PWMU.CO – Dalam acara Southeast Asian Scholars Forum “From Muhammadiyah to the World” yang diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Riau (Umri), guru besar Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Prof Dr H Achmad Jainuri MA, menjelaskan tentang kontak antara Timur Tengah dan Indonesia yang memberikan stimulus penting dalam membawa ide-ide keagamaan dan proses perubahan agama Islam.
Kegiatan yang berlangsung di Pangeran Hotel, Riau pada Minggu, (23/06/2024). Sebagai keynote speaker, Prof Jainuri mengangkat peran Muslim Indonesia dan hubungannya dengan negara-negara Timur Tengah.
Prof Jainuri berpandangan bahwa dasar keagamaan gerakan Islam modern di awal abad ke-20 di Indonesia terbentuk melalui relasi intensi antara tanah Jawi dan Mekkah. Mulai dari jamaah haji, meningkatnya jumlah pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Mekkah (muqim), dan meningkatnya ketersediaan publikasi. Hal itu menjadi sumber inspirasi gerakan Islam Indonesia pada awal abad ke-20.
Selanjutnya, wakil ketua Badan Pembina Harian (BPH) Umsida itu menjelaskan tiga poin tentang keeratan hubungan Indonesia dan Timur Tengah.
Haji dan Muqim
Peran jamaah haji yang kembali dari menunaikan ibadah haji ke Mekkah, sangat menentukan dalam mengembangkan wawasan keagamaan umat Islam Indonesia. Ibadah haji yang merupakan salah satu rukun Islam menjadi vital bagi kemajuan Islam Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Hal ini membantu membangun identitas Islam bagi umat Islam di Indonesia.
Ia menuturkan bahwa dari sudut pandang teologis, menunaikan ibadah haji tidak hanya memenuhi kewajiban agama tetapi juga meningkatkan pengetahuan Islam. Oleh karena itu, umat Islam menganggap Mekah sebagai tujuan suci sekaligus tempat untuk memperoleh pengetahuan dasar tentang Islam.
Peningkatan jumlah jamaah haji mengubah orientasi Islam di Indonesia, secara perlahan membuat umat semakin taat (santri). Administrator Belanda takut dengan pengaruh tersebut dan menganggap dampak politik-religius dari ziarah dan studi di Timur Tengah tidak diinginkan
Oleh karena itu, pada awal abad kesembilan belas, Belanda mempersulit ibadah haji melalui pembatasan pajak dan paspor. Memang, berbagai peraturan yang melemahkan berlangsung sepanjang abad ini. Terlepas dari ketakutan Belanda, umat Islam Indonesia telah menyadari pentingnya ibadah haji sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan agama.
Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah periode 2022-2027 juga mendorong umat Islam untuk lebih memperhatikan kewajiban keagamaan mereka. Sedangkan umat Islam yang lebih tua ingin mengabdikan hari-hari terakhir mereka untuk beribadah dan berdoa di Tanah Suci, dan umat Islam yang lebih muda mengabdikan diri untuk studi agama di sana.
Peningkatan jumlah jamaah yang cukup besar memperkuat transmisi gagasan-gagasan keagamaan ke Indonesia, sebagian karena transportasi yang lebih baik dan meningkatnya stabilitas di Hindia Belanda.
Pada pertengahan abad kesembilan belas, sekitar dua ribu jamaah melakukan perjalanan setiap tahunnya ke Mekah dari Indonesia. Pada akhir abad ini, jumlahnya meningkat menjadi antara tujuh dan sebelas ribu.
Meski ibadah haji sendiri hanya mengharuskan tinggal sebulan di Mekkah, namun banyak di antara mereka yang memutuskan untuk tinggal di sana sementara atau permanen. Ide-ide yang telah mereka gagas entah setelah melaksanakan ibadah haji atau menuntut ilmu. Banyak bukti terpublikasi melalui buku, majalah, hingga media cetak.
Publikasi
Pada awal abad kedua puluh, majalah al-Manar muncul sebagai wahana paling penting dalam membawa ide-ide reformis dari Mesir ke Indonesia. Di dunia Melayu-Indonesia, kelompok masyarakat yang memelihara kontak dengan masyarakat di negara-negara Timur Tengah tertentu seperti Turki dan Mesir menerima jurnal ini, meskipun peredarannya tidak menunjukkan jumlah pelanggan yang besar.
Majalah ini memberikan wawasan intelektual mengenai perkembangan zaman dan mendorong mereka tidak hanya menggali sumber-sumber ide-ide reformis tetapi juga menyebarkannya di kalangan masyarakatnya sendiri. Tujuan tersebut antara lain diwujudkan dengan menerbitkan majalah lokal yang menghubungkan Timur Tengah dan kawasan Melayu-Indonesia.
Para haji dan pelajar Melayu-Indonesia di Mekkah, juga berperan dalam lahirnya majalah lokal berbahasa Melayu dan Indonesia. Di negara-negara Melayu (termasuk Singapura pada saat itu), beberapa pihak menerbitkan majalah seperti majalah bulanan al-Imam (the Leader, 1906), surat kabar mingguan Neracha (The Scales, 1911), dan jurnal bulanan Tunas Melayu (Generasi Muda Melayu, 1913).
Semua majalah itu berhubungan erat dengan empat tokoh masyarakat Muslim Melayu perkotaan. Seperti Syekh Muhammad Thahir Jalal al-Din al-Azhari, Syekh Ahmad al-Hadi, al-Hajj ‘Abbas Muhammad Thaha, dan Syekh Muhammad Salim al-Kalali. Tokoh-tokoh itu memiliki kontak luas dengan Timur Tengah. Semua majalah ini memuat banyak referensi tentang al-Manar. Masyarakat Indonesia yang menggunakan atau menulis dalam bahasa Melayu secara luas membaca Al-Imam.
Publikasi telah muncul sebagai sarana penting untuk menyebarkan ide-ide reformis di tanah Melayu dari tanah Timur Tengah. Dan bahkan banyak di antaranya yang menjangkau kota-kota besar di Indonesia.
Gerakan Islam dan Kepemimpinannya
Awal abad ke-20, merupakan era baru bagi umat Islam Indonesia. Gerakan Islam seperti Sarekat Dagang Islam (Perkumpulan Dagang Muslim) mulai muncul.
Pada tahun 1905 (yang kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam pada tahun 1911), Muhammadiyah pada tahun 1912, dan lain-lain. Irshad pada tahun 1913, Persatuan Islam pada tahun 1923, dan Nahdhah al-‘Ulama’ pada tahun 1926.
Pusat ideologi dari semua gerakan ini terletak pada keyakinan Islam. Meskipun budaya mereka diperkaya oleh unsur-unsur nasional dan lokal, pandangan keagamaan dan aspirasi mereka pada dasarnya mencerminkan wilayah sentral Islam, di mana standar pengajaran dan tradisi ditetapkan.
Para pemimpin kelima gerakan tersebut sebenarnya pernah mengunjungi Mekah, tempat mereka menunaikan ibadah haji. Beberapa dari mereka bahkan menghabiskan beberapa tahun di Hijaz untuk memperdalam ilmunya. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari bahkan belajar pada ‘ulama’ yang sama selama di Mekkah. Pengalamannya berdampak signifikan terhadap doktrin dan orientasi ideologi gerakan yang mereka dirikan, terang Prof Jainuri.(*)
Sumber: Prof Dr H Achmad Jainuri MA
Penulis: Romadhona S. Editor: Amanat Solikah