Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sofyan Arief SH MKn. (Istimewa/PWMU.CO).
PWMU.CO – Belakangan ini, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) mengalami perkembangan yang cukup pesat, termasuk dalam bidang seni visual.
Teknologi ini memungkinkan sistem komputer untuk melakukan pekerjaan layaknya manusia, termasuk menciptakan karya seni berdasarkan perintah yang diberikan. Namun, bagaimana perlindungan hak cipta terhadap karya hasil AI?
Beda Hasil Karya AI dan Manusia
Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sofyan Arief SH MKn mengatakan bahwa karya AI memiliki perbedaan dengan karya dari ilustrator manusia. Perbedaan mendasar tentang hak cipta tersebut terletak pada subjek hukumnya.
“Di Indonesia, saat ini belum ada aturan khusus yang menetapkan AI sebagai subjek hukum. Oleh karena itu, AI belum bisa menjadi subjek hukum yang memiliki hak cipta” ujar Sofyan.
“Sebaliknya, ilustrator manusia secara jelas diakui sebagai subjek hukum yang berhak atas karya cipta mereka berdasarkan prinsip orisinalitas” tanggapnya.
Sayangnya, Indonesia belum memiliki regulasi khusus untuk mengatur Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bagi buah karya AI seperti beberapa negara lain di dunia.
Padahal menurutnya, regulasi ini penting untuk memberikan kepastian hukum mengenai siapa yang berhak atas karya AI dan bagaimana perlindungan hak ciptanya.
“Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa hak cipta seharusnya melekat pada AI itu sendiri. Sementara, yang lain berpendapat bahwa hak cipta tersebut seharusnya diberikan kepada pencipta AI baik programmer atau pengembang” tambah Dosen tetap UMM sejak 2003 tersebut.
Tantangan Utama
Meski saat ini belum ada perlindungan hukum yang jelas untuk karya AI di Indonesia, potensi untuk pengaturan tersebut tetap ada. Tantangan utamanya di Indonesia adalah menentukan siapa yang menjadi subjek hukum yang berhak atas karya AI.
Lebih lanjut, dalam sistem hukum Indonesia, hak atas benda atau karya hanya bisa dimiliki oleh subjek hukum yang terakui secara sah. Oleh karena itu, tanpa adanya pengaturan yang jelas, tidak bisa menganggap AI sebagai subjek hukum yang memiliki hak cipta.
Sofyan pun menyarankan bahwa penggunaan AI sebaiknya tidak sepenuhnya untuk menciptakan karya secara mandiri.
“Penggunaan AI sebaiknya lebih sebagai alat pendukung bagi manusia dalam menciptakan karya” tegas Sofyan. Dengan demikian, menurutnya, individu atau entitas yang menggunakan AI sebagai alat bantu tetap bisa mendapatkan hak cipta. “Bukan sebagai pencipta utama” tambahnya.
“Meskipun AI memiliki potensi besar dalam dunia kreatif, regulasi yang jelas dan adil sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hak cipta dan HKI lainnya dapat dilindungi dengan baik di era digital ini” tandas Dosen FH UMM tersebut. (*)
Penulis Hassanal Wildan, Editor Danar Trivasya Fikri