PWMU.CO – Penentuan awal bulan dalam penanggalan Hijriah selama ini masih mengandalkan visibilitas atau tampaknya hilal yang bersifat lokal. Ketika hilal tampak di suatu wilayah, maka bulan baru dinyatakan dimulai.
Namun, pendekatan seperti ini menghadapi berbagai masalah karena terbatasnya pengamatan dan kondisi geografis yang berbeda-beda.
Seiring perkembangan ilmu astronomi, semakin jelas jika penentuan awal bulan Hijriah seharusnya berdasarkan fase astronomis bulan yang bersifat global, bukan hanya bersifat lokal dan terbatas dalam satu daerah saja.
Fase-fase bulan merupakan fenomena global yang tidak bergantung pada lokasi geografis atau rotasi bumi. Bulan mengelilingi bumi dengan konsisten dalam sklus sinodis, yang artinya fase-fase bulan (termasuk hilal) terjadi serentak di seluruh dunia.
Ini artinya kapan pun ijtimak atau fase bulan baru terjadi, fase itu dialami oleh seluruh permukaan bumi di waktu yang bersamaan. Berarti, fase astronomis bulan tidak tergantung pada terlihat atau tidaknya hilal di sauatu tempat, tetapi pada posisi bulan dalam orbitnya.
Sebaliknya, visibilitas hilal adalah fenomena lokal yang dipengaruhi oleh rotasi Bumi. Hilal hanya bisa dilihat jika berada di atas ufuk pada saat matahari terbenam. Di beberapa tempat, hilal mungkin tidak tampak karena berada di bawah ufuk, meskipun secara astronomis hilal tersebut sudah ada dan fase bulan sedang bertambah besar.
Misalnya, hilal yang terlihat di Eropa bisa tidak terlihat di Jakarta pada waktu yang sama karena perbedaan posisi geografis dan waktu matahari terbenam. Namun, secara global, bulan berada dalam fase yang sama, dan hilal tersebut sebenarnya sudah ada di seluruh dunia.
Dalam sains, ijtimak dianggap sebagai titik nol, di mana fase bulan pamungkas berakhir dan fase baru dimulai. Meskipun hilal mungkin belum terlihat segera setelah ijtimak, bulan terus mengelilingi Bumi dan fase bulan bertambah besar dari detik ke detik.
Oleh karena itu, bahkan jika hilal berada di bawah ufuk di suatu wilayah, hilal tersebut sudah mulai membesar secara fisik. Fakta bahwa hilal tersebut tidak terlihat di suatu tempat karena ketinggian yang rendah tidak berarti hilal itu tidak ada. Hal ini menimbulkan masalah besar dalam penentuan awal bulan Hijriah yang hanya mengandalkan visibilitas hilal.
Berdasarkan prinsip-prinsip astronomi ini, penentuan awal bulan Hijriah seharusnya didasarkan pada fase bulan secara global, bukan visibilitas lokal. Sistem ini akan memastikan bahwa penentuan bulan baru berlaku secara konsisten di seluruh dunia, tanpa dipengaruhi oleh perbedaan waktu dan lokasi geografis.
Kalender Hijriah yang menggunakan pendekatan global ini akan memberikan keadilan dan kepastian bagi seluruh umat Islam, menghilangkan perbedaan penentuan awal bulan di berbagai negara dan wilayah.
Dengan memanfaatkan data astronomis yang akurat, umat Islam bisa menentukan awal bulan Hijriah secara lebih ilmiah dan sesuai dengan perkembangan teknologi. Hal ini akan menghindari kebingungan yang sering terjadi saat hilal tidak terlihat di beberapa tempat, sementara di tempat lain hilal sudah tampak.
Penetapan awal bulan berdasarkan perhitungan fase astronomis bulan juga selaras dengan tujuan syariat, yaitu mempermudah umat dalam menjalankan ibadah tanpa menimbulkan perbedaan yang tidak perlu.
Dengan begitu, pendekatan berbasis fase bulan global ini bukan hanya lebih sesuai dengan sains, tetapi juga lebih rasional dan adil untuk diterapkan di seluruh dunia. (*)
Referensi
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Materi Musyawarah Nasional Tarjih: Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT), Pekalongan, 2024.
Penulis Wildan Nanda Rahmatullah Editor Syahroni Nur Wachid