Keterbatasan dan treatment ini juga dialami oleh indra yang lainnya baik itu pendengaran, penciuman, perabaan, pengecapan. Untuk bisa mendengar suara yang berada di bawah atau di atas standar kemampuan pendengaran juga dilakukan dengan perlengkapan yang memadai.
Untuk mendeteksi suara yang berada di bawah maupun di atas ambang batas pendengaran manusia, ada beberapa alat yang umum digunakan alat seperti Mikrofon Ultrasonik untuk mendeteksi frekuensi di atas 20 KHz, yang sering disebut sebagai suara ultrasonik untuk memantau suara kelelawar, memeriksa getaran mesin, dsb.
Mikrofon Infrasonik digunakan untuk menangkap suara dengan frekuensi di bawah 20 Hz yang dikenal sebagai infrasonik untuk mendeteksi aktivitas seismik, tsunami, aktivitas vulkanik, dan lainnya yang menghasilkan suara infrasonik.
Berikutnya ada Hydrophone, merupakan mikrofon khusus untuk mendeteksi suara di bawah air, yang bisa berada di luar jangkauan pendengaran manusia.
Alat ini sangat penting dalam oseanografi, misalnya, untuk mendeteksi suara ikan paus atau suara bawah laut lain. Dan alat bantu indra lainnya.
Indra sendirian tidak akan mampu untuk menangkap realitas sesuatu yang melebihi batas indra, baik batas atas maupun batas bawahnya.
Namun rasa ingin tahu yang tinggi mendorong seseorang untuk mengungkap lebih dari sekedar apa yang nampak itu, bahkan di balik itu.
Rasa ingin tahu manusia mendorongnya untuk menyingkap “tabir” yang menyelubungi realitas (tabir ini terbentuk karena keterbatasan indranya).
Namun dengan akalnya yang dibantu dengan berbagai pengalaman indrawinya, manusia kemudian menemukan cara dan membangun alat sebagai usaha untuk mengetahui informasi yang melekat pada objek secara mendetail, dan seolah membuka tabir benda untuk kemudian menemukan hakikat dari realitas yang dihadapinya.
Dalam konteks ini, akal memiliki peran yang sangat signifikan untuk mengungkap berbagai hal yang menjadi tabir misteri pengetahuan yang disebabkan oleh keterbatasan indra.
Dengan akalnya manusia dapat mencetuskan ide atau gagasan untuk bisa “ngakali” dan juga “getting around the system” atas keterbatasan yang dimiliki indra untuk dapat menangkap objek misterius dimaksud. Dengan akalnya, maka ditemukanlah berbagai alat bantu penglihatan (teleskop, mikroskop, radar), pendengaran (stetoskop), pemindaian (sonar), dan sebagainya yang menjadi bekal manusia untuk mengungkap, menyingkap, realitas atau hakikatnya yang informasi tersebut kemudian diolah oleh institusi akal.
Akal memang memiliki cara kerja yang unik, yang sangat berbeda dengan indra. Indra bekerja di ranah konkret yang fenomenal, sedangkan akal bekerja di ranah abstrak-intelektual.
Cara kerja akal dapat dipahami melalui lima kategori utama: kausalitas, kuantitas, kualitas, probabilitas, dan modalitas. Secara keseluruhan, berbagai kategori tersebut menjadi dasar bagi terbentuknya penalaran dalam diri manusia, yakni penarikan kesimpulan melalui cara yang logis, menggunakan konstruksi logika atau ilmu mantiq.
Penalaran ini dimiliki setiap manusia yang berakal. Ini memungkinkan orang untuk memiliki pemahaman atau pemikiran yang sama.
Sesuatu yang disepakati bersama sebagai masuk akal. Hingga, lebih jauh, orang membuat standar kewarasan seseorang.
Foucault dalam Madness and Civilization (1961) mengungkap bahwa suatu ketika kewarasan ini menjadi standar suatu kaum yang membedakan antara orang yang waras (rasional) dengan orang gila (irrasional).
Secara operasional, akal manusia bekerja menurut kategori kausalitas yakni hubungan sebab-akibat. Hubungan ini menentukan bagaimana satu peristiwa atau tindakan menyebabkan peristiwa atau tindakan lain.
Akal bekerja cenderung mengurutkan terjadinya suatu peristiwa yang menjadi konstruksi logika formal. Sedangkan urutan kejadian yang ajeg atau konsisten ini kemudian menjadi dasar logika material.
Kausalitas ini memberikan fungsi penjelasan dan prediksi. Yakni menjelaskan alasan terjadinya sesuatu dan memprediksi kemungkinan yang terjadi selanjutnya berdasarkan penjelasan tersebut.
Ini bisa dijadikan sebagai penyelesaian masalah dengan menganalisis akar masalah dan mengembangkan solusi dengan mengidentifikasi penyebab utama.
Dari kategori kuantitas, akal kemudian memiliki kemampuan untuk melakukan pengukuran dan perbandingan, yakni mengukur, menghitung, dan memperkirakan jumlah atau ukuran.
Dengan ini manusia memiliki kemampuan yang disebut prinsip prinsip logika dan matematika berdasarkan pada konsep kuantitas. Disamping kuantitas, ada kategori kualitas.
Dengan kemampuan kategori kualitas ini, maka manusia memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian sifat yakni menilai sifat atau karakteristik dari objek atau fenomena.
Selain itu dengan kategori kualitas, maka akal memiliki kemampuan untuk mengklasifikasikan dan mengategorikan objek atau ide berdasarkan atribut spesifik.
Pada kategori probabilitas, dengan ini akal memiliki kemampuan untuk pengambilan keputusan. Dalam hal ini manusia bisa menilai risiko dan membuat keputusan berdasarkan kemungkinan hasil.
Secara langsung juga, akal memiliki kemampuan untuk membuat prediksi dan perencanaan tindakan berdasarkan informasi yang tersedia.
Pada kategori modalitas, manusia mampu melakukan penilaian kemungkinan dan keharusan. Yakni menilai apakah sesuatu itu mungkin, nyata, atau perlu dilakukan.
Dengan demikian bisa melakukan evaluasi skenario, mengevaluasi berbagai skenario dan kemungkinan, memungkinkan kontingensi dan rencana alternatif.
Secara keseluruhan, akal memiliki cara kerja yang khas. Cara kerja tersebut yakni melakukan:
- Organisasi informasi, mengorganisasi informasi yang diterima dari lingkungan, memudahkan untuk diproses dan dipahami.
- Pembuatan Argumen, menggunakan kategori-kategori ini untuk mendukung premis dan menarik kesimpulan yang valid.
- Analitis Kritis, memungkinkan analisis kritis dari situasi atau masalah, membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang relevan dan mengevaluasi bukti.
Dengan berbagai features yang dimiliki akal tersebut, maka akal menjadi pelengkap atas indra yang terbatas dalam mencerap realitas.
Sebagian orang ada yang meyakini dan hanya menerima indra sebagai sumber kebenaran, di luar apa yang ditangkap indra adalah tidak ada.
Mereka tergolong dalam kelompok berpaham empirisme. Sedangkan mereka yang meyakini akal sebagai sumber kebenaran, mengelompok dalam paham rasionalisme: yang irasional adalah tidak benar. Dan ada juga yang menerima keduanya.
Namun, dalam konteks ini, Islam memiliki pandangannya sendiri. Dalam Islam, antara indra dan akal memiliki fungsi masing-masing yang keduanya tidak bisa dipisahkan bahkan diperhadap-hadapkan karena keduanya saling melengkapi. Namun tidak hanya berhenti disini, masih ada kelanjutannya.
Dalam al-Quran, banyak ayat yang mendorong manusia untuk menggunakan akal (misalnya, dalam QS Yunus: 100, Al-Ankabut: 43). Akal dianggap sebagai sarana bagi manusia untuk memahami kebesaran Allah dan beriman kepada-Nya.
Akal dianggap sebagai salah satu anugerah terbesar yang Allah, sebagai pencipta segala sesuatu, anugerahkan kepada manusia.
Disinilah letak krusial antara Islam dengan kaum atheis yang meyakini kebenaran empirisme dan atau rasionalisme secara mutlak, bahkan dijadikan sebagai sumber pengetahuan.
Keyakinan Ini membatasi “dunia” atheis hanya pada ranah duniawi. Islam mengarahkan manusia bahwa indra dan akal hanya berfungsi sebagai sarana, bukan tujuan atau pun sumber dari kebenaran.
Meski akal memiliki kemampuan besar, dalam Islam diyakini bahwa akal memiliki keterbatasan dan memerlukan wahyu untuk mencapai pemahaman yang benar tentang hal-hal ghaib atau yang metafisik.
Dalam hal ini, di dalam al-Quran surat al-Alaq disebutkan bahwa indra dan akal manusia menjadi mekanisme untuk melakukan “Iqra” yakni pembacaan atau observasi atas realitas dan juga melakukan analisis darinya yang kemudian digunakan untuk menyingkap, mengungkap tabir dari Realitas sebenarnya yakni Allah Swt.
Karena segala sesuatu yang ada di dunia ini sangat tergantung eksistensinya kepada Allah Swt. Iqra ini juga selanjutnya digunakan oleh orang beriman untuk memahami ajaran agama, mengenal tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta, dan membedakan kebaikan dari keburukan.
Salah satu aspek yang kemudian ditekankan oleh Islam adalah kaitannya dengan hati (Qalbu). Dalam Islam, akal sering kali tidak dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari hati atau qalbu.
Qalbu inilah yang menjadi sarana spiritualitas Islam. Banyak ayat dalam al-Quran menyebutkan fungsi hati yang “memahami” (lihat QS Al-Hajj: 46), yang menunjukkan bahwa akal dan hati memiliki hubungan erat dalam memahami dan menerima kebenaran yang sejati, Allah Swt.
Penggunaan akal untuk merenungkan alam semesta, hukum-hukum Allah, dan ajaran Islam dianggap sebagai bentuk ibadah. Al-Quran secara berulang-ulang mendorong manusia untuk berpikir dan merenung sebagai sarana untuk memahami kebesaran Allah (lihat QS Yunus: 100 dan al-Baqarah: 164).
Dalam Islam, indra dan akal adalah alat yang memungkinkan manusia untuk menjalani kehidupan yang bermakna dengan pengetahuan, termasuk sains; memperdalam iman, dan mengarahkan kehidupan sesuai dengan kehendak Allah.
Manfaat akal sangat beragam, mulai dari mengenal Allah hingga membantu menjalankan peran sebagai khalifah di bumi. Namun, Islam juga mengajarkan bahwa akal memiliki keterbatasan, dan untuk mencapai kebenaran sejati, akal harus dipandu oleh qalbu yang menerima wahyu dari Allah melalui RasulNya.
Indra dan akal bisa menjadi sarana untuk menyingkap tabir yang menutupi realitas sejati, Allah Swt.
Lantas, dengan qalbu maka hamba dan Khaliq berkomunikasi melalui penerimaan firasat atau ilham. Qalbu ini diasah dengan senantiasa mengingat diriNya seperti yang diajarkan melalui RasulNya.
Wallahu’alam bi shawab.
Referensi:
Al-Quranul Karim
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993.
Al-Ghazali. Ihya Ulum al-Din [The Revival of the Religious Sciences]. Jeddah: Dar al-Minhaj, 2004.
Bear, Mark F., Barry W. Connors, and Michael A. Paradiso. Neuroscience: Exploring the Brain. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2015.
Descartes, René. Meditations on First Philosophy. Translated by John Cottingham. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
Foucault, Michel. Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason. Translated by Richard Howard. New York: Vintage Books, 2006.
Gazzaniga, Michael S., Richard B. Ivry, and George R. Mangun. Cognitive Neuroscience: The Biology of the Mind. 5th ed. New York: W. W. Norton & Company, 2018.
Ibn Sina (Avicenna). The Metaphysics of Healing [Al-Ilahiyat min al-Shifa]. Translated by Michael E. Marmura. Provo, UT: Brigham Young University Press, 1984.
Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason. Translated by Norman Kemp Smith. New York: St. Martin’s Press, 1965.
Land, Michael F., and Dan-Eric Nilsson. Animal Eyes. 2nd ed. Oxford: Oxford University Press, 2012.
Nasr, Seyyed Hossein. The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. San Francisco: HarperSanFrancisco, 2002.
Sternberg, Robert J. Cognitive Psychology. 6th ed. Boston: Cengage Learning, 2009. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah