Penulis Silviyana Anggraeni – Aliansi Penulis Muhammadiyah Lamongan
PWMU.CO – Siapa yang tidak kenal dengan Muhammadiyah? Organisasi Islam reformis-modernis terbesar di Indonesia dan terkaya di dunia ini? Ada 3 (tiga) ranah yang membuat Muhammadiyah menjadi popler, yaitu: ranah pendidikan (schooling), ranah kesehatan (healing), dan ranah sosial (feeding). Meski di era mendatang bukan tidak mungkin Muhammadiyah untuk merambah ranah ekonomi, transportasi, maupun teknologi sebagai bagian dari pengembangan aktivitasnya.
Melalui 3 ranah aktivitas tersebut, kekayaan Muhammadiyah diperkirakan mencapai nominal 400 triliun rupiah. Kekayaan itu berupa aset tanah, bangunan dan kendaraan. Semua aset tersebut beratas nama Muhammadiyah, bukan nama perorangan. Sehingga segala potensi ekonomi yang dihasilkan oleh Muhammadiyah akan kembali kepada Muhammadiyah, dan berguna untuk kepentingan umat dan bangsa.
Menelisik jejak gerakan Muhammadiyah sejak Indonesia belum Merdeka hingga saat ini, peran Muhammadiyah dalam pembangunan bangsa Indonesia tidak meragukan lagi. Muhammadiyah tidak pernah mencari belas kasihan dari pemerintahan Sebaliknya Muhammadiyah menjadi organisasi yang mandiri dalam melakukan visi misi kemanusiannya. Atas dasar itu maka Muhammadiyah relatif cukup segani dan dihormati, termasuk oleh pemerintah maupun organisasi lain. Tentu kehebatan Muhammadiyah ini tidak lepas dari hasil pemikiran dan perjuangan Founding Fathers KH Ahmad Dahlan.
Menjadikan Quran Surat (QS) al Maun dan al ‘Asr sebagai spirit gerakan, Muhammadiyah mampu eksis hingga kini. Al Maun menjadi landasan lahirnya etos sosial. Melalui al Maun, terbangun kesadaran bahwa ibadah ritual (seperti: sholat, puasa dan haji) tidak ada maknanya jika tidak diaktualisasikan melakukan ibadah sosial. KH Ahmad Dahlan, berhasil menterjemahkan Teologi al Maun menjadi gerakan yang mampu membebaskan kaum lemah dari ketertindasan. Mereka yang semula tidak terdidik menjadi terdidik, yang sakit bisa mendapatkan akses kesehatan, dan yang miskin pun memperoleh santunan.
Teologi al Maun
Al kisah, suatu Ketika Kiai Dahlan mengajarkan al Maun selama tiga bulan berturut-turut pada para santrinya. Akibatnya, para santri itu pun bosan, dan timbul kenekatan untuk menanyakan kepada sang kiai tentang apa maksudnya dari semua itu.
Bukannya mendapat jawaban yang memuaskan dari sang kiai, justru pertanyaan balik yang mereka dapatkan.
“Sudahkah kalian mempraktikkan dari yang kalian baca (QS al Maun)?” Sontak para santri itupun merasa malu, karena belum mempraktikkan satupun kandungan QS al Maun. Berikutnya Kiai Dahlan pun mengajak mereka keluar dari surau dengan tujuan untuk menyantuni orang-orang lemah dengan apa pun yang mereka punyai saat itu.
Kyai Dahlan menyadari bahwa cukup banyak orang-orang yang “saleh secara ritual” tetapi belum “saleh secara sosial”. Berkali-kali mereka menunaikan ibadah haji — meski biayanya tidak murah — tetapi relatif ‘pelit’ mengeluarkan hartanya untuk menolong orang-orang miskin yang membutuhkan.
Spirit al ‘Asr
Selain alMaun, Kiai Dahlan juga mengajarkan kandungan QS al ‘Asr kepada santri-santrinya. Bukan 3 bulan sebagaimana saat mengajarkan QS al Maun, tetapi sampai 8 (delapan) bulan secara berturut-turut. Kiai Dahlan pun mendapatkan julukan Kiai Ngasri.
Al ‘Asr merupakan surat terpendek di dalam Al-Qur’an (tiga ayat). Tetapi memiliki kandungan makna yang dalam. QS ini berbicara tentang dimensi waktu. Pesan tersiratnya, siapapun akan merugi ketika menyia-nyiakan waktu. Siapapun akan merugi jika siapapun yang memiliki waktu tapi tidak memanfaatkan 6untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar. Al Asr yang berasal dari kata ashariyah memiliki arti kemodernan. Itulah kiranya cikal bakal pemikiran Kiai Dahlan menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan yang mencerahkan dan berkemajuan.
Pengajaran yang tidak tergesa-gesa yang disertai dengan praktek. Kiai Dahlan melakukan itu beserta santrinya dengan maksud agar tidak menyalahi perintah Allah, sebagaimana dalam QS an-Nisa’ ayat 82 yang artinya “Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur’an? Sekiranya (Al-Qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya“. Juga dalam QS Muhammad ayat 24 yang artinya “Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur’an, ataukah hati mereka sudah terkunci?“.
Terdapat kata yang sama pada kedua ayat tersebut, menghayati. Secara etimologi menghayati artinya mengalami dan merasakan di batin. Seseorang yang mempelajari ayat Al-Qur’an harus melakukan apa yang Allah perintahkan dengan hati yang ikhlas dan penuh kesadaran. Itulah yang dimaksud sebagai penghayatan.
Jika dalam Teologi al Maun kesalehan ritual tidak berguna jika tidak dibarengi dengan kesholehan sosial. Teologi al Asr memberikan perspektif yang berbeda. Dalam QS al Asr ini kesalehan ritual tetap dapat dicapai meski tanpa dibarengi kesholehan sosial. Karena kesholehan sosial adalah satu bagian dari kesolehan ritual. Artinya ketika dipadukan (ritual dan sosial) keduanya terikat dalam kebaikan beragama. Jika salah satunya ditiadakan maka tidak menggugurkan amal lainnya.
Dengan memahami etos dan ajaran KH Ahmad Dahlan, khususnya terkait QS al Maun dan al Asr, diharapkan kita sebagai penerusnya mampu menjaga yang telah dibangun dan diperjuangkan oleh Kiai Dahlan.
Bagaimana nasib Muhammadiyah 10 tahun berikutnya, 50 tahun kedepan, bahkan satu abad yang akan datang adalah tergantung daripada penerusnya. Perlu kiranya warga Muhammadiyah menjadi pembelajar sejati, tidak jumawa pada kejayaan, tidak lupa garis perjuangan, dan tidak mengabaikan kemajuan zaman. Tidak lelah menjadi pembelajar, insyaAllah Muhammadiyah mampu menjawab setiap tantangan zaman.
Sayangnya pola pendidikan Islam transformatif sebagaimana dilakukan Kiai Dahlan kepada para santrinya semakin hilang. Saat ini para pendidik di Muhammadiyah maupun organisasi Islam lainnya jarang sekali melakukannya. Pola pendidikan Islam saat ini lebih bersifat kognitif-materialis, kurang membumi dalam realitas kehidupan.
Pada usia ke 112 tahun ini, sudah saatnya para penerus Muhammadiyah merenungi kembali cita-cita founding fathersnya.
Editor Notonegoro