Oleh: Imam Yudhianto S. SH MM (Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PDM Magetan)
PWMU.CO-Di tengah riuh perdebatan publik yang kerap diwarnai polemik yang lebih emosional daripada rasional, wacana yang dilontarkan oleh Presiden Prabowo Subianto tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui musyawarah di DPRD muncul bak meteor yang membelah langit gelap demokrasi Indonesia.
Pertanyaan fundamental yang mencuat adalah: apakah ide ini merupakan lompatan evolusioner menuju demokrasi yang lebih bernilai Pancasila, ataukah langkah regresif yang mengancam substansi kedaulatan rakyat?
Diskursus ini tidak hanya menyentuh ranah politik praktis, tetapi juga menggugat fondasi normatif sistem tata negara dan nilai filosofis kebangsaan.
Demokrasi langsung yang diadopsi pasca reformasi sering kali diglorifikasi sebagai manifestasi tertinggi kedaulatan rakyat. Namun, narasi ideal ini mulai terdistorsi oleh praktik yang jauh dari substansinya. Politik uang, manipulasi opini melalui media, dan eksploitasi bansos politis telah menciptakan paradoks dalam demokrasi.
Robert Dahl, seorang teoritikus politik terkemuka, mengingatkan bahwa demokrasi hanya dapat berfungsi jika ada akses informasi yang merata dan partisipasi yang rasional dari rakyat.
Di Indonesia, realitasnya jauh berbeda. Pemilu langsung sering kali hanya menjadi arena kontestasi kapital, di mana rakyat bukan lagi subjek kedaulatan, melainkan sekadar objek eksploitasi oligarki.
Dalam buku Demokrasi Deliberatif karya Jürgen Habermas, ditegaskan bahwa demokrasi tidak sekadar proses prosedural, melainkan harus menumbuhkan diskursus yang sehat dan berbasis rasionalitas kolektif.
Sayangnya, model pemilu langsung di Indonesia lebih sering menciptakan fragmentasi sosial daripada deliberasi. Penelitian empiris menunjukkan bahwa biaya politik dalam Pilkada langsung dapat mencapai puluhan miliar rupiah.
Fenomena ini tidak hanya memperburuk ketimpangan sosial, tetapi juga mengikis integritas sistem. Seorang calon kepala daerah yang harus menghabiskan dana besar tentu akan mencari kompensasi melalui praktik korupsi setelah terpilih.
Sebaliknya, musyawarah di DPRD sering kali diasosiasikan dengan model demokrasi elitis yang rentan manipulasi. Praktik suap-menyuap di kalangan anggota dewan telah mencederai kepercayaan publik.
Namun, di balik stigma tersebut, musyawarah sebenarnya memiliki akar filosofis yang mendalam dalam sistem kenegaraan Indonesia.
Prof Soepomo, salah satu arsitek konstitusi Indonesia, menegaskan bahwa sistem demokrasi Indonesia tidak berlandaskan individualisme, tetapi pada prinsip kebersamaan yang diwujudkan melalui musyawarah mufakat.
Prinsip ini kemudian dijabarkan dalam sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Gagasan ini selaras dengan doktrin hukum tata negara Indonesia yang dirumuskan dalam UUD 1945 asli. Dalam sistem tersebut, kedaulatan rakyat tidak diartikulasikan melalui demokrasi liberal berbasis suara mayoritas (one man, one vote), melainkan melalui mekanisme permusyawaratan yang mengutamakan kebijaksanaan.
Yudi Latif, dalam karyanya Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, mengingatkan bahwa demokrasi Pancasila haruslah demokrasi yang berkarakter deliberatif, di mana keputusan diambil berdasarkan hikmat kebijaksanaan, bukan sekadar hasil perhitungan angka.
Namun, implementasi model musyawarah dalam Pilkada tidak akan luput dari kritik tajam jika tidak didukung oleh pengawasan ketat dan penegakan hukum yang tegas. Praktik suap di kalangan DPRD hanya akan memperburuk krisis kepercayaan publik terhadap institusi perwakilan.