PWMU.CO – Kalau yang bingung saya paling—paling urusan pegadaian sudah jatuh tempo. Dampaknya sangat kecil. Paling-paling istri ikut ngelu bin sumpek. Konteksnya hanya sekitar ekonomi dapur. Berbeda kalau yang bingung presiden. Maknanya mesti dalam. Dampaknya sangat luas. Menjadi bingung nasional.
Hal ihwal bingungnya Presiden Jokowi itu diungkap Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo di gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat (6/10).
BACA: Anwar Hudijono: Menakar Djarot
Ihwal bingungnya Presiden bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang Mendagri memapras 3000 peraturan daerah. Padahal rata-rata perda itu bermasalah. Termasuk menghambat proses pembangunan, mengganggu efektivitas birokrasi, bahkan membahayakan integrasi bangsa.
Kasus itu menunjukkan betapa saat ini kekuasaan presiden tidak lagi powerful. Mau mengangkat dan memberhentikan menteri pun harus konsultasi dan mendapat persetujuan secara informal partai politik, khususnya pengusungnya. Meskipun itu hak prerogatif. Mau mengangkat Panglima TNI harus disetujui DPR mesti posisinya sebagai panglima tertinggi. Mau mengangkat dan memberhentikan Kapolri pun harus disetujui DPR.
Presiden tidak punya kewenangan memecat gubernur atau bupati/wali kota yang bisa saja tidak sejalan dengan kebijakannya, atau bahkan mbalelo.
Masih beruntung di DPR Jokowi mendapat dukungan mayoritas. Coba kalau saja minoritas pasti jauh lebih rentan, lemah. Sedikit-sedikit diserimpung seperti Presiden Gus Dur. Jika itu yang terjadi maka tidak lebih dari berdiri di ujung duri.
Memang kita tidak ingin powerful yang dimiliki presiden tidak terkontrol. Tetapi kefungsian presiden yang lemah juga tidak menguntungkan manajemen negara dan pemerintahan. Apalagi untuk Indonesia yang sangat plural dilihat dari perspektif apapun, mulai etnis, agama, geogrfis, sosial-ekonomis, aspirasi, tingkat pendidikan dsb.
Para founding fathers Indonesia mafhum betul pluralitas Indonesia. Maka memberi kefungsian Presiden yang powerful dengan tetap dikontrol oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan DPR. Ketika hendak dicoba dengan demokrasi liberal melalui sistem parlementer di tahun 1950-an, pemerintahan tidak efektif. Parlemen gegeran tidak henti-hentinya. Kabinet jatuh bangun. Separatisme merajalela. Rakyat kapiran.
Perlunya presiden yang powerful disadari Bung Karno. Untuk itulah dia mengembangkan Demokrasi Terpimpin. Pola ini tidak bertahan lama karena Bung Karno dilengserkan.
Pak Harto mengembangkan Golkar sebagai pemegang power utama dengan istilah single majority. Menyederhanakan partai dari 10 menjadi tiga. Terbukti negara mengalami stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang bagus.
Kiranya patut dipikirkan untuk mengevaluasi secara mendalam sistem ketatanegaraan kita setelah kefungsian presiden mengalami powerless. Harus ada kekuatan powerful entah itu mengerucut pada lembaga kepresiden atau kepada partai. Di RRT Partai Komunis Tiongkok menjadi penyangga kekuatan powerful negara. Di Iran powerful di bahu Wali Al Faqih. Di negara-negara kerajaan seperti Ara Saudi tentu saja pada raja.
Kita perlu belajar negara-negara yang kekuatan kekuasaannya diserpih-serpih seperti Irak, Libya, Tunisia, atau Pakistan cenderung semakin berantakan. Allahu a’lam bissawab. (*)