik ini kan semua fasilitas terpenuhi. Masjid-masjid berAC, tempat-tempat shalat tertata dengan rapi,” ujarnya memotivasi.
Belajar dari Daerah 3T
Ia lantas mengajak untuk membayangkan jika tinggal di daerah-daerah tertinggal, terpencil dan terjauh (3T). “Saya kebetulan satu pekan yang lalu saya baru keliling dari daerah Ternate, saya menemui beberapa saudara kita, mereka-mereka yang mualaf di Suku Dayak,” kenangnya.
Ia tahu pasti, mereka untuk bisa shalat lima waktu di masjid membutuhkan berjam-jam. “Bahkan ketika salat tarawih, saya bertanya, kebetulan di daerah Landak di Kalimantan Barat hari Jumat pekan yang lalu saya tanya, untuk bisa ikut shalat tarawih itu habis Dhuhur sudah berangkat. Mereka membawa bekal berbuka,” terangnya.
Dai yang memberikan ceramah di situ setelah Shubuh sudah berangkat menuju masjid. “Dengan medan yang sangat sulit sekali mereka memenuhi panggilan Allah padahal mereka tidak mendengar panggilan ‘Hayya ala shalah’, tidak mendengar panggilan ‘Hayya alal falah’. Tapi karena mereka terpanggil karena susahnya untuk mencari masjid,” ujar Arifin.
Arifin mengatakan, “Jangan bayangkan tingkatnya masjid di daerah-daerah yang tertinggal, terjauh dan terluar sana itu seperti masjid-masjid tingkat yang ada di masjid kita. Yang terdiri dari kayu di bawahnya itu, masih tidak ada dinding. Ketika shalat, di bawahnya keluar masuk anjing, babi. Ada hewan-hewan yang lain.”
Dari sini ia mencoba menyentil jamaah, “Coba kita bayangkan! Mereka memenuhi panggilan itu walaupun tidak mendengarkan adzan. Tapi bagaimana dengan kita?”
Akhirnya ia mengajak, “Pasca Idul Fitri ini, kita tidak usah menunggu besok tidak usah menunggu lusa, 1 tahun lagi, tapi setelah salat Idul Fitri. Pulang dari sini, marilah kita mencoba menjadi hamba-hamba Allah yang terbaik, yang memenuhi panggilan Allah bahwa untuk sebuah kemenangan. Di antaranya adalah ketaatan kita kepada Allah.” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni