PWMU.CO – Dari 47 kali perhelatan Muktamar yang diselenggarakan Muhammadiyah, 15 orang telah dipercaya duduk sebagai pucuk pimpinan organisasi. Sebutan untuk amanah yang mereka terima pun telah mengalami perubah hingga dua kali.
Awalnya hanya memakai diksi “Ketua” untuk pucuk pimpinan sejak Muhammadiyah pertama kali didirikan hingga tahun 2005, didampingi “Sekretaris dan Wakil Sekretaris” dan para “Wakil Ketua”.
Barulah dalam muktamar ke-45 di Malang (2005), sebutan “Ketua” diganti “Ketua Umum”, “Sekretaris” juga dirubah menjadi “Sekretaris Umum dan Sekretaris” dan “Wakil Ketua” diganti dengan istilah “Ketua”.
(Baca juga: Surakarta, Tuan Rumah Muktamar Muhammadiyah ke-48. Inilah 5 Putusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
Namun, istilah “Ketua Umum”, “Sekretaris Umum” dan “Bendahara Umum” ini hanya berlaku untuk PP Muhammadiyah. Adapun untuk Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM), Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM), hingga Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM), tetap menggunakan istilah “Ketua”. Jajaran lainnya adalah “Wakil Ketua”, “Sekretaris” dan atau “Wakil Sekretaris”, “Bendahara”, tanpa kata “UMUM”.
Sama halnya dengan sebutan Pimpinan Pusat (PP), ia juga mengalami beberapa kali perubahan. Meski punya makna sama dengan Pengurus Besar, Muhammadiyah lebih banyak menggunakan idiom Hoofdbestuur/HB sejak berdiri hingga awal kemerdekaan. HB digunakan dalam permusyawaratan tertinggi Muhammadiyah sejak tahun 1912 hingga 1950.
(Baca juga: Tentang Perubahan Istilah Muktamar Muhammadiyah: Dari Rapat Tahunan, Kongres, ke Muktamar)
Hanya dalam Kongres ke-27 di Malang pada 21-26 Juli 1938, HB diganti dengan Pengurus Besar (PB). PB lantas digunakan dalam Muktamar ke-31 (1950), tapi di muktamar berikutnya yang ke-32 (1953) diganti dengan Pimpinan Pusat (PP). Istilah PP inilah yang kemudian bertahan hingga sekarang.
Di antara para tokoh yang diamanati sebagai Ketua Umum, ada di antaranya yang menyelesaikan tugasnya hingga periode kepemimpinannya habis, tapi ada pula yang mengakhirinya di tengah jalan karena alasan syar’i.
Mereka yang pernah menjadi Ketua (Umum) Muhammadiyah secara berurutan adalah KH. Ahmad Dahlan (1912-1923), KH. Ibrahim (1923-1934), KH. Hisyam (1934-1937), KH. Mas Mansur (1937-1942), Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953), KH. AR Sutan Mansur (1953-1959).
(Baca juga: Grombolan Moehammadijah: Beda Zaman, Beda Rasa. Cerita tentang Dinamika Struktur Ranting Muhammadiyah)
Selain itu juga ada nama KH. M. Yunus Anis (1959-1962), KH. Ahmad Badawi (1962-1968), KH. Faqih Usman (1968). Setelah itu disusul oleh KH. AR. Fakhruddin (1968-1990), KH. Drs. Azhar Basyir, MA (1990-1994), Prof. Dr. H. M. Amien Rais, MA (1994-1998), Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Ma’arif, MA (1998-2005), Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin, MA (2005-2015), dan Dr Haedar Nashir (2015-sekarang). (abqaraya)