Silviyana Anggraeni
Silviyana Anggraeni – APIMU Lamongan
PWMU.CO – Fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang sering kita lihat saat ini, baik itu secara langsung maupun melalui media, bukanlah hal baru. Perilaku menyimpang tersebut sudah ada sejak zaman kenabian dan diawali pada zaman nabi Luth AS bersama umatnya yang bernama kaum sodom.
Kehidupan kaum sodom tersebut banyak dikisahkan dalam Al-Qur’an, salah satunya Qur’an Surah Asy Syu’ara ayat 160 sampai dengan 167 yang artinya: “Kaum Luth telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka, “Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul terpercaya (yang diutus) kepadamu. Maka, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas (ajakan) itu. imbalanku tidak lain hanyalah dari tuhan semesta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia (berbuat homoseks)? Sementara itu, kamu tinggalkan (perempuan) yang diciptakan Tuhan untuk menjadi istri-istrimu? Kamu (memang) kaum yang melampaui batas.” Mereka menjawab, “Wahai Luth, jika tidak berhenti (melarang kami), niscaya engkau benar-benar akan termasuk orang-orang yang diusir.”
Dikisahkan juga saat para malaikat datang kepada luth dengan menyamar sebagai lelaki tampan yang tertulis dalam Qur’an Surah Hud ayat 77 sampai ayat 81 yang artinya “Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Lut, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata, “Ini adalah hari yang amat sulit.” Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas.
Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata, “Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagi kalian. Maka bertakwalah kepada Allah, dan janganlah kalian mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antara kalian seorang yang berakal?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.”
Sampai dengan kisah saat kaum sodom mendapatkan azab dari Allah SWT yang diabadikan pula dalam Qur’an Surah Al-Qamar ayat 33 sampai ayat 39 yang artinya “Kaum Luth pun telah mendustakan ancaman-ancaman (nabinya). Sesungguhnya, Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga Luth. Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing. Sebagai nikmat dari kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Dan, sesungguhnya dia (Luth) telah memperingatkan mereka akan azab-azab Kami.
Maka, mereka mendustakan ancaman-ancaman itu. Dan, sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka. Maka, rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Dan, sesungguhnya pada esok harinya, mereka ditimpa azab yang kekal. Maka, rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.”
Dari kisah nabi luth dan kaum sodom tersebut tentu kita telah mengambil kesimpulan bahwa perilaku menyimpang yang dilakukan kaum sodom adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah, bahkan tak segan-segan Allah menimpah kan azab yang pedih setelah seruan nabi luth tidak digubris yakni azab longsor dan hujan batu. Yang mana selain Nabi Luth dan keluarganya (kecuali istrinya yang telah berkhianat) tidak ada yang selamat dalam azab tersebut.
Pertanyaannya, apakah setelah Allah timpah kan azab kepada kaum sodom lantas penyimpangan tersebut sudah hilang. Tentu jawabannya belum, bahkan perilaku tersebut sekarang sudah menjadi tren di dunia, banyak pula yang menganggap jika perilaku LGBT adalah hak atas kebebasan sebagai individu.
Kampanye-kampanye perilaku LGBT semakin marak, masiv dan mudah di akses siapapun. Melalui media sosial pelaku LGBT tanpa rasa malu menunjukan jati diri mereka kepada publik bahkan mencari pembenaran dan legalitas atas pilihan hidup mereka.
Seperti yang kita tahu tidak semua orang dapat memfilter apa yang telah di lihatnya, terutama pada anak-anak. Mereka sebagai makhluk yang masih polos tentu akan cenderung mencontoh atau paling tidak dalam benak mereka akan menganggap bahwa LGBT adalah perilaku yang normal dan wajar. Lalu lambat laun kelaziman tersebut di tiru oleh anak-anak. Anak laki-laki bergaya seperti perempuan (kemayu) atau sebaliknya perempuan bergaya seperti laki-lak (maskulin).
Saat ini pasangan LGBT yang viral di media sosial diantaranya adalah Ragil seorang laki-laki WNI yang tinggal dan bekerja di jerman, lalu menikah dengan seorang WNA bernama Frederik Vollert yang juga seorang laki-laki. Jika kita telusuri di akun medsos miliknya, sebenarnya Ragil sudah bergaya kemayu sejak di usia sekolah, terlihat dia juga lebih banyak bermain dengan anak perempuan dan melakukan aktifitas yang biasa dilakukan siswi perempuan seperti mengikuti ekstrakurikuler menari.
Ada juga pasangan viral lainnya yaitu Nia dan Bimo, mereka adalah suami istri tetapi sering di anggap gay dikarenakan Nia (istri) gaya penampilannya seperti laki-laki. Bukan tanpa sebab Nia berpenampilan demikian, singkat cerita Nia adalah seorang perempuan yang pernah menjadi korban pemerkosaan, hal itu membuatnya trauma dan merasa takut dengan laki-lagi, Nia sempat menjadi lesbian dan bergaya maskulin. Di tengah perjalannya menjadi lesbian bertemulah dia dengan Bimo seorang laki-laki yang perlahan mampu menghilangkan traumanya dan menikahinya.
Menurut ilmu psikologi, faktor seseorang menjadi LGBT ada tiga. Yang pertama adalah faktor genetik. Faktor ini terjadi saat anak berada di usia pubertas yang mana terjadinya jumlah hormon yang tidak seimbang, jika dalam masa ini anak tidak di arahkan pada hal yang semestinya, bisa jadi menjadi kecenderungan bahkan mendominasi, misal Ragil saat pubertas tetapi lebih sering berteman dengan perempuan dan melakukan aktifitas perempuan.
Faktor kedua adalah lingkungan. Banyak sekali alasan para LGBT menjadi demikian karena bergaul dengan teman yang salah, kondisi keluarga yang tidak harmonis dan mendukung. Faktor ketiga adalah pengalaman traumatis contohnya seperti yang dialami oleh Nia yakni mengalami kekerasan seksual atau sexual abuse. Dari pemerkosaan itu akhirnya Nia merasa tidak nyaman, merasa takut dengan lawan jenis. Dan memilih beralih pada sesama jenis.
Namun sebagai orang yang beriman sudah sepatutnya kita menanamkan pada benak anak-anak atau orang sekeliling kita bahkan diri kita sendiri bahwa apapun alasannya perilaku LGBT adalah perilaku yang di benci oleh Allah. Allah sangat murka kepada orang yang menyimpang dari kodratnya, bahkan Allah tak segan memberikan azab pada pelakunya seperti yang pernah Allah timpah kan pada umat Nabi Luth yakni kaum sodom.
Selain itu perilaku LGBT pada akhirnya berakibat sangat buruk pada kesehatan fisik seseorang. Seperti yang kita tahu penyakit HIV/Aids, dimana penyakit tersebut biasanya ada dan menular melalui cara berhubungan seksual yang salah. Naudzubillah.
Sebagai orang tua yang merasa khawatir pada masa depan anak-anaknya, sudah sepatutnya kita melakukan berbagai cara pencegahan agar anak-anak kita tidak terpapar penyakit sosial LGBT tersebut. Ada tujuh langkah pencegahan yang bisa dilakukan menurut penalaran penulis sebagai pemerhati sekaligus orang tua. Yang pertama menanamkan ilmu agama khususnya ketauhidan pada anak. Yang kedua berikan kasih sayang penuh pada anak agar anak merasa cukup dan tidak mudah terpedaya dengan orang luar.
yang ketiga mainkan peran sebagai ayah dan ibu (gender) sebaik mungkin agar anak memiliki figur untuk di contoh. Keempat berikan pembelajaran tentang seksual sejak dini agar anak mengerti batasan-batasan atas tubuhnya. Kelima pilihkan lingkungan dan pertemanan yang baik bagi anak. Keenam pantau aktifitas media sosial anak agar terhindar dari tontonan dan bacaan yang berbau kampanye LGBT. Ketujuh terus berdoa memohon perlindungan atas anak kepada Allah SWT.
Editor Teguh Imami