Oleh Zainul Muslimin Bendahara PWM Jatim
PWMU.CO – Di tengah dinamika kehidupan yang semakin kompleks, peran amil dalam lembaga zakat seperti LAZISMU menjadi sangat krusial.
Tugas mereka bukan sekadar mengelola dana zakat, infak, dan sedekah, tetapi juga menyentuh sisi-sisi kemanusiaan yang sering kali penuh dengan ujian.
Untuk menjalankan tugas tersebut dengan baik, para amil tidak cukup hanya memiliki keahlian administratif atau kemampuan teknis. Mereka harus dibekali empati yang mendalam dan resiliensi yang kuat.
Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Lebih dari itu, empati melibatkan kepekaan hati yang mendorong seseorang untuk bertindak membantu, memberikan solusi, atau setidaknya meringankan beban pihak lain. Empati berbeda dengan simpati.
Simpati muncul dari ego—hanya sekadar rasa kasihan tanpa tindak lanjut yang nyata. Sebaliknya, empati berasal dari hati yang tulus, mampu menggerakkan seseorang untuk benar-benar terlibat dalam persoalan yang dihadapi orang lain.
Bagi para amil, empati adalah modal utama. Setiap hari, mereka dihadapkan pada berbagai permasalahan masyarakat yang mendesak, bahkan sering kali berada pada kondisi yang ekstrem.
Mulai dari membantu masyarakat yang terjerat kemiskinan, menangani korban bencana alam, hingga menyelesaikan persoalan-persoalan sosial lainnya yang membutuhkan perhatian dan solusi cepat.
Di sinilah empati memainkan peran penting. Seorang amil dengan empati yang tinggi tidak hanya mampu memahami situasi, tetapi juga memberikan energi positif untuk menghadirkan solusi yang tepat sasaran.
Empati dan Kinerja Amil
Empati yang kuat tidak hanya berdampak pada masyarakat yang dilayani, tetapi juga pada kinerja para amil itu sendiri.
Ketika empati menjadi bagian dari karakter seorang amil, tugas yang dijalankan tidak lagi terasa sebagai beban, melainkan sebagai panggilan hati.
Hal ini akan mendorong mereka untuk bekerja dengan sepenuh hati, bahkan dalam situasi yang penuh tekanan sekalipun.
Sebagai contoh, seorang amil yang memiliki empati tinggi akan lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
Mereka tidak sekadar menyalurkan bantuan, tetapi juga memastikan bahwa bantuan tersebut benar-benar bermanfaat bagi penerima.
Dalam jangka panjang, empati yang kuat akan menciptakan budaya kerja yang profesional, berorientasi pada manfaat, dan mampu menghadirkan keberkahan yang luas bagi masyarakat.
Resiliensi: Ketangguhan Seorang Amil
Selain empati, resiliensi atau ketangguhan mental juga menjadi aspek penting dalam menjalankan tugas sebagai amil.
Resiliensi adalah kemampuan untuk tetap kuat, lentur, dan tidak mudah patah meskipun menghadapi berbagai tantangan yang berat.
Bagi para amil, resiliensi ini menjadi bekal utama untuk menghadapi kompleksitas tugas yang penuh tekanan.
Kisah teladan tentang empati dan resiliensi dapat kita temukan dalam sejarah Islam, salah satunya pada kehidupan sahabat Anshar dan Muhajirin.
Allah SWT menunjukkan kepada kita bagaimana kuatnya rasa empati di antara mereka. Para sahabat Anshar dengan penuh keikhlasan membantu saudara mereka dari kalangan Muhajirin, bahkan mendahulukan kebutuhan saudaranya meskipun mereka sendiri dalam kondisi kekurangan.
Semangat saling membantu ini lahir dari iman yang kokoh, yang menjadi dasar bagi lahirnya empati tulus dan daya tahan luar biasa.
Mengokohkan Iman untuk Membangun Profesionalitas
Dari kisah tersebut, kita dapat mengambil pelajaran bahwa empati dan resiliensi seorang amil tidak dapat dipisahkan dari kekuatan iman.
Amil yang memiliki iman yang kokoh akan menjalankan tugasnya dengan penuh kesungguhan, karena mereka menyadari bahwa tugas tersebut bukan semata pekerjaan, melainkan bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Maka, membangun profesionalitas amil di LAZISMU tidak bisa dilepaskan dari upaya memperkuat keimanan mereka.
Upaya ini harus dilakukan secara terencana dan terukur, misalnya dengan memastikan para amil menjalankan ibadah dengan baik dan konsisten.
Salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan adalah menerapkan sistem pemantauan ibadah bagi para amil.
Dengan adanya penilaian yang terukur, setiap amil didorong untuk menjaga kualitas ibadah mereka, baik dalam hal salat, puasa, maupun amalan lainnya.
Menuju Amil yang Tangguh dan Profesional
Menjadi seorang amil adalah tugas mulia yang penuh tantangan. Dibutuhkan keseimbangan antara kemampuan teknis, kepekaan emosional, dan kekuatan spiritual.
Dengan membangun empati dan resiliensi, para amil tidak hanya mampu menyelesaikan tugas-tugas mereka dengan baik, tetapi juga menjadi teladan bagi masyarakat.
Bagi para amil di LAZISMU, jadikanlah empati dan resiliensi sebagai bagian dari identitas diri. Dengan empati, Anda dapat menghadirkan solusi nyata bagi masyarakat.
Dengan resiliensi, Anda dapat bertahan menghadapi berbagai tantangan dengan kepala tegak. Dan dengan iman yang kokoh, Anda dapat menjadikan setiap langkah sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Tetaplah semangat dalam menjalankan tugas mulia ini. Jadikan setiap tantangan sebagai peluang untuk belajar dan berkontribusi lebih baik.
Bismillah, mari kita bersama-sama bergerak menuju perubahan yang lebih baik, demi keberkahan umat dan ridha Allah SWT.
Editor Syahroni Nur Wachid