Oleh: Ukhti Rahima
PWMU.CO – Media sosial telah menjadi teman yang selalu hadir di genggaman kita. Setiap pagi, sebelum memulai aktivitas, jari-jari kita seolah otomatis menggeser layar ponsel, mencari tahu apa yang terjadi di dunia luar. Namun, siapa sangka, apa yang kita konsumsi setiap hari melalui media sosial bisa menjadi bom waktu yang mengancam kesehatan mental, khususnya bagi Muslimah.
Mari kita jujur, berapa kali kita melihat foto seorang selebgram dengan hijab yang sempurna, kulit mulus, dan senyum bahagia, lalu tanpa sadar membandingkan diri? Kita mulai bertanya, “Kenapa hidupku tidak seindah itu?” Atau mungkin merasa kurang cantik, kurang menarik, atau bahkan kurang berharga. Saat itulah rasa insecure mulai menyeruak.
Media sosial, tanpa disadari, menjadi kaca pembesar yang membuat kita melihat kekurangan diri sendiri. Muslimah muda, terutama remaja, sangat rentan terhadap dampak ini. Dalam penelitian Millennium Cohort Study yang dikutip CNN Indonesia, disebutkan bahwa remaja putri jauh lebih sering terpapar media sosial dibandingkan laki-laki. Hasilnya? Tiga dari empat remaja putri berusia 14 tahun yang mengalami depresi juga memiliki rasa percaya diri rendah dan tidak puas dengan penampilan mereka.
Ini bukan sekadar masalah “main HP terlalu lama.” Ketika muslimah terpaku pada layar, mereka tidak hanya melihat gambar, tetapi juga menyerap standar kecantikan yang dibuat oleh orang lain—standar yang sering kali tidak realistis. Kita mulai overthinking, memikirkan berapa banyak like yang kita dapatkan, bagaimana orang menilai unggahan kita, hingga merasa takut jika tidak diterima. Pikiran-pikiran ini seperti ombak yang terus menerpa, membuat kita lelah tanpa kita sadari.
Namun, apakah media sosial sepenuhnya salah? Tidak juga. Masalahnya bukan pada platform, melainkan bagaimana kita menggunakannya. Sama seperti pisau, media sosial bisa menjadi alat yang bermanfaat atau justru melukai, tergantung cara kita memanfaatkannya.
Kabar baiknya, solusi untuk masalah ini ada di tangan kita sendiri. Sebuah penelitian dari University of Pennsylvania membuktikan bahwa dengan membatasi penggunaan media sosial hingga 30 menit per hari, gejala depresi dan kecemasan dapat berkurang secara signifikan. Jadi, bayangkan, jika kita mulai membatasi waktu menggulir layar, mungkin kita akan punya lebih banyak ruang untuk diri sendiri—ruang untuk bernapas dan merasa cukup.
Tidak hanya itu, memilih untuk mengikuti akun-akun yang memberi inspirasi positif juga dapat membantu. Daripada terpaku pada unggahan sempurna, lebih baik kita mencari konten yang memotivasi dan mendekatkan diri pada nilai-nilai spiritual. Bukankah lebih baik melihat pesan-pesan yang mengingatkan kita akan kebesaran Allah dibandingkan merasa minder melihat kehidupan orang lain?
Akhirnya, semua kembali pada diri kita. Media sosial adalah alat, dan kita adalah penggunanya. Jangan biarkan dunia maya mendefinisikan siapa kita atau seberapa berharganya diri ini.
Muslimah, dengan segala keindahan dan perjuangan yang dimilikinya, sudah cukup berharga tanpa perlu validasi dari jumlah like atau komentar di Instagram. Mari bijak dalam menggunakan media sosial. Mari memilih hidup yang lebih nyata, lebih sehat, dan lebih mendekatkan kita kepada-Nya.
Sebab, pada akhirnya, kebahagiaan sejati tidak pernah ditemukan di layar ponsel, melainkan di hati yang merasa cukup dan bersyukur. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah