Peradaban dalam Secangkir Turkish Coffee; Oleh Syamsul Arifin Penikmat Kopi, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang, Wakil Ketua Majelis Tarjid dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Pada kunjungan kedua, ke Hagia Sophia di Istanbul, Turki, April 2023, masih di antrean kira-kira 200 meter dari pintu masuk, saya dibekap perasaan tidak sabar ingin segera ke kafe depan Hagia Sophia, menikmati kopi turki seperti pengalaman beberapa tahun sebelumnya.
Kopi Turki (Turkish Coffee) mendatangkan sensasi sejak pada tahapan pembuatan hingga ke tegukan pertama. Bubuk kopi dimasukkan ke ibrik (teko atau pot kopi khas Turki), berikutnya air (mentah), lalu diletakkan di atas tungku, terkadang di atas pasir yang dipanaskan, adalah sensasi pertama yang saya rasakan. Rasa kopi adalah sensasi berikutnya. Yang ketiga, sensasi harga. Tidak mahal! Seingat saya hanya 5 lira.
Karena itu, setiap ada kesempatan, termasuk dalam perjalanan ke Konya, ‘tempat’ Jalaludin Rumi, dari Kapadokia, pada kunjungan pertama ke Turki saya “mewajibkan’ diri saya minum Kopi Turki (aha! dalam perjalanan ke Konya itu, saya menjumpai patung Nasruddin Hoja yang mengendarai keledai dengan posisi yang tidak lazim: dia menghadap ke belakang).
Sayangnya, kafe persis di depan Hagia Sophia sudah tutup. Apakah dampak dari Covid-19? Sepertinya begitu. Pada kunjungan pertama, setelah dari Hagia Sophia, saya ke kafe memesan kopi dengan harga 5 lira juga. Sambil menikmati—alih-alih sekadar minum—Kopi Turki, saya mengingat bacaan sambil coba membuat visualisasi sejarah Hagia Sophia hingga kemudian menjadi properti Kesultanan Turki Utsmani (Ottaman), dan berubah fungsi menjadi masjid seperti yang saya saksikan pada kunjungan yang kedua, Lebaran setahun lalu. Saya menyempatkan shalat di dalamnya, dekat dengan mihrab.
Hagia Sophia adalah artefak. Bila didekati secara semiotik, Hagia Sophia merupakan penanda. Tidak hanya tentang satu, tetapi banyak hal. Pada Hagia Sophia terdapat historisitas yang merentang hingga ke belakang: abad ke-4. Di samping sebagai penanda keanggunan, kebesaran, dan kewibawaan suatu agama, yakni Kristen Ortodoks Yunani, Hagia Sophia juga penanda kekuatan politik kekuasaan yang disebut imperium atau kekaisaran karena radius cengkramannya begitu luas.
Hagia Sophia adalah bagian dari kekaisaran atau imperium Bizantium yang masih bagian dari Romawi. Romawi sendiri bermula dari abad ke-20-an SM kalau berpatokan pada tahapan sebagai republik. Tetapi kalau menggunakan milestone kerajaan, Romawi dimulai kira-kira sejak tahun 700-an sebelum masehi.
Karena itu, Hagia Sophia juga penanda historisitas peradaban. Dalam historisitas terdapat narasi ihwal kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, keemasan, dan kemunduran. Ibnu Khaldun menjelaskannya melalui konsep siklus peradaban. Ringkasnya, dalam historisitas tidak ada keabadian.
Imperium atau Kekaisaran Bizantium memberikan pembuktian. Konstantinopel, sekarang Istanbul, ibu kota Bizantium, tempat Hagia Sophia, mengutip Roger Crowley, penulis 1453: Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel di Tangan Muslim, menemui ajalnya pada 29 Mei 1453. Tulis Roger Crowley pada halaman 297, “Sejarah Gereja Kearifan Suci ini adalah cerminan Bizantium—sakral dan profan, batin dan jasmani, cantik dan kejam, irasional dan manusiawi. Setelah 1.123 tahun dan 27 hari, semua itu berakhir.” Gereja Kearifan Suci itu adalah Hagia Sophia. Versi Roger Crowley, “Ratapan ngeri menyeruak dari warga yang gemetar ketakutan ketika prajurit Utsmani memasuki gereja.”
Bizantium, Konstantinopel, ditaklukkan oleh prajurit Turki Utsmani di bawah komando Sultan Mehmed II, yang karena keberhasilannya yang fenomenal dan ikonik, itu kelak bergelar Muhammad al-Fatih. Toh, Turki Utsmani, atau kekhilafahan Utsmaniyah—terkadang disebut kekaisaran dan kesultanan—pada akhirnya juga tidak bertahan. Berdiri pada 1299, Turki Utsmani berubah format menjadi republik pada 1924, tentu tidak lagi dengan lingkup kekuasaan lintas benua.
Penyebabnya kompleks. Satu di antaranya, menurut Eugene Rogan dalam buku Dari Puncak Khilafah karena gerakan revolusi yang diusung oleh suatu entitas kalangan muda yang disebut Turki Muda. Sejak 1924 itu, Kemalisme yang berkarakter sekuler, menjadi ideologi. Hagia Sophia yang berubah lagi menjadi masjid seperti saya saksikan setahun lalu, adalah penanda tergerusnya Kemalisme, di satu sisi, sementara di sisi lain, menguatnya Erdoganisme.
Realitas Superfisial
Di sisi rumah, agak ke belakang, saya menyebutnya The Solitary Cafe, saya bereksprimen kembali dengan Turkish Coffee. Ini kali yang kedua, melanjutkan eksprimen hari kemarin. Bubuk Kopi Turki yang dipesan melalui marketplacelangganan saya, saya campur dengan gula aren. Keduanya saya masukkan ke ibrik atau pot khas Turki, setelah terisi air mentah berukuran 200 ml.
Pegerakan bubuk kopi ke atas akibat panas air yang kian meninggi, disertai pula dengan bubble (gelembung), mendatangkan sensasi. Berikutnya sensasi rasa. Pada eksprimen kedua, saya memberi sentuhan dengan dripper kopi. Dengan alat ini, ampas kopi terhambat oleh paper filter yang melapisi dripper. Inilah sensasi kedua yang saya rasakan. Berikutnya tentu rasa Kopi Turki yang nir-ampas.
Turkish Coffee, di The Solitary Cafe, di rumah saya, adalah pengingat pada Hagia Sophia, artefak peradaban. Peradaban memiliki usia panjang, kendati ada yang menjumpai ajalnya.
Terkadang kita terpesona pada bubble (seperti bubble kopi Turki), gelembung, realitas permukaan, superfisial.
Kita, umat Islam, mudah terpesona dengan realitas superfisial. Realitas ini yang sering kita ciptakan. Peradaban, kata Ibnu Khaldun, adalah kesatuan antara unsur manusia, material, regulasi, infrastruktur, dan keadilan. Karena sebagai kesatuan, salah satu unsur saja ditiadakan, maka suatu peradaban tinggal menunggu titimangsa senjakala. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni