Olimpiade Paris 2024: Kontroversi di Balik Keberagaman dan Kebebasan: Oleh M Ainul Yaqin Ahsan (Staf pengajar MA Muhammadiyah 9 Ponpes Al-Mizan Lamongan, Anggota MTT PDM Lamongan)
PWMU.CO- Olimpiade Paris 2024 menjadi sorotan dunia bukan hanya karena prestasi olahraganya, tetapi juga karena kontroversi yang menyelimuti acara pembukaannya.
Ribuan penonton yang telah membayar mahal untuk menyaksikan acara tersebut, merasa kecewa dengan parade yang dinilai tidak menarik dan cenderung mengusung stereotipe budaya Prancis yang berlebihan.
Lebih dari sekadar ketidakpuasan estetika, pembukaan ini memicu kemarahan banyak pihak karena dianggap menyentuh isu-isu sensitif seperti agama, gender, dan identitas budaya.
Parade yang Kontroversial
Salah satu kritik utama adalah penggunaan elemen-elemen budaya Prancis yang dipaksakan dan stereotipikal. Sebagai contoh, parade menampilkan atlet yang berparade di sungai dengan perahu kecil, sebuah konsep yang dianggap tidak menggugah.
Lebih buruk lagi, acara ini menampilkan figur sejarah seperti Mary Antoinette yang membawa kepalanya sendiri, dan makhluk biru yang menggeliat hampir telanjang di atas piring, yang dikaitkan dengan parodi perjamuan terakhir Yesus Kristus. Penampilan ini dianggap tidak pantas dan menyulut kemarahan umat Kristen di seluruh dunia.
Panitia Olimpiade menanggapi kritik ini dengan menyatakan bahwa apa yang mereka tampilkan adalah simbol dari keterbukaan, kebebasan, dan keberagaman, yang diwakili oleh dewa-dewi Yunani kuno. Namun, banyak yang merasa bahwa justifikasi ini tidak cukup, mengingat sensitivitas agama dan budaya penonton yang sangat beragam.
Prancis dan Sekularisme
Kontroversi ini memunculkan kembali perdebatan tentang sekularisme yang diusung oleh Prancis. Prancis adalah negara yang memiliki sejarah panjang konflik agama, yang mempengaruhi pandangan masyarakatnya terhadap simbol-simbol keagamaan di ruang publik.
Sejak Revolusi Prancis, negara ini mengadopsi prinsip sekularisme yang ketat, yang menekankan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks ini, simbol-simbol agama tidak boleh tampil di ruang publik untuk menghindari konflik dan menjaga netralitas negara.
Namun, penerapan sekularisme ini seringkali dipandang sebagai kontradiktif. Misalnya, sementara dewa-dewi Yunani kuno diizinkan untuk tampil dalam acara pembukaan Olimpiade, simbol-simbol agama lain, seperti hijab atau gambar Yesus, dilarang di ruang publik.
Hal ini memunculkan pertanyaan tentang apakah sekularisme yang diterapkan oleh Prancis benar-benar mendukung keberagaman, atau justru memaksakan pandangan tertentu terhadap seluruh masyarakat.
Identitas Budaya Prancis
Prancis seringkali memandang dirinya sebagai pusat pencerahan dan modernisme. Sejarahnya sebagai negara yang mencetuskan revolusi, ide-ide tentang kebebasan, persaudaraan, dan keadilan, membuat Prancis merasa memiliki tanggung jawab untuk memimpin dalam hal kebebasan dan keberagaman.
Namun, sikap ini juga membawa konsekuensi bahwa Prancis seringkali memaksakan pandangan modern dan liberalnya terhadap orang lain.
Misalnya, dalam acara pembukaan Olimpiade, penekanan pada gender non-biner dan simbol-simbol yang provokatif terhadap kelompok tertentu, seperti komunitas Kristen, menunjukkan bahwa Prancis mungkin tidak sepenuhnya menghormati keberagaman yang seharusnya diakui dalam sebuah acara internasional.
Hal ini menunjukkan bahwa sementara Prancis mengusung nilai-nilai kebebasan, cara penerapannya kadang-kadang terasa memaksakan dan tidak menghargai perspektif budaya dan agama lainnya.
Dilema Imigrasi
Selain itu, Prancis juga menghadapi tantangan besar dalam hal imigrasi. Sebagai negara yang menerima banyak imigran, terutama dari bekas jajahannya di Afrika, Prancis harus menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan tekanan sosial yang ditimbulkan oleh masuknya budaya yang berbeda. Banyak imigran membawa serta tradisi dan kepercayaan yang berbeda, yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai sekularisme Prancis.
Konflik antara penduduk asli Prancis dan komunitas imigran seringkali berujung pada kekerasan dan kerusuhan. Contohnya, insiden penembakan terhadap seorang pemuda Muslim oleh polisi pada tahun 2023 memicu kerusuhan besar yang melumpuhkan negara. Insiden semacam ini menunjukkan betapa rapuhnya keseimbangan antara kebebasan, keamanan, dan keberagaman di Prancis.
Kontroversi pembukaan Olimpiade Paris 2024 mencerminkan kompleksitas dan paradoks dalam pendekatan Prancis terhadap keberagaman dan kebebasan. Di satu sisi, Prancis ingin menampilkan diri sebagai negara yang terbuka dan menerima berbagai pandangan.
Namun, di sisi lain, cara mereka mengekspresikan nilai-nilai tersebut seringkali dianggap memaksakan dan tidak sensitif terhadap keberagaman yang sebenarnya ada.
Sebagai negara dengan sejarah panjang dan kompleks, Prancis menghadapi tantangan besar dalam menavigasi antara identitas nasionalnya yang kuat dan kebutuhan untuk menghargai keberagaman global.
Pembukaan Olimpiade ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi Prancis dan dunia tentang pentingnya memahami dan menghormati perbedaan, serta mencari cara yang lebih inklusif untuk merayakan keberagaman. (*)
Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan